Bab 14: Debutante Ball

1.1K 124 0
                                    

Maaf aku kemarin nggak up. Rencana mau up dobel hari ini pun nggak keburu. Aku up dobelnya ngutang dulu ya hehehe enjoy

***

Pesta dansa akan dilaksanakan malam nanti. Sejak tadi, sudah banyak pelayan yang berlalu lalang. Mereka sibuk dengan ini dan itu. Piring-piring bertumpuk diletakan. Dekorasi terasa begitu mewah. Aula dansa terasa sangat berbeda.

Sudah banyak orang yang datang ke Edessa sejak kemarin. Menginap di istana utama maupun instana lain di pusat kota.

Aria tak hapal siapa saja yang menyapanya atau siapa yang ia temui sejak kemarin. Beberapa kali Zenith atau Xavier memperkenalkan orang-orang itu. Yang ia tahu, ia sangat gugup.

Bertemu dengan orang lain selain di istana setelah sekian lama menimbulkan ketakutan tersendiri untuk Aria. Tangannya berkeringat dingin, ia gemetar, dan perutnya mual. Rasanya, ia ingin kabur saja.

Hari ini, Aria duduk di kursi yang menghadap jendela. Sore sudah menjelang dan dari kamarnya itu, ia bisa melihat semakin banyak orang yang datang. Gadis ini tak latihan sudah tiga hari. Katanya, ia harus mempersiapkan fisiknya untuk pesta malam ini.

Aria sudah siap dengan gaunnya. Riasan sudah selesai dikerjakan sejak beberapa puluh menit lalu. Ia bahkan tak mengenali dirinya sendiri di cermin.

Tok! Tok! Suara ketukan pintu di kamar membuyarkan lamunan Aria. Tanpa menunggu jawaban Aria, sebuah kepala bundar menyembul dari balik pintu.

"Phyrius!" Aria mendesis melihat sosok laki-laki itu masuk ke kamarnya tanpa permisi.

Phyrius cengengesan seperti orang bodoh untuk setelahnya terlamun sejenak. Ia bahkan menganga, menatap Aria dari atas sampai bawah.

"Apa?" ketus Aria kesal ditatapi seperti itu.

Phyrius menelan ludah. Ia buru-buru membetulkan sikapnya. "Kalau seperti ini, aku jadi yakin kalau kamu benar-benar Aria."

"Hei! Apa maksudmu?" Aria menaikan nadanya.

Phyrius tertawa lagi. Ia benar-benar puas melihat wajah Aria yang memerah. Malu bercampur kesal menjadi satu di pias gadis itu.

Lelaki itu mengulurkan tangannya. "Ayo," ucapnya.

Aria mengangguk lalu memicingkan matanya sejenak. "Aku bisa berjalan sendiri," ucapnya ketus dengan maksud bercanda.

Phyrius berdecak ketika Aria keluar dari kamarnya. Berandai-andai apabila Xavier yang mengulurkan tangan itu kepada Aria. Mungkin, Aria akan menerimanya dengan senang hati.

Keduanya berjalan bersisian. Aria terlihat sedikit kesulitan mengenakan sepatunya. Terbiasa menggunakan sepatu bot untuk belajar berperang, gadis itu kesusahan ketika mengenakan sepatu berhak tinggi. Ia tertatih-tatih dalam berjalan. Ditambah lagi, rok dan gaunnya yang berat membuat langkahnya semakin sulit.

Phyrius menghela napas sambil berjalan cepat untuk menggenggam tangan Aria. "Jangan protes, kalau tidak begini, kamu akan jatuh dan melukai dirimu sendiri." Lelaki itu berucap sebelum Aria berceramah.

Aria menghela napas kesal. Mau tak mau, ia menggenggam tangan Phyrius dengan erat. Hanya itu caranya untuk berjalan.

Matanya menyorot ke arah Xavier dan Sesilia. Pangeran berambut pirang keemasan itu bersisian dengan seorang tuan putri yang terlihat sangat anggun. Gadis itu mengenakan gaun warna merah muda dengan aksen bunga-bunga yang tampak di roknya. Benar-benar anggun dan manis.

"Hai," sapa Sesilia ramah. Senyumnya merekah seperti musim semi.

Aria mengangguk pelan. "Halo."

"Kamu tampak cantik hari ini," pujinya lembut. "Kamu kuat dan cantik bersamaan. Rasanya, aku jadi berpikir, apakah jika aku menikah dengan Yang Mulia Xavier, aku juga akan belajar bertarung?"

ECLIPSIAWhere stories live. Discover now