Kelam Dunia Darat

18 2 0
                                    

Pemberontakan di mana-mana. Hina, caci, dan segala hal yang membuat semua mata tertuju pada satu titik di sudut kota penuh dengan kerumunan manusia. Seseorang di sana, sedang berlindung di balik tubuh ringkih yang tak lagi memiliki cukup tenaga untuk melawan.

Aku menggeleng, melepas penat sambil menyeruput es jeruk yang kupegang. Penampilan yang tak layak kunenakan, terlihat seperti gelandangan yang sedang mencari target di lampu merah, aku sedang tidak baik-baik saja, tetapi malas bertindak rasanya.

Namun, panggilan alam yang membuatku teringat langsung memyupal banyak pertanyaan yang sedang melintas di kepalaku.

"Mas, di sana ada pengemis yang mencuri, kita hukum saja dia, bagaimana?"

Terdengar lagi olehku, tapi kali ini malas untuk berdiam, aku pun membuang sampah plastik sisa-sisa makananku termasuk es jeruk yang tidak pernah ada artinya ditenggorokan.

Aku melangkah, mendekati kerumunan masa yang tengah sibuk dengan smartphonenya masing-masing, membuatku kembali menggeleng. Di saat sebagian orang sibuk mencari bantuan,  di depan mataku, justru sibuk mencari bahan gosip untuk disebar luaskan ke media masa atau tetangga sekitar yang sangat menyukai kabar orang lain yang tengah menderita.

Aku pun berdiri di barisan paling depan, berharap ada pihak berwajib, ternyata tidak. Aku hanya melihat seseorang yang payah sedang memutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan yang sudah berlumuran darah. Entah dari mana orang itu mendapatkan luka dibagian lengan kirinya, yang aku tahu, sudut bibir kanannya sobek, juga memar di pelipisnya yang pekat itu membuatku meringis.

"Bapak, baik-baik saja?" tanyaku.

"Saya bukan pencuri, tapi mereka menghakimi saya dan menuduh saya pencuri," balasnya pelan. Aku berjongkok, tidak aku sudah berjongkok dua menit lalu.

Aku pun mengulurkan tanganku, berusaha meluruskan tangan orang yang ada di depanku dengan hati-hati.

"Kita obati ini, bagaimana?" ucapku. Orang itu menggeleng, lalu menatap sekeliling yang masih begitu ramai, aku pun sama, melihat kerumunan yang masih setia di sekitar kami.

"Tidak perlu khawatir, saya aparat, saya sedang bertugas, jadi Bapak akan aman bersama saya," kataku.

Walau terlihat meragukan karena penampilanku, tetapi bapak itu menatapku dengan penuh percaya, usai aku memperlihatkan identitas yang selalu aku kenakan di balik kaos tak layak pakai, aku selalu mengalungi kartu identitas juga kalung kebanggaan selama masa bertugas.

"Mas— "

"Prasasti, mari ikut dengan saya, kita cari klinik terdekat untuk mengobati luka Bapak," ucapku.

Aku menggeleng, sekali lagi melihat kelamnya darat sama seperti membuka lubang kematian yang cukup besar.

✨✨

Hai, kembali lagi, lebih sedikit dari biasanya, selamat berlibur, salam manis Prasasti.

Publish, 25 Desember 2022

Bukan Prasasti  ✅Where stories live. Discover now