54

296 69 19
                                    

***

Yina kelelahan sepulang sekolah, namun Irene belum menyerah. Wanita itu datang lagi. Mengunjungi Yina di sekolahnya, melambai sembari mengulas senyumnya. "Yina-ya," panggilnya, seolah tidak melihat wajah lelah, juga bengkak putrinya yang semalaman menangis... karenanya.

Yina yang sebelumnya tersenyum, terkekeh bersama teman-temannya, kini menekuk lagi wajahnya. Padahal Junkyu dan teman lainnya perlu waktu seharian untuk menghibur Yina hari ini. "Ya, sampai nanti, kita pergi setelah ujian selesai," kata Yina, melambai pada teman-temannya, lantas menyimpan lagi tangannya ke saku.

Mereka berpisah. Yina melangkah ke halte, sedang teman-temannya masuk ke mobil mereka masing-masing. Ia lewati Irene, berlaga seolah tidak melihatnya meski mereka sempat bertukar tatap sebelumnya. Ia menyesal, karena tidak menerima tawaran Jiyong pagi tadi—aku bisa menjemputmu nanti sore, aku bisa keluar dari studio lebih awal, menjemputmu lalu kembali lagi, kalah kau mau—begitu tawaran yang Yina tolak tadi pagi.

"Ada apa dengan wajahmu?" Irene bertanya, mengekor pada Yina yang pergi ke halte. Ia kenakan kaus serta celana jeansnya. Berusaha keras untuk terlihat santai meski ia tidak cocok dengan kesan itu. Lagi-lagi Irene mengambil pendekatan yang salah. "Kau marah karena makanan kemarin? Oh ayolah... Aku minta maaf, aku harusnya bertanya lebih dulu kau alergi seafood atau tidak. Sekarang, apa yang kau mau? Burger?" tanya Irene, berdiri di sebelah gadis yang sama sekali tidak tersenyum. Yina justru memasang earphonenya, memutar sebuah lagu dengan volume paling kencang, agar tidak perlu di dengarnya ocehan ibu kandungnya.

Kadang Yina penasaran, apa yang sebenarnya Irene pikirkan. Ibunya itu, terlalu asing baginya. Ia pergi dan datang seolah itu bukan masalah, pergi dan datang semaunya, hanya jika ia membutuhkannya. Yina tidak keberatan membantu temannya. Bahkan ia meminta ibunya membantu Jihoon yang kesulitan, meski pria itu pernah merundungnya di tahun pertama sekolahnya.

Yina bisa memaafkan Jihoon yang merundungnya di kelas sepuluh, ia bahkan meminta ibunya membantu si senior yang dulu menyembunyikan seragamnya. Yina bisa memaafkan Jihoon sebab pria itu memintanya. Sebab Jihoon tidak melupakan kesalahannya. Namun bagi Yina, Irene adalah seorang perundung di tingkatkan yang berbeda. Wanita itu tidak merasa bersalah, tidak kelihatan menyesal bahkan tidak berusaha menjelaskan apapun. Ia sangat tidak sensitif atau tidak tahu diri atau bahkan bodoh, Yina tidak bisa mendefinisikannya. Egois, super egois, seribu kali lebih egois daripada manusia pada umumnya, hanya definisi itu yang bisa Yina pakai untuk menggambarkan ibu kandungnya.

"Ayolah, kau pasti lelah setelah sekolah, ayo makan burger bersamaku. Dulu kau sangat suka burger," kata Irene, dengan santai melepaskan earphone di telinga Yina, membuat Yina langsung memukul tangan wanita itu. Memelototinya, menatapnya dengan marah.

"Kau dan Bibimu benar-benar keterlaluan," kata Irene kemudian, setelah tangannya di pukul karena menyentuh apa yang seharusnya tidak ia sentuh. "Kalian sengaja melakukan ini padaku? Karena aku meninggalkan kalian? Sekarang aku sudah kembali. Aku tidak kembali dengan tangan kosong. Seperti seorang kepala keluarga yang kembali setelah bekerja keras di luar, tidak bisakah kalian memperlakukanku seperti itu? Aku sudah banyak bersabar, tidak bisa kah kalian berhenti marah?" keluh Irene kemudian, di halte yang sepi itu. Tidak banyak siswa sekolah itu yang pulang dengan bus. Meski tidak dijemput orangtua atau supir dengan mobil mahal, siswa-siswa di sana masih bisa memesan taksi untuk pulang.

Yina akan menanggapinya, namun sepertinya keberuntungan berpihak pada Irene. Bus yang ia tunggu akhirnya datang. Yina akan melangkah masuk, namun Irene menahannya. Ia pegang tangan gadis yang dilahirkannya, menahannya agar tidak masuk ke dalam bus itu. "Kau akan terus membenciku kalau tidak mendengar penjelasanku, sebentar saja, dengarkan apa yang membuatku harus pergi," kata Irene, yang selanjutnya menggerakan tangannya, mengatakan pada supir bus itu kalau mereka tidak akan naik.

Seperti yang sebelumnya Irene katakan, mereka pergi membeli burger. Irene bersikeras kalau dahulu, ketika kecil, Yina suka sekali burger. Namun Yina sama sekali tidak tersentuh mendengarnya, semua anak menyukai burger, karena ada mainan di setiap porsinya, tidak ada anak yang membenci burger. Semua anak suka rasa gurih dari patty gemuk bersama roti dan selada itu—begitu menurut Yina. Kebencian membuatnya tidak bisa luluh hanya dengan beberapa detail kecil.

"Ketika itu kita hanya tinggal berdua," kata Irene, setelah Yina mengeluh karena Irene terlalu banyak berbasa-basi. "Kau masih sangat kecil dan aku tidak bisa meninggalkanmu bekerja. Tapi aku butuh uang, kita butuh uang untuk hidup. Aku hanya lulusan sekolah menengah, tidak banyak pekerjaan yang bisa aku lakukan," ceritanya, yang Yina sela dengan sebuah pertanyaan.

"Kau meninggalkanku di depan rumah nenek karena uang?" tanya Yina namun Irene tidak langsung menjawabnya.

Sebentar wanita itu diam. "Meskipun tahu aku hamil, melahirkan dan punya anak, nenekmu tidak pernah sekalipun mencariku. Nenekmu, hanya menyukai Bibimu, dia hanya menyayangi Bibimu. Seumur hidupku, dia tidak pernah memberiku sesuatu. Dia tidak pernah memberiku hadiah. Meski aku rangking satu sekalipun, dia tidak peduli. Hanya Bibimu yang ia pedulikan. Dia bahkan membiarkan Bibimu pergi trainee, kau tahu berapa biaya untuk jadi anak pelatihan? Uang makan, pakaian, transportasi, tempat tinggal, kami bahkan tidak bisa membayar uang sewa-"

"Augh! Menyebalkan," gerutu Yina. "Hanya itu yang bisa kau lihat? Selama ini? Nenek memasukanku dalam kartu keluarganya. Kalau dia tidak tahu aku lahir, bagaimana dia bisa melakukannya? Kecuali seseorang mencuri kartu keluarganya. Selama hidupnya, Bibi juga tidak pernah mendapat barang baru. Semua pakaiannya, adalah pakaianmu yang tidak lagi kau pakai. Biaya trainee? Karena Bibi lulus audisi, tidak ada biaya trainee yang harus dia bayar. Makan, transportasi, tempat tinggal, semuanya diberi oleh agensi. Dengan pergi trainee, Bibi justru meringankan beban nenek. Kau tidak tahu, kan? Wajar saja kalau kau tidak tahu, kau tidak pernah benar-benar pulang. Bahkan setelah bertahun-tahun pergi dari rumah, kau kembali dan meninggalkan purtimu di sana."

"Itu sekarang," Irene masih menolak disalahkan. "Mungkin sekarang agensi entertainment mau membayar semua itu. Tapi dulu kau harus membayar untuk bisa jadi trainee, apa yang kau tahu tentang hidup orang dewasa? Kau hanya anak-anak," katanya, meremehkan pengetahuan putrinya—yang sekarang hidup bersama mantan anak pelatihan, juga seorang produser di agensi besar. Tidak Irene sadari, betapa cerdas gadis yang ia lahirkan itu.

Yina menutup mulutnya, percuma berdebat—nilainya. Persis seperti yang Lisa katakan, kakak perempuannya itu memang tidak pernah sudi disalahkan. Irene selalu benar—begitu yang harus Lisa percayai sepanjang mereka tinggal bersama. Irene selalu benar—begitu yang ibu mereka katakan seumur hidupnya.

"Pokoknya, aku harus bekerja, karena itu aku menitipkanmu di rumah. Lagi pula itu bukan rumah orang asing, itu rumah nenekmu sendiri. Masih lebih baik, masih lebih nyaman daripada panti asuhan. Setidaknya nenekmu sendiri yang akan merawatmu. Dia pasti memperlakukanmu dengan baik, buktinya kau bisa masuk sekolah mahal itu. Kalau kita tetap tinggal bersama waktu itu, kita berdua belum tentu masih hidup sekarang. Kita pasti sudah mati karena kelaparan, atau bunuh diri saking lelahnya. Jadi, jangan terus membenciku... Aku melakukan semua ini juga untukmu," kata Irene, begitu percaya diri hingga Yina merasa luar biasa mual di sana. Yina ingin muntah, mendengar semua penjelasan tanpa rasa bersalah itu.

"Baik. Lalu apa pekerjaan dan hasil kerjamu?" tanya Yina, meski ia tahu pria mana yang Irene nikahi sekarang. Yina tahu bagaimana Irene hidup sekarang... dari semua berita tentangnya yang muncul di internet. Termasuk berita pencarian Irene terhadap adik kecilnya yang hilang empat belas tahun lalu. Atau hampir lima belas tahun karena satu tahun sudah berlalu sejak kampanye orang hilang waktu itu.

"Sebentar lagi kau lulus, bagaimana kalau kau sekolah ke London?" tawar Irene. "Aku akan membiayai semuanya. Pergilah ke London, bersama Bibi juga Nenekmu," katanya.

"Nenekku sudah meninggal. Kau bahkan tidak tahu, ibumu sudah meninggal?" tanya Yina, jelas mengejutkan Irene. "Kau berkali-kali datang ke rumah, tapi tidak tahu Nenek sudah meninggal? Kau benar-benar manusia?" susul Yina, yang entah kenapa tidak terkejut setelah mengetahuinya. Seolah ia tahu bagaimana sifat asli ibunya—Irene tidak akan ingin tahu tentang sesuatu yang tidak dipedulikannya. Wanita yang melahirkannya itu, tidak peduli padanya, pada adiknya, bahkan pada ibunya sendiri. Hal yang penting baginya hanya mengirim keluarganya pergi sejauh mungkin darinya. Yina sama sekali tidak terkejut. 

***
Terimakasih doanya gaiss~ love youuu

Introducing Me (New Version)Where stories live. Discover now