42

302 78 4
                                    

***

"Apa hari ini kau bisa membolos?" tanya Lisa, tepat setelah ia dengar Yina membuka pintu kamarnya.

"Kenapa?" masih sembari mengusap matanya, gadis itu melangkah ke meja makan. Mengambil segelas air untuk memulai harinya.

"Aku akan menikah," jawab sang ibu, membuat putrinya melirik tajam. "Sungguhan. Kami akan mendaftarkan pernikahannya hari ini. Aku tidak memaksa, tapi aku akan senang kalau kau ikut," susul Lisa.

"Oh ayolah, berhenti bercanda dengan pernikahan," gerutu Yina. "Memakai sesuatu yang sakral untuk candaan itu menyebalkan, eomma yang bilang begitu," susulnya, mengomeli ibunya yang tengah membuat sarapan.

"Pertama, aku tidak bercanda," Lisa berbalik, mengalihkan fokusnya dari telur goreng ke wajah mengantuk putrinya. "Kedua, ini sungguhan, bukan lelucon. Memang terlalu cepat, tapi ini sungguhan. Aku akan marah kalau kau terus bersikap sinis begitu," tegas Lisa, menunjuk-nunjuk putrinya dengan spatula yang ia pegang.

Yina berhenti di depan lemari es. Ia sudah membuka botolnya, namun menutup kembali botol air mineral itu. "Sungguhan? Tiba-tiba menikah?" kali ini, sama seperti semalam, Yina menunjukan raut terkejutnya. "Eomma, apa kau hamil?" tebak Yina dan kali ini Lisa benar-benar memukulnya. Dahi gadis itu di pukul dengan spatula kayu yang Lisa pakai menggoreng telur. Tidak seberapa keras tapi tetap saja mengejutkan.

"Apanya yang tiba-tiba? Ini sudah beberapa minggu sejak dia melamarku. Atau beberapa hari? Pokoknya, aku menerima lamarannya. Jadi kembalikan cincinku," kata Lisa.

"Kalian tidak berkencan lebih dulu? Atau bertunangan? Kenapa tiba-tiba menikah? Eomma yakin bisa hidup dengannya? Aku tidak melarang kalian menikah tapi kalau terburu-buru begini, aku jadi bingung. Memang ada pasangan yang langsung mendaftarkan pernikahan sebelum resepsi? Tepat setelah menerima lamaran? Oh! Keluarga! Kalian tidak makan malam keluarga dulu? Pertemuan keluarga?" bingung Yina, yang kemudian duduk di meja makan, masih sembari memegangi botol dinginnya.

"Kau belum benar-benar bangun?" tanya Lisa dan Yina mengangguk, berseru setuju.

"Ah... Kalian berdua tidak punya orangtua," angguk Yina. "Tapi aku keluargamu! Tidak ada pertemuan keluarga untukku?"

"Bukankah hampir setiap hari kita sudah makan bersama?" tanya Lisa dan Yina kembali menganggukan kepalanya. Dengan sedikit ragu.

Tetap saja ini terlalu cepat—bagi Yina. Setidaknya mereka perlu memikirkan hari baik untuk pernikahan itu. Sebuah pernikahan tanpa persiapan, tanpa resepsi, tanpa upacara, tanpa bridal shower atau bachelorette party, Yina merasa ada yang salah dalam pernikahan itu. Ada hal yang tidak biasa dalam pernikahan itu. Membuatnya merasa ragu pada hubungan ibunya dengan produser itu. Benarkah keduanya serius dengan pernikahan itu? Atau hanya mengganggap pernikahannya sebagai lelucon? Permainan yang bisa langsung mereka mainkan dan berhenti kapan pun? Kesan sakral yang harusnya tergambar dalam sebuah pernikahan, tidak terasa dalam pernikahan pasangan itu.

"Eomma, kalian tidak menikah karena terpaksa kan?" sekali lagi Yina bertanya, meyakinkan dirinya kalau pernikahan itu akan berjalan baik. "Menikah saja sekarang, kalau ternyata tidak cocok, kita bisa bercerai, atau seperti... Coba saja dulu, galau gagal kita bisa berpisah? Tidak seperti itu kan?" keraguannya tidak juga hilang.

"Tidak," geleng Lisa, akhirnya selesai memasak. Ia menggoreng telur dan menyiapkan lauk lain meja sembari mendengarkan ocehan putrinya yang khawatir. "Aku sudah memikirkannya matang-matang selama beberapa hari, Jiyong oppa pun sudah memikirkannya sejak lama. Sedari awal kami bertemu, dia sudah memintaku berkencan dengannya, tapi aku menolaknya. Hubungan kami, tidak tiba-tiba," jelas sang ibu, mencoba menenangkan putrinya.

"Awal kalian bertemu?"

"Kami bertemu, berdua, beberapa hari setelah dia membantumu keluar dari agensinya Wonyoung," jawab Lisa. "Dia bilang dia menyukaiku, dia tidak bisa menahannya," susulnya.

"Dan kalian melakukannya?"

"Apa?"

"Dia tidak bisa menahannya, kalian melakukannya? Dan eomma tidak pernah memberitahuku?"

"Apa yang kau bicarakan? Makan," suruh sang ibu.

"Seks?" pelan Yina. "Tidak, maksudku bagaimana aku tidak berfikir begitu kalau eomma tiba-tiba mau menikah dengannya? Dan kalian akan menikah besok- hari ini. Katakan lah kalian hanya akan mendaftarkan pernikahannya, kenapa hanya didaftarkan? Kenapa terburu-buru mendaftarkannya? Kalian ingin jadi suami istri lebih dulu sebelum bersetubuh? Menikah hanya untuk bersetubuh? Atau ada urusan lain yang bisa kalian selesaikan dengan status suami istri itu? Aku tidak bisa memahaminya," oceh anak itu, namun tetap mengangkat sumpitnya, tetap menikmati sarapan yang ibunya buat untuknya.

"Tidak semua orang punya keinginan yang sama," jawab Lisa, sembari memperhatikan putrinya menikmati sarapannya. "Tidak semua orang ingin sekolah kedokteran. Kau pun tidak menginginkannya, bukan begitu? Seks yang sedari kemarin kau bicarakan, manusia membutuhkannya, itu kebutuhan biologis semua orang. Tapi tidak semua orang menganggapnya sangat penting, masih banyak kebutuhan biologis yang lain—makan, minum, semuanya juga kebutuhan, tapi kau bisa mati kalau tidak melakukannya. Tidak semua orang berfikir seks itu prioritas utama mereka, tanpanya kau tidak akan mati. Lihat aku, aku bisa hidup lebih dari tiga puluh tahun tanpa melakukannya, dan aku baik-baik saja. Bukan seks yang jadi alasan kami memutuskan menikah."

"Lalu apa? Apa yang sangat kalian inginkan sampai memutuskan untuk menikah secepat ini?"

"Perasaan tenang? Bagaimana menjelaskannya? Hanya dengan melihatnya duduk di depanku, aku sudah merasa tenang," jawab Lisa dan Yina menatapnya. Mencoba untuk mencari kebohongan di sana.

"Menikah atau tidak, sebenarnya bukan masalah untukmu, iya kan?" tebak Yina. "Eomma hanya ingin dia ada di sisimu, menikah atau tidak, tidak lah penting untukmu. Tapi, Paman Jiyong ingin menikah, paman ingin punya keluarga karena tidak pernah memilikinya. Karena itu eomma tidak keberatan menikah dengannya? Eomma hanya ingin memberikan apa yang paman inginkan?"

"Dia sudah punya segalanya, apa lagi yang bisa aku berikan padanya? Sesuatu yang tidak dimilikinya. Kita memikirkan itu setiap kali akan memberi hadiah pada orang lain—apa yang tidak dimilikinya? Apa yang dia inginkan? Aku pun merasa begitu. Aku ingin memberinya sesuatu, dia pun sudah memberiku banyak hal. Bukan sekedar seks atau uang, tapi rasa tenang, keberanian, safe place? Sesuatu seperti itu," akunya.

Yina mengucap syukur setelah mendengarnya. Membuat Lisa menaikan alisnya kemudian bertanya apa maksud ucapan itu, kenapa Yina bersyukur hanya karena jawabannya. "Aku pikir, eomma tiba-tiba setuju menikah dengan paman Jiyong karena uang sekolahku," katanya. "Syukurlah karena ternyata tidak begitu," lanjutnya, tersenyum kemudian mengambil sesendok penuh nasinya, mulai makan dengan lahap seperti biasanya.

Mendengarnya, Lisa lantas mengambil handphonenya di meja TV. Handphonenya sedang di-charge di sana. Ia bawa benda itu kembali ke meja makan, menunjukan semua uang tabungan yang dimilikinya pada Yina. "Tabunganku banyak kan? Aku rasa itu cukup untuk membayar uang kuliahmu sampai semester dua. Sekarang kita bisa mulai menabung lagi untuk semester tiga, kau tidak perlu khawatir," tenang Lisa, sembari merangkul putrinya, duduk di sebelah Yina dengan sebelah tangan memeluk bahunya, memamerkan semua uangnya. "Tapi kita tidak punya uang untuk bimbel, jadi belajar lah sendiri. Dan beli cat dengan uangmu sendiri. Kau sering diam-diam menerima uang saku dari Jiyong oppa, iya kan?" susul Lisa.

"Bagaimana eomma bisa tahu?!" seru putrinya, langsung menatap panik pada ibunya.

"Kau tidak bisa membohongiku, sayang. Aku masih lebih pintar darimu," pamer Lisa. "Jadi kau akan membolos atau tidak hari ini?" susulnya kemudian, kali ini ia bergerak lagi, kembali ke kursinya untuk melanjutkan makan paginya.

"Tentu saja membolos. Kapan lagi aku bisa membolos dan tidak dimarahi," tenang Yina.

***

Introducing Me (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang