Desa Kematian

12 2 3
                                    

Dalam hal ini, ketika kamu melangkah, pastikan dulu, langkahmu sudah benar apa masih berada di satu titik yang sama? Sudah aman atau belum? Ya, kurang lebih langkahmu harus lebih berhati-hati

Katanya, jika ada manusia berkhianat, lempar saja pada sumur tua yang ada di ujung jalan. Desa ini hanya akan membuatmu terkekang dan gila. Kamu hanya tak kuat untuk membawa kewarasnmu dalam kerasnya hinaan.

Penolakan, sampai akhirnya datang sebuah kematian yang mengenaskan. Lihat saja bagaimana dirimu nantinya. Kamu hanya sebuah paku berkarat yang dipalu hingga bengkok. Tak ada artinya!

Lewati lembah, lakukan itu sampai kakimu berdarah, begitu katanya. Namun, kepercayaan seseorang tak akan pernah bisa diruntuhkan dengan mudah, kecuali dalam sekali ketukan kekecewaan yang besar.

Biasanya, manusia akan merasa kecewa dalam beberapa hal, apalagi manusia memiliki tingkat emosi yang lebih besar dari apa pun. Hawa napsu, dan pola pikir yang bisa dikatakan lebih waras dari sekedar sebuah goresan di atas kanvas.

Jangan salah paham, karena kriteria manusia pasti berbeda-beda, terlebih dalam menjalin sebuah hubungan yang lebih serius. Bukan hanya hubungan dua dejoli saja, tetapi suatu hubungan pertemanan, persahabatan, hingga  akhirnya menjadi sebuah hubungan permusuhan.

Tak banyak yang menyadari suatu permusuhan yang awalnya  baik-baik saja bisa menjadi suatu hal yang terlihat jahat dan terkesan menjatuhkan di mata orang yang belum paham situasinya.

Tak sedikit dari mereka pun pasti akan bertanya lebih dalam, dengan alasan untuk memastikan kebenaran yang terjadi, bukan sekadar omong kosong belaka.

Ya, ringkasnya, seseorang akan lebih percaya suatu kebohongan kecil demi menutupi kesalahan yang fatal.

Ya ampun, kemalasanku sudah semakin jauh saja rasanya, aku terlalu banyak bernapas hari ini, memikirkan kehidupan yang tak pernah lepas dari berbagai obrolan kosong tak bernyawa. Layak di apresiasi mungkin, tapi mau bagaimana lagi? Tingkah Bagas membuatku terjungkal kali ini.

Dia terlihat malu saat menatap ke arahku dan Elvano, rekan satu tim dalam hal perjulid-an. Konyol, beruntung komandan tidak menghukum kami bertiga, kalau itu sampai terjadi, aku jelas akan menyumpahi Elvano yang sudah menarik tangan Bagas hingga lelaki itu tersungkur.

Dengan penuh percaya diri, aku menegaskan kalimat pertamaku kepada mereka berdua.

"Malu itu hiasan, cuma terjungkal, belum terhimpit kehidupan yang kejam. Wajar, kan?"  kataku, pede.

Dengan yakin, harusnya begitu. Akan tetapi, warna merah tomat itu membuatku semakin enggan untuk melihat ke arah cermin. Karena aku yakin, selain Bagas, Elvano pasti akan mencibirku nanti.

"Yakin cuman hiasan? Bukan menahan malu karena sesuatu, kan? Ayolah, Lo nggak pandai berdrama apalagi merangkai alasan, Sas."

Aku menghela napas, benar juga. Sejak aku bersama Elvano, dia orang yang paling mengenalku sejauh ini. Obrolan formal hanya akan berguna pada orang dan waktu tertentu saja, kalau sekarang, mungkin terlihat lebih santai dan memang ini adalah kami, tidak termasuk dengan Bagas, lelaki itu cukup elegan dengan bahasanya yang memang formal. Jadi, tidak perlu bingung.

Kali ini, aku hanya perlu meyakinkan diriku untuk tetap bertahan, walau pertempuran sebenarnya sudah bergerak sejak lama.

✨✨

Hai, apa kabar? Semoga selalu baik, ya ☺️

Terima kasih telah berkunjung, selamat beristirahat. Salam hangat Prasasti.

Publish, 4 Januari, 2023

Bukan Prasasti  ✅Where stories live. Discover now