Bab 4: Sesilia

1.8K 159 3
                                    

Xavier turun dari kereta kudanya dengan Zenith. Dengan memasang wajah angkuh yang telah dilatihnya selama menahun, lelaki itu berjalan bersisian dengan Zenith menuju sebuah kastil besar di sana.

Hari ini, empat minggu sebelum pesta debutante, Xavier diajak Zenith mengunjungi Kerajaan Verona. Kerajaan yang terletak di selatan.

Daratan itu berada di pesisir. Agak panas namun tampak cantik karena mentari yang bersinar lebih terang daripada di Methia atau Edessa. Suara deburan ombak yang menghantam karang benar-benar terdengar seperti melodi merdu di telinga. Aroma air laut yang asin dan sedikit amis menyentuh indra penciuman.

Lorong terbuka dengan pemandangan pantai itu benar-benar memanjakan mata. Bahkan, Xavier berharap bisa punya tempat seperti ini di Edessa yang daratannya lebih banyak didominasi pegunungan.

Tak lama, Xavier dan Zenith sudah masuk ke sebuah ruangan yang juga semi terbuka. Seorang pria seumur ayah Xavier tersenyum pada keduanya.

"Saya sangat senang dengan kehadiran Anda, Yang Mulia Zenith," ucapnya berat.

Zenith mengangguk sopan. "Sebuah kehormatan untuk bisa diundang ke sini, Yang Mulia Alderon."

Alderon tersenyum, ia kemudian menengok ke arah Xavier yang juga menundukan kepala. "Ah, kamu pasti Yang Mulia putra mahkota Xavier, bukan?"

Xavier mengangguk. "Cukup Xavier saja, Yang Mulia." Ia berkata sopan. "Terima kasih atas undangannya."

Alderon tertawa mendengar betapa sopannya Xavier. "Kamar sudah disiapkan. Silahkan mengikuti pelayan yang ada di sana. Saya yakin, perjalanan dari Edessa ke sini cukup jauh dan melelahkan."

Xavier mengangguk pelan menanggapi sementara Zenith sudah melirik ke arah pelayan yang siap mengantar mereka. 

Hari ini dan besok, Xavier dan Zenith akan berada di Verona. Alderon, raja dari Verona mengajak Zenith makan malam. Tentu bukan makan malam biasa, kerjasama antara Verona dan Edessa akan diadakan terkait hasil bahari dan hal itu yang akan menjadi topik bahasan Zenith dan Alderon malam ini.

Xavier sebenarnya enggan ikut serta. Tetapi, Zenith memintanya. Dengan alasan perkenalan dan juga belajar, mau tak mau, Xavier menurut, mengalah untuk tidak melihat kekasihnya 48 jam ke depan.

Xavier yang kini sudah sampai di kamarnya merebahkan tubuh begitu saja. Dari jendela, ia bisa melihat pantai di sore hari yang tampak cantik.

Isi kepalanya tiba-tiba membayangkan apa jadinya jika dia membawa Aria ke sini. Gadis itu pasti senang sekali. Pasalnya, Aria memang tak pernah ke mana-mana selain di istana.

Xavier menghela napas sebelum bangun dari rebahnya. Ia berencana berjalan-jalan sejenak ke depan. 

Dengan langkah pasti, ia membuka pintu. Kakinya berjalan hingga menuju ke depan. Tak lama, di depan matanya, sudah tampak bibir pantai dengan deru ombak yang terdengar tenang.

Xavier mendekat ke bibir pantai. Lelaki itu membuka sepatunya sebelum berjalan dengan telanjang kaki. Ombak menggelitik kaki seiring dengan buih-buih yang mendekat. Ia menarik napas sambil memandang sekitar.

Di pantai yang nyaris tak ada orang, ia menemukan seorang perempuan yang sedang duduk di atas alas dan buku di tangan. Di bawah pohon rindang, perempuan itu tampak serius membaca.

Xavier memiringkan kepala sejenak. Dari pakaiannya, Xavier langsung tahu, gadis ini bukanlah pelayan. Lagipula, mana mungkin pelayan bisa punya waktu bersantai di sini.

Gadis itu tiba-tiba mendongak. Mungkin tahu, ia dipandangi. Mata mereka bertemu sejenak. Senyum terlempar dari bibir masing-masing. 

Gadis itu kemudian berdiri dan berjalan sedikit cepat menghampir Xavier. Roknya yang panjang sedikit menyentuh pasir-pasir. Kakinya tak beralas. Dengan rambut yang dikepang satu di kiri, ia tampak manis. 

"Hai," sapa gadis itu.

Xavier mengangguk pelan. "Halo."

Keduanya canggung secara tiba-tiba. Xavier mengulum bibir, sedikit bingung.

"Kamu... siapa?" tanya gadis itu bingung. Ia diam sebentar sebelum membelalak sedikit panik. "Bu-bukan maksudku kurang ajar. Aku hanya baru pertama kali melihatmu di sini. Apakah kamu tamu dari Ayah?"

Ayah. Xavier sedikit bingung. Apakah anak ini puteri dari Verona?

Beberapa kerajaan--termasuk Edessa di antaranya--tidak menunjukan puteri mereka di depan umum sampai debutante tiba. Maka dari itu, Aria berada di istana sepanjang waktu. Apakah mungkin, gadis ini juga?

"Aku Xavier. Pangeran dari Edessa. Aku menemani bibiku, Yang Mulia Ratu Zenith ke sini." Xavier memperkenalkan diri dengan sopan.

Mendengar perkenalan itu, gadis itu menganga. "Ah, maafkan saya. Saya Sesilia, anak ketiga dari Raja Alderon." Ia buru-buru membungkuk. "Saya sudah mendengar bahwa Anda akan datang. Maaf karena saya berlaku tak sopan."

Xavier menggeleng geli. "Ya Tuhan, kamu juga seorang putri. Tak usah bersikap formal begitu." Ia tertawa kecil.

Sesilia tersenyum menanggapi ucapan Xavier. Ia terlihat salah tingkah. Bagaimana tidak? Saat ini di depannya, ada seorang putra mahkota yang membuat jantungnya berdebar tak karuan.

"Berarti, kamu adik dari Lionel, bukan?" Xavier menyebut nama dari putra mahkota Verona. Xavier beberapa kali bertemu dengan Lionel dalam pertemuan ataupun acara-acara.

Sesilia mengangguk. "Ya," jawabnya. "Apakah kamu mengenal kakakku?" Pertanyaan bodoh. Tetapi, Sesilia tak punya pertanyaan lain untuk mencairkan suasana.

"Tentu saja," angguk Xavier tertawa. "Aku cukup dekat dengan kakakmu."

Hening. Lagi-lagi, tak ada yang berbicara. Sesilia benar-benar gugup. Sementara, Xavier hanya menatap Sesilia yang terlihat canggung itu dengan geli.

Sejenak, Xavier teringat Aria. Ah, ia jadi merindukan kekasihnya itu. Apakah Aria juga akan berlaku gugup seperti ini ketika bertemu orang lain?

"Apakah kamu akan ikut makan malam nanti?" tanya Xavier memecah hening.

Sesilia mengangguk. "Ya, tentu. Seharusnya, aku baru dipertemukan denganmu nanti malam." 

Xavier tertawa kecil. "Apakah kita harus pura-pura tak saling mengenal?" tanyanya lagi. 

"Entahlah!" Gadis itu mengangkat bahu. 

Kepala Xavier miring sejenak. Ia berpikir. "Di Verona, apakah seorang puteri tak boleh ditunjukan pada publik sebelum debutante?" tanyanya hati-hati. 

Pasalnya, tidak semua kerjaan memberlakukan peraturan yang sama. Methia, contohnya. Walaupun kini, Methia sudah berada dalam persemakmuran Edessa, Adelaide--anak dari Aurius dan Mauretha--sudah diperkenalkan pada khalayak umum sejak usianya masih dua minggu. Ia bisa bebas berkeliaran dan bertemu dengan siapa saja sejak kecil bahkan tak jarang betemu dengan Xavier dalam beberapa acara besar sejak usianya masih belasan.

"Sebenarnya, tidak ada peraturan di kerajaan ini untuk menyembunyikan puteri hingga debutante." Sesilia terdiam sejenak. "Jadi, sepertinya, tidak perlu."

Teng! Teng! Teng! Teng! Suara lonceng tiba-tiba terdengar empat kali. Sesilia terkesiap. Ia menengok ke arah menara jam besar istana. "Astaga!" Gadis itu tampak panik. Ia menatap Xavier yang bertanggap bingung. "Maaf, aku harus kembali." Ia berucap cepat. 

"Ah, begitukah?" Nada kecewa terdengar dari Xavier. Padahal, Xavier baru senang karena memiliki teman baru.

"Ini rahasia, tetapi, pada makan malam nanti, kami akan menyajikan kudapan makan penutup khas Verona. Dan, aku yang membuatnya." Sesilia berkata bangga. 

"Serius?" Xavier membelalakan mata kaget.

Anggukan ditampakan Sesilia. "Ya, Ayah cukup mendukung kesukaanku terhadap memasak. Walaupun, para pelayan harus tetap membantu." Ia tertawa kecil. 

"Aku tidak sabar mencicipinya," kata Xavier antusias. Senyum merekah di wajahnya.

Sesilia menarik napas panjang. Menatap Xavier dan mata teduhnya. "Kalau begitu, sampai nanti, Yang Mulia Xavier." Gadis itu membungkuk hormat sebelum tersenyum sumringah dan berjalan meninggalkan pangeran muda itu di pantai sepi sore hari.

**BERSAMBUNG**

ECLIPSIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang