Bab 8: Perasaan

1.3K 145 2
                                    

Pengen nyelepet Xavi.

*****

Ruangan seketika menjadi tegang. Xavier menunduk bingung dan wajah Aria jelas meminta penjelasan secepatnya. Tak ada yang berani membuka mulut. Semuanya tampak menunggu satu jawaban yang keluar dari mulut Xavier.

Phyrius sudah mengepalkan tangan. Siap meledak jika dalam beberapa puluh detik lagi, Xavier tak bersuara.

"Y-ya, Yang Mulia."

Jawaban itu menghasilkan senyum di wajah Zenith. Tetapi, tiga detik kemudian, dentuman terdengar dari meja.

Asalnya dari Phyrius. Lelaki itu meninju kasar meja dengan mata penuh amarah. "Apa katamu?"

Napas Phyrius menderu. Dadanya kembang kempis sementara matanya melotot.

"Phyrius!" Sera yang tidak mengerti menghardik anak bungsunya.

Phyrius menggeleng. Ia melirik ke arah Sera yang sudah memengang ujung bahan lengan bajunya. Lelaki itu berdecih, menarik napas panjang-panjang untuk menenangkan diri.

"Ada apa, Phyrius?" tanya Zenith bingung. "Kamu terlihat keberatan."

Phyrius berdecak. "Ya, aku keberatan! Sangat keberatan!" Lelaki itu tanpa tahu malu berucap. Ia melirik ke arah Xavier. "Sedari tadi, aku mendiamkan semua untuk menunggu. Tapi, si gila ini sama sekali tidak membuka mulut." Ia menunjuk Xavier dengan kurang ajar.

Lucius memiringkan wajah. Phyrius memang tempramental. Tetapi, ia selalu marah dengan sebab yang berarti.

"Kita tahu bahwa Aria adalah perwakilan dari negara ini. Apakah tidak sepatutnya, Aria bersama dengan Xavier—atau pangeran dari negara ini—bukan? Kenapa bedebah ini harus bersama putri dari kerajaan lain?" Phyrius berkata sengit.

Xavier diam. Ia menelan ludah. Sejujurnya, ia juga lebih ingin bersama Aria. Tetapi, bagaimana berucap demikian pada Zenith.

Di sisi lain,  Zenith menarik napas panjang. Ia menengok ke arah Xavier. "Aku tidak memaksa, Xavier. Kalau kamu memang ingin menemani Aria..." Ia diam. Melihat Xavier yang sedikit kebingungan.

Xavier menelan ludah. Kerja sama dengan Verona adalah sesuatu yang penting. Jika memang menjadi partner debutante akan mempermulus diplomasi, bukankah itu adalah sesuatu yang bagus? Bukankah sebagai raja kelak, Xavier juga harus mendahulukan rakyat? 

Lelaki itu diam. Ia menghembuskan napas pelan. Seharusnya, Aria juga mengerti, bukan?

"Aku... aku akan bersama dengan Putri Sesilia," putus Xavier.

Mendengar itu, Phyrius benar-benar akan meninju kakaknya. Kalau tangannya tidak ditahan Aria, Xavier pasti sudah mati.

"Baik kalau itu maumu, Xavi." Zenith mengulas senyum.

Phyrius berdecak. Ia menghela napas sekencang-kencangnya. Lelaki itu menatap bibinya dengan garang. "Baik, kalau begitu, aku juga akan ikut dalam debutante kali ini."

Seisi ruangan terlihat kaget. Namun, Phyrius tetap santai dengan posisinya.

"Aku akan berdansa dengan Aria," putus Phyrius cepat.

Kini, giliran Xavier yang membelalak. Tetapi, ia juga kelu untuk melawan. Ia lebih kesal lagi ketika Phyrius malah mengambil tangan Aria begitu saja. Menyematkan jari jemarinya diantara jari Aria dan menggenggam tangan perempuan itu kuat-kuat.

"Kalau begitu, kami permisi. Aku rasa, aku dan Aria harus mendaftarkan diri kamu, bukan? Lebih cepat lebih baik." Phyrius berucap asal lalu menarik tangan Aria untuk berdiri.

ECLIPSIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang