4

377 81 1
                                    

***

Sekembalinya ia dari toilet, Yina kembali membeku. Ia kembali ke kafetaria tadi, namun Wonyoung dan teman-temannya sudah tidak di sana. Bahkan handphonenya juga tidak di sana. Padahal tadi ia sedang mengisi daya handphonenya di meja kafetaria itu. Ia melihat sekeliling, berfikir kalau teman-temannya mungkin sedang menjahilinya. Ia hanya buang air kecil di toilet tadi. Sama sekali tidak lama, sebab ia tidak membawa apapun ke toilet tadi. Tasnya yang berat, ia tinggalkan di van Wonyoung, bersama dengan tas teman-teman lainnya.

"Tunggu saja di sini, mungkin mereka sedang berkeliling," tenang Yina, memutuskan untuk duduk di sana. Menunggu sembari memperhatikan hal-hal di sekelilingnya, juga melipat tissue yang dapat diraih tangannya.

Beberapa orang melihat ke arahnya, tidak mengenalinya namun juga enggan untuk berkenalan. Mungkin hanya anak seorang karyawan—sepertinya begitu pikiran orang-orang yang lewat dan melihat Yina duduk sendirian di sana. Yina bisa duduk berjam-jam hanya dengan beberapa lembar tissue, bermain origami dengannya, membuat mawar juga bentuk-bentuk lainnya.

Yina sudah membuat tiga mawar sembari mencuri-curi dengar obrolan di meja lain. Ia sudah bosan dan harus pulang sekarang, ibunya akan marah kalau ia pulang setelah hari gelap. Gadis itu kemudian melangkah, pergi ke lift dan berdiri di depannya. Sialnya, ia perlu kartu akses untuk membuka lift itu. Tangannya saja tidak cukup untuk bisa membuka pintu liftnya.

"Augh! Harusnya aku tidak kesini," gerutu Yina, menoleh ke kanan dan kiri, mencari seseorang yang bisa ia mintai tolong. Ia bisa saja pergi kembali ke kafetaria, meminta seseorang di sana untuk meminjaminya kartu akses lift sialan itu, namun mengganggu seseorang yang sedang makan rasanya keterlaluan. Bahkan anjing saja tidak boleh diganggu saat makan.

Sekali lagi, sebuah kebetulan sekaligus keberuntungan untuk Yina terjadi. Pria bertato yang Wonyoung ceritakan tadi, baru saja keluar dari salah satu ruang latihan di dekat lift. Sekali lagi, mereka bertukar tatap, dan kali ini pria itu tidak memakai kacamatanya. Laki-laki itu memang tampan—nilai Yina, tanpa mengaburkan penilaiannya sebelumnya. Tidak mungkin pria kurus itu bisa menggendong Wonyoung sembari bersetubuh dengannya.

"Boleh aku minta tolong untuk membukakan liftnya?" tanya Yina, menunjuk pintu besi di sebelahnya. Pria yang Yina mintai tolong setuju untuk membantu, namun setelahnya pintu lift terbuka dan seorang petugas keamanan datang 'menangkap' Yina.

Yina dijahili. Wonyoung dan teman-temannya, melaporkan Yina sebagai seorang penyusup. Seorang yang diam-diam berbaur bersama mereka, menerobos masuk untuk melihat-lihat isi agensi besar itu. Sebelum Yina ditangkap, Wonyoung juga Yujin sudah lebih dulu berakting di kantor keamanan gedung itu, berlaga kalau mereka adalah korbannya. "Kami tidak mengenal gadis itu, tapi dia memaksa untuk ikut masuk bersama kami. Untungnya kami bisa kabur saat dia pergi ke toilet," begitu kata anak-anak yang meninggalkan Yina juga mencuri handphonenya tadi. Mereka menjahili Yina dengan sangat kejam, membuatnya jadi seolah pelaku kejahatan.

Di dalam kantor keamanan itu, tidak seorang pun bisa mempercayai Yina. Bukan karena mereka tahu Yina berbohong, namun karena laporan yang sudah terlanjur mereka terima. Menuduh seorang idol terkenal dan putri aktris berbohong, bisa membuat pekerjaan mereka terancam, meski semuanya tahu kalau kejadian itu hanyalah candaan anak-anak. Sial sekali, juga sedikit memalukan, karena para orang dewasa itu tidak berkutik ketika dijadikan bahan permainan anak-anak berkuasa.

"Kami mengerti," pasrah seorang petugas keamanan di sana. "Kami tahu kau tidak melakukan kejahatan apapun. Karena itu, cobalah untuk menelepon ibumu agar dia bisa menjemputmu di sini," susulnya. Ia tidak punya pilihan lain selain meminta seseorang menjemput Yina, agar masalah itu terlihat sedikit serius. Agar ia setidaknya terlihat sedikit bersungguh-sungguh, kelihatan sedikit mempercayai candaan konyol anak-anak kaya tadi.

"Kalau kalian tahu aku tidak bersalah, kenapa ibuku harus datang? Aku bisa pergi sendiri, biarkan aku pergi," pinta Yina namun tidak seorang pun dari petugas keamanan itu menyetujui permintaannya.

Kalau Yina bisa keluar begitu saja, tanpa penanganan serius, para petugas keamanan yang bukan polisi itu khawatir pekerjaan mereka akan terancam. Bagaimana kalau Wonyoung juga Yujin memberitahu orang-orang berkuasa di sana? Bagaimana kalau anak-anak nakal itu memberitahu para penguasa kalau mereka tidak becus bekerja? Kalau mereka tidak bisa menangkap seorang penyusup kecil seperti Yina? Meski tahu kalau ocehan anak-anak tadi hanyalah candaan konyol, jauhnya jarak dari status sosial mereka membuat akal sehat tidak lagi terlalu berguna.

"Hanya telepon ibumu, aku yang akan menjelaskan semuanya," bujuk si petugas keamanan yang sayangnya tidak bisa Yina kabulkan. Yina tidak mau menelepon ibunya, sebab jika ia menelpon ibunya, ia akan terlihat bersalah. Jika ia menelepon ibunya, ia merasa baru saja mengakui kejahatannya.

Yina terus menolak, memaksa agar ia diizinkan pergi tanpa perlu mengakui kesalahan apapun. Tanpa perlu mengakui apa yang tidak dilakukannya. "Kalau aku memang berniat menyusup, aku tidak akan menunjukan wajahku ke cctv," gerutu Yina.

Ia terus ditahan di sana, sampai seorang pria mengetuk dan masuk ke ruang keamanan itu. Pria dengan tato tadi. "Oh ayolah, kalian masih menahannya di sini?" heran pria itu, membuat dua petugas keamanan di dalam ruangan itu lantas berdiri, menyapanya. Sedang petugas lainnya hanya menoleh dan menunduk sopan dari tempat mereka duduk, di depan komputer-komputer untuk memantau rekaman cctv.

"Ini bukan sekali dua kali mereka melakukan candaan konyol seperti ini, biarkan dia pergi," susul pria itu, menunjuk-nunjuk Yina yang masih duduk di sofa, dengan kedua tangannya yang berpangku pada pahanya sendiri.

"Tapi kami butuh tanda tangan dari walinya agar dia tidak lagi datang ke sini-"

"Aku juga tidak mau ke sini lagi," sela Yina. Ia raih berkas yang ada di atas meja, melihat tulisan surat perjanjian di sana. Janji kalau seseorang yang bertandatangan di sana, akan memastikan Yina tidak kembali lagi ke agensi itu, tidak juga melakukan kesalahan yang sama seperti sekarang. "Whoa... Kalian ingin ibuku datang untuk ini? Kalian bilang, kalian mempercayaiku! Apanya yang mempercayaiku kalau begini isinya?" keluh Yina, seolah tengah bicara pada seorang paman yang sudah lama menjadi tetangganya. Seseorang yang ia kenal dekat secara pribadi. "Paman, aku tidak menyusup ke sini, aku tidak mampu untuk menyusup ke sini, kalian tahu itu! Ayolah, biarkan aku pergi," bujuk Yina, tanpa sudi menandatangani apapun.

"Anggap saja anak-anak nakal itu salah paham dan dia datang bersamaku, tulis begitu di laporanmu," tegas pria dengan tato tadi, sembari menggerakan tangannya, mengibas-ibas ke arah Yina agar gadis itu berhenti bicara. Agar Yina berhenti mengeluh.

Yina akhirnya diizinkan pergi tanpa menandatangani apapun. Ia diizinkan pergi bersama seorang produser bertato itu. Tanpa tahu alasan pria bertato itu bersedia jadi penjaminnya—secara lisan—Yina mengekor di belakangnya. Di antar sampai keluar dari gedung itu.

"Uhm... Paman-"

"Tidak perlu berterima kasih, aku hanya kasihan karena anak-anak nakal itu menjahilimu," potong pria itu, masih sembari melangkah menyusuri lorong yang jauh dari keramaian. "Kalau mereka sedikit lebih pintar dan memanfaatkan handphonemu, kau bisa benar-benar jadi penjahat-"

"Sayangnya mereka tidak secerdas itu," Yina menyela, sama seperti yang produser itu lakukan sebelumnya. "Mereka membawa handphoneku pergi, agar aku tidak bisa menghubungi siapapun," susulnya, memberi sedikit informasi pada pria itu. "Tapi paman, aku tidak ingin berterima kasih tadi. Maksudku, terima kasih, karenamu aku bisa keluar dari sana lebih cepat, tapi... Maaf sebelumnya, aku tidak pandai mengenali seseorang... Apa kau produser GD? Yang menulis Let's Not Fall In Love?" tanya Yina, sedikit berlari agar ia bisa menyamai langkah cepat produser sibuk itu.

"Ya, tapi jangan menulis apapun, jangan juga mengunggah apapun tentang kejadian hari ini," tanpa ragu, pria itu berkata.

"Wah... Sungguhan? Lalu, apa kau masih ingat Lalisa Kim?" tanya Yina, sukses menghentikan langkah pria itu.

***

Introducing Me (New Version)Where stories live. Discover now