5-Pacaran Syar'i

247 47 45
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Tidak ada batasan dan tidak ada dosa yang dituai. Itulah indahnya jika akad sudah dilangsungkan.

TERBANGUN tepat di sepertiga malam terakhir sudah menjadi rutinitas

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

TERBANGUN tepat di sepertiga malam terakhir sudah menjadi rutinitas. Sejenak bercengkrama dan mengadu pada Sang Pencipta menjadi sebuah keharusan. Walau hanya sebatas ibadah sunnah, tapi Allah tak pernah bermain-main dengan ganjarannya. Maka dari itu sebisa mungkin, kami menyisihkan waktu untuk menunaikannya.

Salat malam itu berat di awal, tapi menenangkan kala sudah menjadi sebuah kebiasaan, bahkan terasa hambar jika sampai tertinggal. Menjalankan ibadah memang tidak mudah, perlu keistiqomahan dalam prakteknya. Namun, jika hati sudah bersungguh-sungguh pasti akan dipermudah.

Bang Fariz memutar tubuh setelah selesai mengucapkan salam. Tak lupa dia pun menyodorkan tangannya untuk kusalami, dan aku langsung menerima uluran tersebut.

Kurasakan ubun-ubunku dielus dengan sangat lembut, bahkan lantunan doa itu menguar dari bibirnya. Inilah yang paling kusukai kala melaksanakan salat berjamaah bersama Bang Fariz. Dia selalu melafalkan berbagai doa untukku.

Setelahnya Bang Fariz menangkup wajahku dan mendaratkan sebuah kecupan singkat di dahi. Senyum manis terbingkai indah di sana, rasanya sangat meneduhkan dan menenangkan.

"Pagi ini Abang harus ke luar kota, ada pekerjaan yang harus Abang selesaikan di sana," katanya.

"Kenapa baru bilang sekarang?"

Bang Fariz terkekeh pelan lantas berujar, "Mendadak, baru semalam Abang dapat kabarnya."

"Berapa hari?"

"Tiga hari," jawabnya sembari tersenyum tipis.

"Lumayan lama itu, gak bisa digantikan sama orang lain emang?" selorohku sedikit merajuk.

Aku paling tidak suka ditinggal sendirian di rumah. Lebih tepatnya takut, dan bosan karena tidak ada teman berbincang. Biasanya Bang Fariz akan menolak jika ditugaskan ke luar kota, atau kalau memang sangat amat mendesak aku sejenak diungsikan ke rumah Ibu dan Bapak.

"Gak bisa, harus Abang yang ke sana. Nanti sebelum berangkat, Abang antar kamu ke rumah Ibu sama Bapak yah," cetusnya yang langsung kubalas gelengan.

Kening Bang Fariz mengernyit. "Kenapa?"

"Gak papa, gak mau aja."

Rasanya aku malu jika harus menginap di kediaman orang tuaku, terlebih ada tiga kakak lelakiku yang resek dan menyebalkan. Mereka selalu meledekku habis-habisan, menjadikan diri ini sebagai bahan perundungan.

Aku pun tak enak hati pada Bapak dan Ibu, sudah menikah tapi masih saja suka merepotkan. Mereka selalu memperlakukanku layaknya bocah lima tahun, bahkan untuk sekadar makan saja selalu disiapkan. Benar-benar sangat dimanjakan.

No Khalwat Until Akad || ENDWhere stories live. Discover now