Bab 6: Sebab Akibat

1.5K 143 2
                                    

Satu lagi ges. Ngomong-ngomong, Eclipsia mungkin alurnya lebih lambat sedikit di awal. Soalnya, aku harus pastiin kalian semua tau setiap masalahnya yang lumayan jelimet setiap tokohnya. Bukan cuma di Xavi tapi juga Phyrius sama Aria.

Selamat membaca.

*****

Dua orang anak lelaki berusia belasan berdiri di lapangan. Seorang pria yang lebih tua tampak berada di depan mereka. Ia memakai lencana dan baju zirah dengan tubuh tegap. Di sekitar mereka, tampak anak-anak yang lebih tua. Masing-masing dari mereka mengenakan baju zirah juga pegang di sabuk kiri mereka.

Salah seorang bocah yang berambut pirang menyenggol bocah lainnya yang berambut kecokelatan. "Aku takut, Rius."

Phyrius--si bocah berambut kecokelatan itu--menautkan alis. "Kenapa? Ini akan menyenangkan, Xavi!" balasnya.

Xavier menahan napas. Ia mulai bergetar.

"Berdiri yang tegak!" teriak pria itu.

Dua bocah itu mau tak mau menurut. Dengan sedikit takut, keduanya berdiri tegak.

"Kali ini, sebelum latihan dimulai, kalian akan menonton latihan pedang prajurit. Perhatikan baik-baik!" ucap pria itu tegas.

Bocah-bocah itu saling berhadapan. Sedikit takut namun kemudian mengangguk. Mereka sedikit menepi ketika sepuluh orang anak muda maju ke depan. Masing-masing berbaris lima-lima saling berhadapan dan menodongkan pedang.

Tak lama, bunyi pedang terdengar berdentang. Mata Phyrius tampak membulat kesenangan. Sementara, Xavier menutup mata rapat-rapat. Sebuah bayangan aneh muncul di kepalanya sebelum, "Argh!" Ia berteriak seperti orang gila.

*****

Xavier mengusap lengan kirinya. Rasa nyeri itu terasa lagi. Tangannya terasa kebas dan mati rasa. Ia berusaha mengurangi sakit itu dengan memukul-mukul pundak kirinya. Duduk berlama-lama di kereta kuda memang menyebalkan. Sementara, perjalanan dari Verona menuju Edessa masih satu jam lagi.

Zenith menangkap kegelisahan keponakan lelakinya. Ia menyesap bibir. Menatap Xavier lekat-lekat dengan penuh rasa khawatir.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Zenith cemas. "Apakah kita perlu berhenti dulu agar kamu bisa merenggangkan tanganmu?"

Xavier menggeleng. "Tidak apa-apa. Ini bukan sakit yang parah, kok."

Si ratu itu menghela napas pelan. Ia menyorot Xavier dengan penuh khawatir. "Apakah kamu masih rutin meminum obat yang sudah disiapkan?"

"Tentu, Yang Mulia. Aku tidak pernah melewatkannya." Xavier berkata yakin. Ia tidak bisa membayangkan jika obat itu sama sekali tak diminumnya. Mungkin, sakit yang ia alami sekarang akan lebih parah.

Zenith mengulum bibir. Ia menatap ke arah jendela pada kereta kuda. Pemandangan pohon dan hutan tampak di hadapan mereka. "Kamu tahu, saat itu, kami pikir, kamu akan mati."

Xavier tersenyum kecil mendengar penuturan itu. Ia sudah mendengar ceritanya berulang kali.

Si putra mahkota itu masih sangat kecil untuk mengingat. Tetapi, samar-samar, ia masih bisa mengingat rasa takut akibat melihat pertarungan di depan matanya. Juga, rasa sakit ketika sesuatu menancap di pundak kirinya.

"Maafkan aku karena tidak becus menjagamu." Zenith berkata lagi. "Bahkan kamu sampai ketakutan setengah mati begitu... Juga, tangan kirimu..."

Xavier buru-buru menggeleng. Lagi-lagi, kakak perempuan dari ayahnya itu menyalahkan diri sendiri lagi.

ECLIPSIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang