Bab 12: The Lake

1.2K 122 7
                                    

Aria membelalakan mata tak percaya. Gadis itu berlari kecil ke arah jendela. Matanya menemukan kereta kdua yang membawanya benar-benar sudah tidak berada di luar.

Ia menatap ke arah Phyrius yang bersikap sangat santai dan tenang. Tanpa banyak bicara, Phyrius malah membalasnya dengan tersenyum miring dan sosok jahil.

"Phyrius!" Aria berkata dengan nada sangat tajam. "Aku sedang tidak bergurau!"

Phyrius tertawa kecil sambil mengibaskan tangannya. "Kamu sudah selesai, bukan? Bergantilah! Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat."

Aria memiringkan wajah sementara Sera mendesis melihat kelakukan anaknya. 

Ke mana?" tanya Aria sedikit penasaran dan curiga bersamaan.

Phyrius mengangkat bahu kiri. "Ke satu tempat. Yang jelas, aku tidak akan mungkin mencelakaimu atau aku bisa dihukum gantung karena mencelakai putri Edessa."

Setelah berucap demikian, Phyrius melenggang ke pintu lalu membantingnya pelan. Menyisakan Sera dan Aria kembali berdua di ruangan. 

Sera membantu Aria berganti baju sambil tersenyum lembut ke arah kekasih dari salah satu putranya itu. Setelah itu, Aria mengangguk sopan untuk berpamitan dan keluar dari ruangan.

Mata gadis itu menangkap Phyrius yang duduk di sofa dengan santai. Pandangan mereka bertemu sebelum senyum jahil tersungging di wajah lelaki tersebut. Ia berdiri lalu mengamit tangan Aria tanpa permisi.

"Kita mau ke mana?" tanya Aria kaget. Ia menarik tangannya tetapi, Phyrius cukup kuat untuk menggenggam tangan itu.

Tanpa bicara, si pangeran muda itu berjalan ke arah luar rumah. Ia mengabaikan Aria yang tampak ingin protes.

"Jangan banyak bicara, kamu ikut saja." Phyrius berucap cepat.

Lelaki itu memiringkan kepala ketika menginjak kandang kuda. Ia melirik ke arah dua kuda berwarna hitam dan cokelat yang berdiri gagah di sana.

Dengan senyum cerah, ia mengusap kepala kuda itu. Tangannya menarik tali kuda dan memberikan yang warna cokelat kepada Aria.

"Kamu belajar berkuda bukan, Tuan Putri?" ejek Phyrius.

Aria mendecih sambil menarik kuda yang tampak cantik itu keluar kandang. Ia belajar berkuda bahkan sebelum masuk ke istana. Sial sekali Phyrius meremehkannya begitu.

"Namanya Floren." Phyrius berkata ketika Aria agak menjauh.

"Huh?" Alis Aria naik satu. "Floren?"

"Ya," jawab Phyrius sambil membawa kuda yang satu lagi. "Yang ini, Matt."

Aria mengangguk pelan. Informasi itu seperti tak begitu penting, namun ia tak ingin mendebat. Gadis itu menaiki pelana kuda bahkan tanpa bantuan Phyrius. Keduanya kemudian berkuda menyusuri jalan setapak.

Ini bukan pertama kalinya Aria ke Methia. Tetapi, ini pertama kalinya Aria berjalan ke tempat ini. Biasanya, ia hanya bermain di rumah Lucius dan Sera saja.

Aria mengikuti Phyrius berjalan ke arah hutan lalu membawa mereka ke dasar lembah. Bebatuan membentuk tembok yang tinggi dengan tebing di atas mereka. Itu adalah tebing perbatasan Edessa dan Methia yang selalu Aria lewati. Ia tidak menyangka, kini, ia berada di tempat yang biasanya hanya ia lihat saat lewat.

Menyusuri deretan pohon pinus yang berbaris, mereka keluar dan menemukan danau yang amat tenang. Beberapa bunga bermekaran. Cahaya mentari memantul dari permukaan danau.

Kuda Phyrius terus berjalan hingga berada di tepian danau sementara Aria mengikuti. Tak ada yang bersuara. Hanya angin dan derap kuda yang terdengar bersahut-sahutan.

Phyrius kemudian menghentikan kudanya. Ia melompat turun dan melepas tali kudanya begitu saja. Aria yang melihatnya mau tak mau mengikuti.

Kini, dua kuda itu tengah mengunyah rumput sementara Aria dan Phyrius duduk bersisian di tepi danau. Keduanya sama-sama diam. Tak ada yang berucap sepatah kata pun.

"Jadi, kamu mengajakku ke sini, untuk diam begini?" ejek Aria sambil menatap lurus ke depan.

Phyrius tak menjawab. Ia malah membanting tubuhnya ke arah rumput yang empuk. Kini, tubuh kekarnya berbaring di atas sana. Matanya memandang ke arah awan dan langit yang berwarna biru.

Aria yang bingung hanya bisa mendengkus pada akhirnya. Ia melirik Phyrius dengan mata memicing.

Angin sore bertiup menghantam pipi mereka. Wangi bunga yang baru mekar di musim semi tercium sangat harum.

"Kenapa ke sini sendiri?" tanya Phyrius pada akhirnya.

Aria mendelik. Bingung akan pernyataan lelaki di sebelahnya.

"Xavier, pergi?" tanya Phyrius lagi. 

Aria menarik napas sambil mengangguk. "Ya, ke Verona. Katanya, dua bulan. Jadi, daripada aku tidak memiliki kegiatan, aku memutuskan unutk ke sini. Latihan sedang diliburkan mengingat aku akan mengikuti debutante minggu depan."

Mendengar itu, Phyrius bangun. "Aku hanya tiga hari pergi ke perbatasan untuk mengawasi kamp dan batalyonku tetapi, Xavier sudah pergi begitu saja meninggalkanmu?" Nada lelaki itu meninggi. "Dia sudah tidak waras?"

Aria mengulum bibir. "Ia hanya menunaikan pekerjaannya. Lagipula, bukankah kita semua yang sudah sepakat untuk merahasiakan hubungan ini."

"Tetapi... tetap saja!" Phyrius berucap dengan sebal. "Tidak seharusnya ia seperti itu!"

Aria kini menyandarkan tubuhnya. Ia menatap langit di atasnya. "Aku juga sudah memutuskan untuk membuat hubungan kita lebih terbuka."

"Terbuka?" Phyrius tampak tak mengerti. "Terbuka seperti apa?"

Aria hanya diam. Ia mengulum bibir sejenak.

"Terbuka bagaimana, Aria?" tanya Phyrius lagi dengan nada tinggi.

Helaan napas terdengar.  "Xavier boleh mencari gadis lain, dan mungkin, itu akan membuka kesempatannya."

"Apa? Kamu tidak bisa--"

"Aku akan pergi, bukan?" Aria terkekeh getir.  "Aku akan sepertimu, berkelana lama sekali, meninggalkan Xavier. Ia pantas dengan yang lebih baik, bukan?"

Phyrius mendecih. Ia memicingkan matanya. "Bagaimana kalau ternyata, ia benar-benar jatuh cinta pada Sesilia, Aria?" tanyanya ragu. "Apakah kamu siap?"

Aria menarik napas sambil menggeleng. "Aku tidak tahu. Tetapi, bukankah justru itu yang penting?"

"Penting?" Alis Phyrius bertaut.

"Kalau Xavier benar-benar jatuh cinta pada Sesilia pada akhirnya, mungkin... ia memang tidak mencintaiku sama sekali, bukan?" Aria tertawa lirih.

Phyrius tercenung. Ia menghela napas keras-keras. Ini di luar dugaannya.

**BERSAMBUNG**

ECLIPSIAWhere stories live. Discover now