Bab 10: Meaning of Happiness

1.3K 140 3
                                    

Suara tepuk tangan kecil terdengar ketika Xavier yang berusia tujuh belas menembakan anak panahnya. Padahal, tidak mengenai pusat target, tetapi, tepuk tangan itu tetap terdengar.

Xavier menengok, menemukan seorang anak perempuan yang berdiri agak jauh. Aria. Gadis itu sudah setahun di sini. Dan baru setahun saja, perempuan satu itu sudah mampu menguasai banyak teknik bela diri yang bahkan harus dipelajari Xavier dan Phyrius selama bertahun-tahun.

"Hai," sapa gadis itu manis.

Xavier menelan ludah. "Halo."

Ia gugup. Rasanya malu melihat bagaimana sepuluh anak panah terlepas dan kesepuluhnya tak ada yang mengenai pusat sasaran satu pun. Bahkan, setengah dari anak panah itu terlempar ke udara lalu terjatuh ke tanah tanpa menancap apapun.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Xavier lagi.

"Melihat Yang Mulia." Aria menjawab santai. "Aku belum diajari memanah. Jadi, rasanya, sangat hebat melihat orang lain memanah."

Xavier mendecih pelan. Mungkin, gadis ini tengah berusaha menghibur.

"Apakah Yang Mulia mau mengajari aku cara memanah?" tanya Aria tiba-tiba.

"Apa?" Xavier berjengat. Ia mengangkat alis kirinya karena kaget. Diajari memanah?

"Ajari aku memanah," ulang Aria dengan bersemangat.

Xavier semakin bingung. Ia memandang Aria dengan aneh. "Aku? Lihat bahkan anak panahku tidak bisa mengenai target, Aria. Kamu bisa belajar dengan orang lain. Phyrius, misalnya."

Aria menggeleng. "Tidak, aku tidak mau. Aku mau Yang Mulia Xavier saja." Ia tertawa ketika mengucapkan kalimat itu.

Xavier menarik napas. Melihat binar di mata Aria, Xavier mau tak mau mengiyakan. Ia menarik Aria. Memosisikan tubuh gadis kecil itu di depan tubuhnya.

"Pegang ini," titah Xavier cepat.

Aria mengangguk. "Begini? Aku hanya memerhatikan cara pegang Anda." Ia memegang busur dan cara pegangnya sangat bagus.

Xavier menelan ludah. "Sekarang tegakan tubuhmu. Kaki sejajar dengan pundak."

Aria lagi-lagi melakukan pose yang benar-benar tepat. "Lalu, apakah aku menarik anak panah dengan cara seperti ini?" Gadis itu meletakan panah pada busur lalu menembakannya begitu saja. Sayangnya, panah itu tak menyentuh target.

Xavier mengulum senyum melihat Aria yang–bukannya merasa bersalah–malah nyengir.

"Ya, begitu," kata Xavier. "Tetapi, tarikanmu masih lemah."

Mendengar dirinya sendiri berbicara, Xavier mendecih. Ia sendiri pun sering kali kehilangan kekuatan saat menarik anak panah di busur dan menyebabkan panah itu melambung lemah menuju tanah. Tetapi, ia berpura-pura seperti seorang profesional. Ia tak mau kelihatan lemah di depan Aria.

Aria mengangguk sementara Xavier mengambil anak panah lain. Kini, Aria kembali mengarahkan anak panahnya. Xavier ikut memegang tangan gadis itu, membantu menarik anak panah tersebut.

Sst! Anak panah itu lepas dan tepat menancap ke arah pusat target.

"Wah!" Aria melonjak kesenangan.

Xavier terlamun. Tepat sasaran. Tepat di titik merah pusat target. Ia selama ini tak bisa mencapai target kecil itu, tetapi dengan Aria, ada kekuatan lebih yang berada di sisinya.

Senyum merekah. Xavier selama ini tak pernah menyentuh target dan Aria tersenyum puas karena tepat sasaran di kali pertama mencoba.

Aria dan Xavier saling berpandangan. Hanya sesaat sebelum membuang wajah yang sudah memerah seperti tomat. Degup jantung tak biasa tiba-tiba hadir di dada Xavier. Detak aneh yang tak bisa dideskripsikan.

ECLIPSIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang