Jubah Kebesaran

10 3 0
                                    

Dulu sekali, aku pernah bermimpi ingin menjadi tokoh besar pembela bangsa, dengan jubah Kebesaran yang selalu menjadi tanda kalau itu adalah aku. Namun, mimpi itu seakan pudar begitu saja, terlepas dari bagaimana kejamnya masa daripada pasukan berkuda.

Kata demi kata telah aku dengar di mana semuanya menyuarakan nama satu orang pemimpin besar. Satu demi satu pejuang telah tumbang, ratusan rakyat menderita, tetapi jiwa patriot tetap berkobar di dalam dada. Aku ingat saat pemilihan ketua umum desa tempatku tinggal dulu.

Di sana ada beberapa petugas bayaran yang menyerupai petugas sipil. Meminta upah pada mereka yang ingin mendapat antre lebih dulu dari pada mereka yang sudah susah payah datang lebih awal.

Walaupun aku geram, tetap saja, uang berbicara saat itu. Bukan tanpa alasan, mengapa pejabat tinggi memutuskan untuk menyelundupkan sebagian hak rakyat dari kejaran pemburu negara.

Aku yakin, bila saudaraku mendengar ini, dia akan menyita barang bukti yang tercium seperti bangkai. Aku tidak pernah mengira kalau jubah Kebesaran bukan lagi sebuah jubah yang disegani, melainkan kaum yang tunduk akan kasus liar yang mengatas namakan pemerintah.

Sungguh, aku tidak tahu lagi bagaimana caranya menjelaskan, kalau sebenarnya tidak semua kasus di tutup dengan cara yang mengerikan. Terkadang ada juga yang sengaja ditutup karena enggan untuk mengangkat kembali isu besar yang sebenarnya masih banyak fakta yang tersembunyi di baliknya.

Iya, itu sama seperti jubah Kebesaran sang jendral yang gugur pada pertempuran sepuluh tahun silam. Jendral besar pembela bangsa, aku menjulukinya sebagai panglima hebat.

"Kamu melamun?"

Ini kali kesekian aku mendengar oceh hangat yang terdengar seperti sindiran. Radio lama yang hanya putar jika ingin.

Aku hanya menghela napas, melepas penat tak lagi membuatku teringat akan rumah. Ini tahun ketiga aku bertahan di tengah hutan dengan pasok pangan seadanya.

"Melamun atau tidak, itu bukan hal yang serius bagimu, kan?"

"Ya, memang, tapi rasanya sangat aneh bila dilihat dari sudut bibirmu yang terangkat sedikit itu."

Aku pikir ini bukan waktu yang tepat untukku bercerita panjang lebar, pada Bagas rekan bisnis di saat bom akan meledak.

Selain itu, ada Elvano, teman sejawat saat di barak dulu. Dia manusia lintah. Bukan, maksudku, dia seperti lintah darat. Banyak yang kulupakan tentangnya, tapi tak sedikit juga yang kuingat darinya.

Lupakan, angin malam ini terasa lebih menusuk dari hari kemarin, tapi Bagas malah memakai kaos tipis yang membuat mataku ternoda melihatnya.

"Haram."

Aku bisa pastikan gerutu manis itu akan meluncur beberapa saat lagi. Bukan sekadar lempar bola kasti, melainkan baju yang dikenakannya kini mendarat di wajahku.

"Hukuman karena melanggar hukum alam."

Aku hanya mengangkat kedua bahuku, menandakan kalau aku tak peduli dengan ucapan bodohnya itu.

✨✨

Hai, hari ini double up ya, hihihi...
Iya, ini iseng beberapa kata yang tipis tipis mungkin bisa dinikmati dengan kepala dingin 🤭 makasih udah berkunjung. Selamat menikmati liburan...

Publish, 28. 12. 2022

Bukan Prasasti  ✅Where stories live. Discover now