JASAD SANG KAPTEN

16 3 0
                                    

Dua puluh hari setelah kepulangan sang pahlawan ke rumah abadi, rasanya masih belum percaya kalau hari itu adalah tawa terakhir dari sosok Bagas yang begitu ramah pada siapa pun. Dia, satu-satunya manusia paling disiplin dalam peraturan dan orang yang paling tegas dalam memimpin pasukan brutal seperti pasukanku.

Dia gugur pada tembakan terakhir yang tembus melewati jantung, mata sipit yang selalu berusaha untuk terbuka lebar, nyatanya hari itu tertutup rapat hingga denyut yang biasa terdengar, saat itu benar-benar berhenti berdetak. Tubuh dengan kulit putih yang biasanya hangat, saat itu sangat dingin. Benar, dia menyerahkan seluruh hidupnya hanya untuk keadilan negeri.

Setahun yang lalu, pada tiga bulan pertama, dia datang membawa sebungkus permen yupi berbentuk hati dan menyerahkannya kepadaku. Tak hanya itu, dia juga berusaha mengambil tempat di sebelahku untuk sekadar mengobrol.

Aku masih ingat kata pertama yang dia lontarkan kepadaku saat itu. Dia bilang, pemuda masa depan nanti akan terlihat berbeda dengan pemuda masa sekarang atau masa lalu. Dia juga pernah mengatakan kalau semua hal yang ditempuh itu perlu usaha bukan hanya sekadar omong kosong.

Lalu, tak lama setelah, dia pun pergi. Aku kira, telingaku yang keliru mendengar bagaimana Bagas menyampaikannya. Ternyata, memang dia yang memberi salam terakhir sebelum berpulang meninggalkan semua jejak formalnya yang membuatku terkekeh sendiri bila mengobrol bersama.

Lucu memang, tetapi itu yang membuat kami bertahan sampai dititik terendah kami masing-masing saat perang berlangsung di lapangan.

"Masih aja mikirin Medan tempur, sekali-kali pulang ketemu keluarga."

Aku menoleh, sekali lagi, ini yang kesekian Elvano mengejutkanku di saat aku ingin menikmati masa bakti yang akan berakhir beberapa tahun lagi.

"Apa?" tanyanya saat aku diam sambil menatap wajah lelah Elvano.

"Lagi mikir, cuma bingung mau mikirin apa." balasku. Elvano tertawa, kemudian mencari tempat di sisiku untuk merebahkan tubuhnya yang sedikit pegal.

"Sok mikir, biasanya juga langsung jalan," ucapnya.

Aku kembali tertawa, lalu bersandar pada tembok dingin yang sedikit lembab, kemudian aku membawa pandangku ke arah sudut gelap yang ada di kamarku.

"Ya, mikir aja. Siapa tahu gue bisa jadi jendral atau kapten, kan?"

"Alah. Gaya banget lo, nggak usah ngayal tinggi-tinggi, dapat pangkat sersan aja masih susah, butuh waktu dan proses, apalagi itu, Sas."

Aku menoleh, kemudian bertanya padanya sebelum kami membuat suasana hening cukup lama.

"Kapten... Bagas kapten terbaik, Van. Sayangnya dia gugur dengan cara yang menyedihkan."

Kenapa?

Pertanyaan itu muncul lagi, entah aku yang malas, atau memang aku yang kesal mendengarnya. Yang jelas, aku benar-benar enggan untuk menjawab apa pun pertanyaan yang di katakan manusia bertato penjaga makam.

"Emang setan kalau muncul dadakan, ya, Van?"

Mendengarku mengatakan itu, Elvano langsung bangun dan menoyor kepalaku dengan sayang.

"Bego apa gimana, sih? Lo kira tahu bulat?"

Aku mengangkat kedua bahuku, entah, tapi aku yakin jasad sang jendral memang tak pernah ditemukan sampai kapan pun.

✨✨

Yaaayy... Akhirnya selesai juga, terima kasih telah berkunjung, sampai ketemu lagi. Salam manis Prasasti.

Publish, 10 Januari 2023

Bukan Prasasti  ✅Where stories live. Discover now