21 - Di Luar Kendali

176 38 4
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Jangan terlalu fokus pada satu kesalahan, karena akan membuat hati enggan untuk memanfaatkan.

"MAU sampai kapan Abang menyimpan dendam? Mau sampai kapan Abang memusuhi ayah kandung sendiri? Mau sampai kapan, Bang?!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"MAU sampai kapan Abang menyimpan dendam? Mau sampai kapan Abang memusuhi ayah kandung sendiri? Mau sampai kapan, Bang?!"

"Jangan pancing emosi Abang Kirania."

Nada suaranya sangat amat dingin dan tegas. Raut wajah Bang Fariz pun tidak bersahabat. Emosinya selalu berapi-api jika membahas perihal masalah ini.

Kuelus punggungnya dengan lembut, berharap bisa memberi Bang Fariz ketenangan. Namun, Bang Fariz menepisnya dengan kasar. Aku cukup tersinggung dan mulai merasa jengkel. Tapi sebisa mungkin aku menahannya.

"Seburuk apa pun beliau di masa lalu, statusnya akan tetap sama. Tidak akan pernah berubah. Abang menghakimi beliau hanya karena satu kesalahan, seolah beliau tidak pernah berlaku baik pada Abang. Seharusnya yang Abang ingat itu yang baik-baik, bukan malah sebaliknya."

"Kamu bisa ngomong seperti itu karena kamu gak pernah merasakan ada di posisi Abang, Kirania!" Matanya berkilat marah, bahkan kedua tangannya pun mengepal kuat.

Aku menghela napas singkat sebelum akhirnya berucap, "Apa yang Bang Fariz katakan memang benar. Tapi tidak bisakah Abang bersikap dewasa dan berlapang dada untuk memaafkan, sebagaimana yang Mama lakukan?"

Tanpa kata Bang Fariz bangkit dari duduknya. Dengan cepat pula aku mencekal tangan Bang Fariz, menahan laju langkahnya yang entah akan pergi ke mana.

"Kita selesaikan masalah ini sekarang. Aku sudah cukup sabar selama ini, tapi sikap Bang Fariz masih tetap sama bahkan jauh lebih parah!"

Sorot netranya sangat amat tak bersahabat, aku cukup terkejut. Tapi, aku tak ingin kembali gentar dan membiarkan masalah ini terus berlarut-larut.

"Lepas, Kirania!"

Aku menggeleng kuat, yang kulakukan justru memeluknya dengan erat. Tubuhnya menegang hebat, berusaha untuk melepaskan diri, tapi aku takkan membiarkan itu.

Kuangkat wajahku agar bisa menatapnya seraya memberikan senyum termanis. "Aku tahu Abang marah dan kecewa, Abang gak bisa berdamai dengan masa lalu. Tapi, takdir hidup gak akan pernah bisa kita ubah, memang sudah jalannya seperti itu."

"Tanpa beliau Abang gak akan pernah ada di dunia ini, darah beliau mengalir di tubuh Abang. Saat ini Papa sangat ingin bertemu dengan Bang Fariz, sudah berapa lama coba kalian gak bertemu? Memangnya Abang gak rindu?" selorohku selembut mungkin.

Api tidak akan pernah padam jika ditambah dengan api pula, jadilah air agar bisa menenangkan kobaran tersebut.

Perlahan aku kembali membawa Bang Fariz untuk duduk. Tidak lagi ada penolakan, wajahnya pun tidak sekencang sebelumnya. Walau tak dapat dipungkiri, kilatan emosi masih menghiasi.

No Khalwat Until Akad || ENDWhere stories live. Discover now