Pasukan 61

14 2 0
                                    

Nomor punggung seorang prajurit yang membombardir kediaman jendral besar pasukan bawah laut,seakan mebisikan arah angin yang semakin kencang. Sekarang bukan waktunya berdiskusi tentang siapa dan bagaimana, kan?

Rumah pohon di ujung jalan masih terlihat sama, meski ada beberapa ukiran halus yang terlihat seperti kode negara. Aku kembali pada pertempuran berantai yang semakin memanas. Kala semua orang tertidur, aku terjaga hanya untuk membela bangsa. Tumpah darah yang kiranya nyata, ternyata jelas tak berarah, aku pun melangkah, dua orang yang menuduh pencuri itu melarikan diri.

Nasib buruk sedang menimpa beban pikiran, sepertinya. Aku pun menyelipkan beberapa lembar uang kertas di saku celana pendek bapak tua yang kuselamatkan dari kejamnya darat. Sudah seperti lintah, tak beraturan apalagi tersusun.

"Rumah Bapak, di mana? Biar saya antar sampai rumah," kataku.

Langkah yang mulai menelan itu akhirnya berhenti, kemudian menatap lurus ke jalanan sunyi tanpa kendaraan satu pun.

"Saya seorang diri, rumah itu hanya tempat singgah bagi mereka yang merasa berguna."

Mendengar itu, aku mengerutkan keningku, lagi dan lagi, ucapan macam ini sering kali terlintas meski dari orang yang berbeda.

"Keluarga Bapak ada di mana? Biar saya antar ke sana," kataku.

"Terima kasih, tapi keluarga hanya tempat berlabu, orang yang dibuang bukan lagi keluarga."

Jujur saja, aku tidak paham. Katakan saja aku bodoh untuk memahami maksud dari seorang pengemis liar. Namun, kali ini berbeda. Aku memang tidak paham sama sekali.

"Maaf, tapi saya tidak mengerti apa maksud Bapak sejak tadi," ucapku.

Kali ini Bapak tua itu yang menoleh ke arahku. Tampak bingung dan tidak menunjukkan wajah bahagia, itulah yang aku perhatikan.

Hela napas panjang menjadi salah satu percakapan singkat sebelum kalimnat pencuci mulut berakhir dari Bapak tua itu.

"Kita hanya manusia, Nak. Bukan Tuhan. Harusnya menolong itu tidak perlu melihat bagaimana rupa orang itu, tapi berbeda, saya hanya pengemis, bukan pencuri. Saya hanya mencari makan, bukan mencari musuh." Aku terdiam sejenak.

"Saya bukan penjahat berkelas, tetapi memiliki ruang paling nyaman di dalam buih. Saya juga tidak memiliki tempat tinggal layak huni seperti istana, sekali saya bertindak, sorot publik langsung menjadikannya headline  kabar burung yang tidak seharusnya disebar luaskan tanpa bukti yang jelas, itu sama saja fitnah, kan?"

Aku terkejut, bukan berarti aku menyalahkan semua ucapannya. Aku hanya menggaris bawahi, apa yang ingin disampaikannya. Yang tidak lain adalah ; menghakimi tanpa bukti itu sama aaja membunuh tanpa sengaja.

Wajar saja, aku pun akan berpikir itu kriminal nantinya.  Ah, tidak aku jadi teringat dengan nomor punggung seseorang jadinya.

✨✨

Yah, udah dulu ya, selamat menikmati liburanmu. Salam manis Prasasti.

Publish, 26 Desember 2022

Bukan Prasasti  ✅Where stories live. Discover now