12-Terbawa Suasana

198 33 3
                                    

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Jangan terlalu gampang berangan, karena kalau jatuh bukan sekujur tubuh lagi yang menjadi korban, melainkan hati dan perasaan.

Jangan terlalu gampang berangan, karena kalau jatuh bukan sekujur tubuh lagi yang menjadi korban, melainkan hati dan perasaan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

EKSPEKTASI yang terlampau tinggi kerapkali membuahkan kekecewaan. Sebuah kesalahan fatal yang kerapkali tidak disadari oleh kebanyakan orang. Sudah tahu keliru tapi masih saja dilakukan, itulah aku.

"Kok malah diaduk-aduk doang sotonya?" tanya Bang Fariz.

Aku tak langsung menjawab, lebih memilih untuk menambahkan sambal dan juga perasan jeruk limau ke dalam mangkuk soto yang kini nangkring di depanku.

"Inget asam lambung," tegurnya.

Aku memutar bola mata malas dan menatapnya sengit. "Janjinya ajak aku makan di luar, tahunya malah makan di depan gerbang. Omongan Bang Fariz emang gak pernah bisa dipegang."

Bang Fariz mengangkat salah satu alisnya. "Bukankah ini makan di luar? Ada yang salah?"

Aku mendengkus sebal. "Makan di luar versi aku ya di restoran, bukan di depan gerbang kayak sekarang!"

Tanpa dosa Bang Fariz malah memasukan satu suapan soto ke dalam mulutnya, mengunyah makanan berkuah itu dengan santai, kemudian berujar, "Jangan salahin Abang dong, salahin ekspektasi kamu yang ketinggian. Abang, kan cuma bilang mau ajak kamu makan di luar."

Ternyata sifat pelit dan perhitungan Bang Fariz tidak sedikit pun luntur, malah kurasa semakin mendarah daging saja. Emang benar-benar Bang Fariz ini!

"Di luar sih di luar, tapi gak depan gerbang rumah juga kali, Bang. Mana cuma ditraktir makan soto doang lagi," ocehku.

"Soto, kan makanan kesukaan kita."

Aku tak sedikit pun merespons, lebih memilih untuk sesegera mungkin menandaskan makanan ini. Bukan bermaksud tak bersyukur, tapi aku tak habis pikir bahwa makan di luar yang Bang Fariz maksud hanya sampai di tahap ini saja.

Entah aku yang terlalu tinggi berangan, atau memang karena Bang Fariz-nya yang tidak bermodal.

Setelah menghabiskannya, aku segera bangkit. "Jangan lupa dibayar!" Aku pun berlalu dan memasuki rumah dengan wajah masam.

Masih DONGKOL.

"Kenapa?"

Mataku seketika melotot, bahkan kurasa urat-urat leher ini sudah mengencang karena kesal. "Abang masih nanya? Gak peka banget emang!"

Bang Fariz duduk di sebelahku lalu berkata, "Lain kali cermati dan pahami perkataan Abang supaya gak salah paham. Abang cuma bilang mau ajak kamu makan di luar, bukan makan di restoran. Paham, Sayang?"

"Pemikiran Bang Fariz yang terlalu sempit, gak seperti kebanyakan orang. Heran deh!"

"Kalau mau makan di restoran nanti, gak sekarang."

No Khalwat Until Akad || ENDWhere stories live. Discover now