Guru Yang Abadi

4 1 0
                                    

Jendral memang tangguh, tapi jasadnya sudah terpajang manis dalam ukiran jelas di bawah langit kelabu. Nama jendral sang penakluk itu telah mengutarakan kegigihannya dalam berperang melawat musuh, menyakiti banyak prajurit penghianat dan mengadili para korban yang terjebak dalam masa tahanan lawan.

Siapa yang tidak kenal jendral muda yang selalu mendedikasikan seluruh napasnya hanya untuk pertempuran berdarah di masa yang paling menyedihkan?

Lukisan tanpa kanvas itu selalu menjadi alasan bagi mereka yang tak mau berjuang, menyerah tanpa melawan, bertindak tanpa berpikir. Warna merah pekat, selalu menjadi saksi di setiap langkahnya hanya akan ada kemenangan mutlak.

"Dua hari lagi, kapan mau kembali?"

Lucu sekali, mendengar penuturan semua orang yang memintanya kembali hanya akan mendapat cengir khas mengejek. Dia bukan pejuang rendahan, tetapi nyalinya selalu dibatasi oleh keinginan yang padat.

Prasasti, lagi-lagi namanya terdengar lantang. "Kapan pulang, serpertinya jasad yang terdampar di bawah langit menangis."

"Jangan bercanda. Lo bilang, Mas sana adek lo lagi nggak akur?"

"Percaya?"

"Sss?!"

Aku kembali terkekeh, mendengar celetuk Elvano yang berhasil menyelamatkan kesadaranku akan kelam masa lalu.

"Iya, iya, ada apa?"

Elvano terlihat sangat kesal ketika aku melemparkan pertanyaan yang sebenarnya bukan itu yang ingin ia dengar. Berselonjor kaki sambil menikmati malam yang menjadi aktivitas kami setiap hari. Berjaga diperbatasan, nyatanya hanya mengyras tenaga.

Sejak dulu, aku selalu percaya kalau akhirnya akan ada seseorang yang menjadi panutan untukku berjuang, sosok guru yang abadi hingga hayat. Namun, begitu terasa bila malam tiba, sosok itu seakan terbang bersama pesan melalui angin.

Udara yang biasa terasa bebas, rasanya sesak bila mengingat kembali kejadian kanvas yang berubah menjadi merah pekat dan berbau.

"Oh, iya, El, lo pernah dengar sebuah sajak tentang abadi?" Elvano menggeleng, terlihat dari ujung mataku kalau dia sedang bersedih.

Kepala yang tertunduk dengan gurat yang cukup menyita banyak perhatian itu, berhasil membuatku penasaran.

"Bastian, bilang apa sama lo?"

Satu pertanyaan itu akhirnya mampu membuka muluy Elvano dengan cepat. Kedua kelopak mata yang bergetar itu membuatku semakin yakin kalau Elvano sebenarnya tidak baik-baik saja.

Terkadang, ada masa di mana semua orang berhak menumpahkan semua keluhnya, memberitahu semua orang akan dirinya yang tidak baik-baik saja. Akan tetapi, tidak sedikit dari mereka yang selalu berusaha untuk bersembunyi di balik duka yang begitu berat untuk dibagi pada siapa pun.

Begitu pun dengan Elvano, selama masa pendidikan hingga kini, aku baru pertama melihat Elvano sesedih saat ini. Melihat dengan jelas tubuh bergetar yang cukup membuatku semakin tak enak hati untuk bertanya.

Bahkan, kata sabar dalam mulut saja sulit untuk diucapkan. Aku tahu, bahkan aku sendiri yang mendeklarasikannya di hadapan saudara-saudaraku sebelum akhirnya aku pamit dan entah kapan aku kembali.

Katanya, guru yang abadi bukan hanya sekadar jasanya yang tak ternilai, melainkan semua hal yang ada apa sosoknya akan tetap melekat meski raganya sudah berbaur dengan tanah.

Bagiku, Keabadian merupakan sebuah tempat persinggahan paling dekat dengan kehidupan, karena tak ada satupun manusia yang mampu melihat kapan keabadian itu datang. Sama halnya dengan guru, meski ada pepatah mengatakan 'guru itu di gugu dan ditiru' tetapi pada kenyataannya, tak semua guru juga bisa memberi contoh pada siswanya.

Entah bagaimana cara menjelaskan yang sebenarnya, yang aku ingat hanya jasad sang jendral yang terkapar di atas gundukan jerami. Baret berwarna yang aku kenakan pun ikut bersedih atas kepergian sang guru abadi.

Jelas, aku terpukul, karena tinta merah saat itu berubah menjadi argumen paksa yang selalu disematkan dalam doa.

"Bastian tewas."

🍁🍁

Hai, kembali lagi dengan Prasti yang sudah sekian purnama bersembunyi di maskas, apa kabar?

Terima kasih telah berkunjung, dan selamat beristirahat.

Publish, 31 Maret 2023

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Publish, 31 Maret 2023

Bukan Prasasti  ✅Where stories live. Discover now