23-Kehabisan Rasa Sabar

206 39 10
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Sabar itu mudah diucapkan, tapi sulit untuk dipraktikan.

SELEPAS makan bersama, aku dan Bang Fariz lebih dulu pamit untuk ke kamar

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

SELEPAS makan bersama, aku dan Bang Fariz lebih dulu pamit untuk ke kamar. Tapi langkah kami tertahan saat mendengar penuturan Mbak Rumi.

"Bisa bicara sebentar, Kak Fariz?"

Sebelum menjawab, Bang Fariz meminta persetujuanku terlebih dahulu, tidak secara langsung hanya sebatas isyarat mata. Aku pun mengangguk kecil mempersilakan.

"Bertiga gak papa, kan?" tanya Bang Fariz sembari melirik ke arahku.

Mbak Rumi mengangguk tanpa kata. Tapi, aku protes dengan cara mencubit pinggangnya. Aku tidak ingin kembali ikut campur dengan masalah Bang Fariz, bikin pusing.

"Abang gak mau kamu salah paham, temani Abang sebentar," bisiknya membuat hatiku seketika menghangat.

"Ada apa?" tanya Bang Fariz langsung pada intinya.

Mbak Rumi terdiam beberapa saat. Dia meletakkan sebuah amplop di atas meja lalu berkata, "Itu amanah dari Papa."

"Ya." Jawab Bang Fariz begitu singkat lalu memasukkan benda tersebut ke dalam saku celana.

Hening kembali menyelimuti kami. Rasa canggung benar-benar sangat kentara sekali.

"Kak Fariz."

Bang Fariz hanya melirik sekilas ke arah Mbak Rumi lalu kembali menatap ke arahku. Tangannya sedari tadi menggenggam erat tanganku.

"Maaf untuk kesalahan aku di masa lalu. Maafin aku, Kak Fariz," lirihnya.

"Gak usah dibahas lagi, anggap itu gak pernah terjadi. Lagi pula status kita sekarang saudara satu ayah," sahut Bang Fariz semakin melemah di akhir katanya.

"Aku sama Mama akan pergi secepatnya dari sini. Maaf membuat Kak Fariz nggak nyaman."

Bang Fariz menghela napas singkat. "Saya tidak memiliki hak apa pun terhadap rumah ini. Yang meminta kalian tinggal di sini pun ibu saya, lagi pula saya hanya bermalam hari ini saja. Gak usah terlalu berlebihan, saya sudah memaafkan."

Aku cukup terkejut saat Bang Fariz mengatasnamakan dirinya sebagai 'saya'. Cukup formal jika digunakan dalam ranah keluarga.

"Ada lagi?"

Mbak Rumi menggeleng pelan. "Makasih banyak, Kak Fariz."

Kami pun bangkit dari duduk, aku mengintil ke mana pun langkah Bang Fariz, sampai akhirnya kami berada di dalam kamar.

"Abang baik-baik aja, kan?"

Mendapati Bang Fariz termenung di atas pembaringan, membuatku cemas sekaligus penasaran.

No Khalwat Until Akad || ENDWhere stories live. Discover now