65

307 78 9
                                    

***

Jiyong sudah naik ke ranjangnya, bersiap untuk tidur sedang Lisa masih duduk di meja riasnya. Masih bercermin, menikmati wajah cantiknya sendiri. "Yina bilang, tadi Irene mengiriminya pesan, kalau Irene akan menjemputnya besok," kata Lisa, sembari menekan-nekan pipinya dengan enam jarinya. Memastikan pipinya tetap menggemaskan, memastikan serum wajah yang ia pakai akan bekerja dengan semestinya.

"Dia belum menyerah?" jawab Jiyong, sama sekali tidak memperhatikan istrinya. Pria itu sibuk dengan pekerjaan di handphonenya.

"Apa aku masih cantik kalau begini?" tanya Lisa, kali ini menoleh pada Jiyong. Ia tekan pipinya sendiri dengan kedua tangannya, membuat bibirnya mengerucut kecil dan suaranya jadi terdengar aneh.

Jiyong menoleh, lantas terkekeh. "Cantik. Tapi apa yang sebenarnya sedang kau lakukan?" heran Jiyong. Ia ulurkan tangannya, mengajak Lisa untuk masuk ke pelukannya, masih sembari terkekeh.

"Stress," balas Lisa, bergerak mendekat untuk naik ke ranjang, masuk ke dalam pelukan suaminya. Namun tidak langsung terlelap, tidak juga mulai memejamkan matanya.

Jiyong memeluk Lisa, masih sembari membaca beberapa pesan di handphonenya. Jennie mengirinya beberapa pesan, beberapa foto tentang musik mereka. Jennie merasa perlu mengganti beberapa lirik dan Jiyong menyuruhnya untuk mencoba saja semua lirik itu. "Coba saja, rekam semuanya," hanya itu pesan yang Jiyong kirim untuk membalas belasan pesan Jennie.

Mereka terus berada di posisi yang sama. Hanya berpelukan, tidak lagi berbincang, sama-sama sibuk membaca pesan di layar handphone Jiyong. Sampai sebuah pesan panjang masuk dari Song Mino. "Hyung, aku tidak bermaksud ikut campur tapi aku rasa kau perlu tahu soal ini," begitu awal pesannya. Di susul cerita Yina tentang alasannya ingin pergi bersama Irene.

"Yina bilang begitu pada Mino?" tanya Lisa, memastikan kalau ia tidak salah membaca pesan. "Yina ingin bertemu dengan ayahnya?" susulnya, kembali bertanya.

"Bibi Oh sejahat itu?" Jiyong ikut bertanya-tanya.

Bagi Lisa Bibi Oh menyebalkan. Sangat menyebalkan, namun masih tidak pantas untuk disebut jahat. Lisa tidak tahu apa yang Irene alami selama tinggal di rumah Bibi Oh, namun rasanya tidak akan semengerikan itu—sampai mereka perlu melarikan diri ke London hanya untuk menghindar dari Bibi Oh.

Malam itu juga, Lisa menyuruh Jiyong untuk tidur lebih dulu. Sedang ia bangkit dari ranjang, lantas melangkah pergi ke kamar putrinya. Lisa mengetuk pintu kamar Yina, kemudian melangkah masuk setelah gadis itu mempersilahkannya. Yina sedang duduk di meja belajarnya sekarang, mengerjakan beberapa soal sebelum pergi tidur.

Sembari menunggu Yina selesai mengerjakan soalnya, Lisa naik ke ranjang gadis itu. Menunggu putrinya di sana. "Kenapa? Eomma bertengkar dengan Paman?" tanya Yina, heran karena ibunya tiba-tiba datang. Mereka hampir tidak pernah lagi tidur bersama, sejak Lisa punya teman tidur baru.

"Tidak, ada yang ingin aku bicarakan denganmu, sebelum tidur," jawab Lisa. "Aku akan menunggu, selesaikan saja tugasmu," katanya kemudian namun Yina tidak mendengarnya, gadis itu justru menutup bukunya kemudian naik ke ranjang, menghampiri ibunya lalu memeluknya.

"Apa? Apa yang akan kau bicarakan?" tanyanya penasaran. "Biar aku tebak. Kau akan membelikanku handphone baru? Laptop baru? Pakaian baru?" tanyanya dan Lisa hanya berdecak, Yina tidak akan mendapatkan laptop maupun handphone baru sampai ia lulus sekolah menengah nanti. "Hhh... Lalu apa yang ingin eomma bicarakan? Kau melakukan kesalahan?" tanya Yina, ia tengkurap di ranjang, menumpu tubuh bagian atasnya dengan siku agar bisa menatap ibunya yang setengah bersandar ke kepala ranjang.

Lisa mengangguk, membuat putrinya mengukir seulas senyum dengan terpaksa. Tentu Yina bertanya kesalahan apa yang ibunya lakukan, namun Lisa tidak segera menjawabnya. Gadis itu justru berkata, kalau kesalahannya akan sangat melukai Yina. Membuat Yina semakin penasaran dengan kesalahan itu.

"Selama bertahun-tahun aku merahasiakan sesuatu yang sangat besar darimu," kata Lisa. "Aku minta maaf dan aku tidak punya satupun alasan untuk membela diri."

"Apa? Aku sebenarnya putrimu, bukan putri kakakmu?" tanya Yina dan Lisa menekuk bibirnya, cemberut. "Kalau rahasianya tidak seburuk itu, tidak apa-apa. Beritahu aku, apa yang eomma sembunyikan dariku selama bertahun-tahun."

"Ini tentang ayah kandungmu," jawab Lisa, membuat Yina langsung membulatkan matanya.

"Tiba-tiba?" tanya gadis itu dan Lisa menganggukan kepalanya.

"Hari ini... Aku menemuinya. Karena tidak ingin kau dibawa pergi Irene," aku Lisa. "Aku minta maaf, itu jelas bukan alasan yang bagus- maksudku- aku bersalah karena selama bertahun-tahun menyembunyikanmu dari ayah kandungmu. Kau berhak marah karena aku menipumu selama ini," kata Lisa.

Yina bangkit dari tidurnya. Ia duduk di ranjang begitu juga dengan Lisa. "Aku kelas dua belas sekarang," kata Yina setelah beberapa menit ia diam. "Kenapa semua kejutan jahat ini harus terjadi sekarang?" herannya. "Aku tidak suka belajar, tapi memikirkan semua ini juga tidak menyenangkan," keluhnya.

"Kalau kau mau, kita bisa bertemu dengan ayah kandungmu, besok," tawar Lisa. "Kau ingin membolos atau pergi menemuinya sepulang sekolah, terserah padamu," katanya.

Lama Yina terdiam. Duduk di tempatnya dengan kepala tertunduk. Menghindari tatapan ibunya. Sibuk menekan-nekan kukunya dengan kuku yang lain. Sampai akhirnya, ia membuka mulutnya, "seperti apa ayahku?" tanya Yina kemudian.

"Dia sangat ingin bertemu denganmu," jawab Lisa. "Dia berusaha menemukanmu, tapi aku terus menghalanginya," ujarnya, jelas berbohong, sebab Bibi Oh lah yang sebenarnya menghalangi putranya untuk menemui Yina.

"Kenapa eomma melakukannya?"

"Aku takut," kali ini ia memilih untuk tidak berbohong. "Kita hanya punya satu sama lain, kalau kau bertemu dengan ayah kandungmu, lalu bagaimana denganku?" kata Lisa. "Setelah ibuku meninggal, aku selalu bilang—tidak apa-apa, masih ada Yina—tapi kalau kau bertemu dengan ayah kandungmu dan dia membawamu pergi, aku tidak akan baik-baik saja. Sama seperti kakakku, aku juga egois. Mungkin sifat itu mengalir di darah kami, diwariskan lewat DNA," aku Lisa, sembari menahan dirinya agar tidak menangis.

"Jangan menangis, eomma sudah memakai serummu. Itu mahal," komentar Yina, yang kemudian memeluk bahu ibunya. "Aku tidak akan pergi, jangan menangis," bisiknya kemudian, masih sembari memeluk ibunya. "Lagi pula, eomma tidak lagi sendirian sekarang. Ada Paman di sisimu," katanya, mencoba menenangkan ibunya yang sedang berusaha menahan tangis.

"Itu tidak sama-"

"Aku tidak akan pergi kemana-mana," potong Yina, seraya merasakan pelukan yang sama di punggungnya. Lisa balas memeluknya. "Dengan Irene atau ayah kandungku, aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku akan tetap di sini, bersamamu," tegasnya. "Karena itu jangan menangis, eomma membuatku ingin menangis juga. Jangan menangis, aku tidak mau ke sekolah dengan mata bengkak lagi, aku tidak mau menangis lagi, jangan menangis," ocehnya, dengan air mata yang tidak bisa ia tahan lagi. Gadis itu menangis, merengek pada ibunya, mengatakan betapa ia menyayangi ibunya itu.

***

Introducing Me (New Version)Where stories live. Discover now