20

790 225 63
                                    

Key menyatukan kedua tangannya dan memandangi Malvin dengan mata yang berbinar-binar. Dia langsung paham mengapa siswa pertama dihajar habis-habisan sementara yang satu lagi dibuat langsung pingsan. Itu karena siswa pertama tadi telah mengatakan sesuatu yang kotor dari mulutnya.

Key langsung mengernyit karena sejak tadi dia bertanya-tanya dalam hati, mengapa Malvin dan Elon tampak akrab?

"Kenapa nggak lo buat dia pingsan juga?" tanya Erfan pada siswa yang ritsleting celananya sedang dibuka oleh Malvin.

"Habis gue pukulin, kan. Nanti dia malah mati," balas Malvin. Siswa di hadapannya itu berteriak tak jelas sembari memandangnya dengan emosi. Malvin berhasil menarik celana siswa itu hingga tersisa hanya boxer yang melindungi tubuh bagian bawahnya. Siswa itu berteriak tak jelas karena mulutnya tersumpal.

"Astaga. Lo nggak gue apa-apain. Nanti gue balikin," balas Malvin sambil mengganti celana sekolahnya dengan celana SMA Cendei D'Graham. Dia tak mengambil baju siswa itu karena terdapat bekas darah. Alhasil, Malvin hanya menggunakan kaos hitamnya sendiri sebagai atasan. Dia melempar seragam sekolahnya itu ke atas pohon.

"Mati?" Erfan menatap Malvin setelah beberapa saat melamun. "Lo belajar dari pengalaman? Lo pernah buat orang lain mati, ya?"

"Iya, kenapa? Lo mau jadi yang kedua?" Malvin sibuk menarik celana siswa yang sedang pingsan. Dia melempar celana itu kepada Erfan. "Pakai."

Erfan mengangkat celana itu dan memandangnya dengan jijik. "Gue ... pake ini?"

"Ya." Pandangan Malvin beralih kepada Elon yang sedang tak tenang. "Gue tahu lo nggak tenang, tapi jangan melangkah sendiri. Kita nggak tahu ada berapa orang yang menunggu di dalam sana."

Elon menghela napas panjang. Dia menarik kata-katanya kembali tentang bangunan sekolah ini yang menguntungkan mereka. Justru ini merugikan Elon. Dia akan sulit mencari Aneta.

"Kalian berempat tunggu di sini." Malvin mengutak-atik ponselnya, lalu ponsel Elon bergetar. "Terima. Jangan pernah matiin. Gue dan Erfan bakalan kasih tahu kelas mana aja yang kosong."

Elon menerima panggilan itu dan langsung menyalakan pengeras suara.

"Kalian berempat tunggu di sini dulu. Gue bareng Erfan mau lihat situasi." Malvin mulai pergi.

"Heh, bngst. Emang lo siapa berani ngatur-ngatur gue?" tanya Erfan.

"Dari tadi lo banyak bacot, tapi tetap ngikut juga, kan."

"Sialan." Erfan tak bisa mengelak. Dia juga tak mau pergi begitu saja dari hal menyenangkan ini. Belakangan ini hidupnya terasa membosankan sehingga dia butuh penyegaran dan pengalaman baru.

Mereka terkadang menyebar untuk mengecek kelas, lalu kembali bertemu di tempat awal agar Erfan bisa memberitahukan kelas mana saja yang sudah dia cek. Malvin memberitahukan Elon lewat panggilan telepon yang tak pernah putus.

Keduanya telah mengecek semua bangunan-bangunan di bagian Utara dan hanya menemukan kelas-kelas yang kosong. Kemudian mereka menyusuri bangunan di Timur. Erfan memeriksa kelas di lantai 1 sementara Malvin menaiki tangga untuk mengecek kelas-kelas yang ada di lantai 2.

Malvin memeriksa kelas demi kelas yang ada. Sebuah kelas yang baru saja dia buka ternyata diisi oleh beberapa siswa yang sedang bersantai. Beberapa di antaranya bahkan sedang tidur. Beberapa dari mereka yang sedang menikmati rokoknya menatap Malvin sambil mengernyit.

Malvin mengamati penjuru kelas dan mengambil kesimpulan bahwa kelas ini lah tempat di mana para siswa D'Graham berkumpul.

Salah satu dari mereka mencelutuk. "Kayak nggak asing."

Blooming FlowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang