Saksi Palsu

4 1 0
                                    

Melodi yang mengalun saat melewati perkotaan yang sunyi, seakan menambah kesan tersendiri, apalagi sebagai pejalan kaki sepertiku. Entah sudah berapa lama aku melintas di kota mati walau ramai penduduk.

Kotanya yang mati, tapi penduduknya begitu ramai dan padat. Julukan yang begitu aneh ketika aku menyambangi salah satu kediaman warga miskin di sana.

Aku melambai pada sebuah jalan yang sedikit kendaraan, menyisiri jalan setapak dengan sebuah tongkat sebagai petunjuk. Tongkat yang kugunakan untuk menyingkirkan rumput liar yang cukup tinggi.

Kota, begitu julukan masyarakat di tempat itu. Meski tak terlihat demikian, tapi tidak sedikit yang mengatakan kalau sebenarnya tempat yang di sebut kota itu merupakan tempat pengkhianatan para manusia berhati iblis yang begitu ringan menghabisi mereka yang tak berdaya.

Pagar dingin yang menjadi penghalang di ruangan petak hanya akan membawa amarah bila kembali diingat. Sidang yang dilaksanakan beberapa bulan lalu seakan membawa kembali sebagian memori lama tak bernyawa.

"Nampak?"

Aku menoleh untuk memastikan kabar itu palsu, dan saksi yang di telah dibawa kemungkinan sama.

"Gimana? Rumah duka mana lagi yang mau kita sambangi? Kayaknya ini tempat terakhir, sisanya gubuk tua di pinggir hutan."

Kali ini tak ada izin yang terhormat bagi mereka, melewati hutan belukar sama saja mencari mati. Dua hari lalu aku betugas kembali menjaga perbatasan. Tetapi, tak satu pun dari pembohong itu melintas. Setidaknya aku bisa melihat wajah konyol dari salah satu pembawa petaka itu.

Sudahlah, begitu aku sadar aku kembali terjerat dalam situasi yang amat menyeramkan, lagi dan lagi.

Kota. Kata itu muncul setelah sesaat pemberontakan yang menewaskan sekitarnya 10 orang. Diantaranya wanita dan anak-anak. Di luar nalar memang, tetapi kenyataan telah menjadi saksi paling abadi dalam sebuah kisah.

Saksi di mana-mana telah dibantai habis oleh mereka, aku kembali melamun, begitu mendapat tegur hangat di pipi sebelah kiriku. Aku pun menoleh, melihat bagaimana senyum Elvano kembali hadir di sana.

"Teh hijau, ada problem lagi?" tanyanya. Aku menggeleng.

Memang tidak ada, lagi pula ini bukan akhir kisah, hanya memastikan kesaksian palsu itu tidak akan memberatkan terdakwa yang tidak sepenuhnya bersalah.

"Model yang tinggi kadang buat kita jadi lupa diri, ya, Van."

Elvano mengangkat sebelah alisnya, kemudian memutar posisi duduknya ke arahku.

Aku meliriknya sekilas, pemuda  konyol yang selalu mendapat hukuman karena sering terlambat.

"Biasa aja ngeliatnya, gue tahu, gue ganteng."  Begitu mendengarku, Elvano menoyor kepalaku dengan enteng.

Aku terkekeh, meski kesal, tetapi itu tidak jadi masalah, selagi puing memori tak datang di waktu ini. Aku hanya kesal bila itu terjadi. Belakangan serangan batin jauh lebih menyeramkan daripada melihat penyusup masuk melintasi perbatasan.

"Omong-omong soal saksi dan bukti, itu gimana?" tanya Elvano.

Aku menggeleng, pada akhirnya korban yang tewas saat ini masih menjadi teka-teki dalam rencana pembunuhan yang  berlokasi di sebuah kota mati.

🍁🍁

Hai, apa kabar? Semoga selalu baik, Prasasti kembali, walau lama, semoga menikmati kisah singkat Yang tak berujung ini. See you

Salam kenal dari Prasasti

Publish, 19 Februari 2023

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Publish, 19 Februari 2023

Bukan Prasasti  ✅Where stories live. Discover now