Bab 7: Switch?

1.3K 147 2
                                    

Sinar mentari yang masuk melewati celah tirai membuat Phyrius mau tak mau mengucek matanya. Sudah lama ia tak bangun siang, juga tidur di kasur empuk seperti ini. Kalau dipikir-pikir, berbulan-bulan di kamp seperti neraka. Ia bahkan lupa bahwa dirinya adalah seorang pangeran.

Hari ini, ia tak punya kegiatan. Phyrius juga sedang malas berlatih dengan prajurit lain. Ia butuh liburan. Kesempatan seperti ini memang tak boleh disia-siakan! 

Bagaimana kalau menemani Aria latihan dansa lagi? Ide itu muncul di kepalanya tiba-tiba. Namun sedetik kemudian, ia mendengkus. Kakaknya pulang semalam--setidaknya, itu yang ia dengar dari ramai-ramai malam tadi.

Dan, Phyrius yakin, Aria pasti akan lebih memilih untuk berlatih dengan Xavier. Atau mungkin, saat ini, Aria sudah berada di kamar Xavier diam-diam? Atau justru, kakaknya yang mengendap menuju kamar Aria? 

Sepertinya, kemungkinan kedua. Mengingat, kakaknya agak sinting dan sangat gila kalau sudah menyangkut Aria. Semoga, Aria baik-baik saja. Gadis itu bahkan belum berusia delapan belas tahun! Tunggu! Jika di kamar berdua, apa yang Xavier lakukan? Apa jangan-jangan...

Phyrius berdecak sambil mengacak rambutnya sendiri. Menjadi orang ketiga di dalam hubungan itu memang menyebalkan! Ia merasa selalu tertinggal.

Sebuah ketukan di pintu kamarnya membuat Phyrius mau tak mau mengangkat alis. Dengan sedikit malas, ia beranjak dari kasur. "Siapa?" teriaknya.

"Aku!" Kata itu terdengar begitu lantang.

Tetapi, bukan kelantangannya yang membuat Phyrius membelalak. Orang yang bersuara di depannya.

"Xavi?" ucap Phyrius membuka pintu. 

Tidak! Tidak salah lagi! Di depan matanya, tampak Xavier yang tersenyum miring. Ia sudah rapi dengan setelan lengkap khas kerajaan. Kontas dengan Phyrius yang hanya memakai tunik tidur.

Tanpa dipersilahkan, Xavier mendorong Phyrius untuk masuk ke kamarnya. "Kupikir, tinggal di kamp mengubah kebiasaan bangun siangmu," sindir si kakak.

Phyrius mengangkat alis. "Aku di sini sedang liburan, bukan bertugas." Lelaki itu kembali melempar tubuhnya ke atas tempat tidur. "Lagipula, biar bagaimanapun, aku ini tetap seorang pangeran."

"Tetapi, seorang pangeran tetap harus bangun pagi, Phyrius." Xavier berdecak kesal. Ia mendorong adiknya. "Cepat bersihkan dirimu dan bersiap! Yang Mulia Zenith memanggil."

Phyrius langsung menengok kesal. Ia sudah yakin, tak mungkin kakaknya datang tanpa sebuah amanat dari sang ratu.

"Kamu benar-benar seperti boneka ratu sekarang," sindir Phyrius.

Xavier menarik napas panjang-panjang. Bolehkah ia menyetujui kalimat itu dari dalam hatinya? Ia sudah merasakan hal itu dari lama. Hanya saja, ia tak ingin pikiran negatif menjadi beban di kepalanya.

"Ya, ya, ya, terserah!" Xavier mengibaskan tangannya. "Aku hanya ingin berkata bahwa ayah dan ibu juga datang dalam pertemuan ini. Ya, sebenarnya, ini lebih bisa disebut sebagai sarapan pagi bersama, sih!"

Phyrius membelalak. "Kenapa tidak bilang bahwa ayah dan ibu akan datang?" Ia berteriak  sambil bangun dari tempat tidurnya. lidahnya berdecak pelan sambil pergi ke kamar mandi.

Dua atau tiga tahun lalu--setelah Phyrius resmi dikirim dalam berbagai misi--Lucius dan Sera meminta untuk kembali tinggal di rumah mereka di Methia. Kadang, Lucius dan Sera suka berkunjung jika ada keadaan darurat. Tetapi, kebanyakan, mereka berada di Methia. Sepertinya, pasangan itu lebih suka di sana dan menghabiksan masa tua mereka.

Phyrius sudah keluar beberapa belas menit kemudian. Handuk masih melilit pinggangnya.

"Apa yang kamu lakukan? HEH!" teriak Xavier buru-buru.

ECLIPSIAWhere stories live. Discover now