PART 6

3.3K 282 33
                                    

Kubiarkan tubuhku terguyur di bawah shower. Mataku terpejam rapat, mengingat kembali kejadian dari aku bangun tidur tadi hingga sekarang. Mimpi aneh- Luka pada leher- Menyayat pergelangan tangaku sendiri- Dipanggil wali kelas Ava di Sekolah. Hari terpanjang dan teraneh yang kulalui sepanjang hidupku. Kukenakan handuk kimono sambil berjalan keluar dan membuka pintu.

Kuketuk kamar Ava perlahan tapi tidak ada jawaban dari dalam. Biasanya bocah itu dengan kenyesnya akan mempersilahkanku masuk. Kubuka pintu itu pelan tapi Ava tidak ada di sana. Ranjangnya masih rapi dengan beberapa boneka di atasnya. Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam kamar Ava, Aku tidak tahu apa yang ingin kucari di sana. Hanya saja Aku penasaran dengan Kamar adik kecilku ini.

Kursi goyang yang di klaim Ava di duduki oleh Beth, teman khayalannya kosong. Berhadapan dengan kursi goyang lain yang ada boneka teddy bear di atasnya. Kuambil boneka itu lalu kuhempaskan bokongku pada kursi. Kusandarkan punggungku hingga membuatku nyaman duduk di sana. Mataku melihat sekeliling, mulai dari langit-langit, dinding, hingga sudut-sudut kamar.

Bersih. Maksudku, tidak ada yang aneh di sini. Ketika pandanganku kembali lurus ke depan, Aku seperti melihat sesuatu yang mendekat ke wajahku.

Zapp! Tubuhku berjingkat kaget, sesuatu yang seperti wajah seseorang itu menghilang! Kursi goyang 'tempat' Beth duduk bergoyang ke depan dan ke belakang dengan sendirinya. Sumpah Aku tidak menyenggolnya!

Aku langsung bangkit berdiri dan berjalan menjauh setelah kuletakkan boneka Teddy Bear itu kembali di tempatnya. Aku berjalan mundur ke belakang perlahan, mataku menatap lurus kursi goyang Beth yang masih bergoyang. Cklek! Suara pintu yang dibuka kembali mengagetkanku. Otomatis tubuhku berbalik dan menatap sosok Ava.

"Kak Alice, apa yang Kakak lakukan di sini?" tanyannya sambil melangkah mendekatiku.

"Kakak cari kamu, tapi kamu tidak ada." Jawaku jujur.

"Ava di bawah. Memang kenapa Kakak cari Ava?" tanyanya lagi.

"Ada yang mau Kakak tanyakan," Aku duduk di pinggir ranjang Ava, tanpa dikomando Ava mengikuti.

"Beth, apa dia ada di sana?" tanyaku sambil menunjuk kursi goyang.

Ava melihat sekilas kursi itu kemudian mengangguk mantap. "Tadi kami bermain di bawah, tapi dia bilang Kakak ke kamar Ava. Terus Beth bilang Ava disuruh ke atas."

Apakah ini sebuah khayalan lagi? Terlalu pas bila Ava hanya membual! Kutatap Ava tepat di manik mata untuk memastikan kebohongannya. Tapi tidak! Kedua mata itu tampak polos tak menyembunyikan sesuatu.

"Kenapa Beth melarang Kakak membuka buku merah itu?" tanyaku menyelidik.

"Nanti 'Dia' akan membawa Kakak pergi," jawab Ava kalem.

"Dia?" tanyaku membeo.

Ava mengangguk. "Membawa jiwa Kakak," tambahnya. Tubuhku membeku.

"Apa sih Kak maksudnya?" tanya Ava polos.

Dahiku mengernyit bingung. Oke, ini aneh! Ava mengucapkan kalimat menyeramkan tanpa mengerti artinya. Aku berusaha tidak memperlihatkan kegugupanku padanya. Ava termasuk anak yang cerdas, bisa pusing kepalaku kalau dia memulai bertanya padaku.

"Tadi Bu Nani bilang sama Kakak, kalau kamu tahu Kakak akan terluka. Apakah Beth juga yang bilang?"

"Iya!" jawabnya tegas penuh keyakinan.

"Karena Kakak membaca buku itu?"
Ava mengangguk.

"Apa yang harus Kakak lakukan setelah membaca buku itu?"

Ava tidak segera menjawab, dia malah menghampiri kursi goyang dan menduduki kursi yang ada boneka Teddy Bear-nya. Aku berjongkok dengan sabar di sebelahnya. Dialihkannya pandangan gadis cilik itu ke arahku.

"Kakak harus menghadapinya..."

"Dia itu siapa Ava??" tanyaku tidak sabar.

"Pemilik buku."

Fix! Darahku benar-benar mendidih sekarang! Gadis kecil ini benar-benar membodohiku! Tapi pandangan matanya yang memancarkan kepolosan membuatku sedikit ragu. Kucengkram kedua bahu Ava dan kutatap dia tepat di manik mata. Ava membalas tatapan mataku walau dia terlihat sedikit ketakutan.

"Dengar Ava, kamu tidak boleh bermain dengan Beth! Dia anak nakal!"

"Beth anak yang baik dan menyenangkan, Kak..." bela Ava.

"Tidak! Dia anak yang jahat! Kamu tidak percaya dengan Kakak?" tanyaku berusaha mempengaruhi.

Ava terlihat berpikir sejenak sebelum kemudian mengangguk. "Ava percaya sama Kakak," katanya kemudian.

"Kalau begitu kamu tidur. Anggap Beth tidak ada! Tidak nyata! Mengerti?"

Sekali lagi Ava mengangguk. Kusuruh adik kecilku untuk berbaring lalu kutarik selimutnya hingga sebatas leher. Kukecup keningnya kemudian Aku beranjak keluar meninggalkannya.
Hari yang panjang dan melelahkan. Kupejamkan kedua mataku rapat. Kuharap Aku tidak bermimpi buruk malam ini. Aku terlalu lelah untuk memimpikan hal-hal seperti itu. Keanehan pada adikku membuat tenagaku terkuras sudah.

Brakk!!! Kreeek!!! Bruukk!!! suara-suara aneh membangunkanku dari tidurku. Kulihat jam pada nakas yang masih berada pada pukul satu dini hari. Kutajamkan telingaku untuk memastikan pendengaranku. Kudengar suara anak kecil sedang menangis. Ava! Kuharap pendengaranku salah dan dia baik-baik saja.

Segera Aku berlari keluar dan membuka pintu kamar Ava dengan satu sentakan keras. Astaga! Kulihat adik kecilku menangis di pinggir ranjang dengan memeluk kedua lututnya. Tubuhnya gemetar hebat. Namun bukan itu saja yang mengagetkanku hingga membuatku terpaku beberapa detik di ambang pintu.

Kamar Ava tadi baik-baik saja sebelum kutinggalkan. Tapi lihat sekarang! Buku-buku Ava bertebaran di mana-mana. Meja belajar dan lemari jatuh seperti telah didorong oleh sesuatu. Tidak hanya itu, tirai jedela sudah tak karuan bentuknya karena sobek sana-sini.
Kuhampiri Ava dengan kedua tangan berada di pinggang.

"Apa yang kau lakukan Ava??" tanyaku dengan menahan amarah.

"Bu-bukan Ava Kak..." jawab Ava agak terbata.

"Apa maksud kamu bukan kamu? Kakak tidak melihat ada orang lain di sini selain kamu Ava! Bagaimana bisa kamu membuat keributan di malam hari? Kamu marah karena Kakak tidak memperbolehkanmu berteman dengan Beth?" Cecarku panjang lebar.

Kepala Ava menggeleng cepat dengan sesenggukan kecil. Ava tidak berhenti menangis hingga isaknya terdengar semakin keras. Aku merasa bersalah dan kasihan pada Ava. Kudekap dia dalam pelukanku, kupangku dan kubelai puncak kepalanya. Lama kelamaan Ava menjadi lebih tenang dan isakannya sudah tidak terdengar lagi.

"Kenapa kamu membuat kamar berantakan Ava?" tanyaku lembut.

"Ti-tidak Kak, bu-bukan A-Ava..." jawabnya terbata dengan suara yang terdengar serak.

"Kalau begitu siapa Avaaa??"

"Beth!" jawab Ava yakin.

Whaaat???

Ingatkan aku kalau Ava adalah adik kandungku satu-satunya. Tanganku gatal sekali ingin membungkam mulut mungil yang sangat menyebalkan itu! Kulihat kembali sekeliling kamar Ava yang terlihat seperti habis dirampok. Logikaku mengatakan pasti Ava yang mengacaukan kamarnya.

Tapi, apa bisa Ava membalikan lemari tiga pintu dan meja belajar yang terbuat dari kayu jati? Sebesar apa tenaganya? Bahkan kurasa Aku akan kesusahan walau hanya sekadar untuk mendorong meski hanya 1 inchi.

"Kenapa Beth melakukannya?" tanyaku kemudian. Well, aku terlalu banyak bertanya pada Ava hari ini.

"Ava tidak mau bermain dengannya karena Kakak melarang," jawab Ava.

Sebelah alisku terangkat ke atas. Kupejamkan kedua mataku rapat dan kutarik nafasku panjang. Kucoba untuk menahan emosi yang menggerogoti hati, daging, hingga ke tulang-tulangku.

"Kak..." panggil Ava pelan.

Kubuka kembali kedua mataku. "Ava, tidur sama Kakak saja ya?" ajakku.

Ava mengangguk. Tanpa banyak bicara kugendong Ava dan kubaringkan dia di kasurku. Aku tidak ingin membahas kejadian malam ini. Bisa kupastikan Aku akan terkena penyakit stroke mendadak mendengar jawaban Ava yang menguji iman.

*****

The BloodWhere stories live. Discover now