67

259 66 2
                                    

***

Pukul sebelas, mobil Jiyong masuk ke dalam sebuah kompleks perumahan yang cukup mewah di sana. Tidak seberapa mewah namun jelas harga rumah-rumah di sana, jauh lebih mahal daripada harga apartemen, atau mobil kebanyakan. Jiyong memperhatikan navigasi mobilnya, berusaha untuk tidak tersesat di antara bangunan-bangunan dua lantai itu. Beberapa menit mengemudi, pria itu menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah manis dengan halamannya. Rumah dengan kebun kecil tempat Bibi Oh tinggal.

"Di sini tempatnya?" tanya Jiyong dan Lisa mengangguk.

"Apa tidak apa-apa aku datang dengan pakaian ini? Bagaimana aku kelihatanya? Aku gugup," tanya Yina, untuk yang kesekian kalinya. Gadis itu sudah berdandan sedari tadi. Ia memakai pakaian terbaiknya, gaun selutut yang Jiyong belikan beberapa bulan lalu.

Sudah berkali-kali Jiyong memujinya, sampai Lisa bosan mendengarnya. "Meditasi dulu sebelum keluar, kalau kau gugup," ucap Lisa, yang lebih dulu melangkah keluar.

"Eomma-"

"Aku akan menyapa lebih dulu, kau bisa keluar setelah siap nanti," jawab Lisa, sebelum ia menutup pintu mobilnya. Ia juga meminta Jiyong untuk menemani Yina sebentar, sedang dirinya melangkah masuk lebih dulu ke pekarangan rumah itu.

Karena pesannya pagi tadi, Bibi Oh dan putranya tidak bisa pergi bekerja hari ini. Lisa menekan belnya, lantas seorang wanita membukakan pintunya-istri Sehun. "Oh? Kita bertemu lagi," sapa Lisa, sedikit canggung sebab ia lupa kalau Sehun punya seorang istri yang bukan kakak perempuannya. "Aku datang untuk bertemu dengan Bibi Oh," katanya kemudian.

Sang menantu mengulas senyumnya, lantas melirik ke mobil, bertanya dimana Yina sekarang. Mendengar pertanyaan itu, Lisa menaikan alisnya, lalu wanita tadi bilang kalau ia sudah mendengar semuanya dari Bibi Oh semalam. Mengatakan kalau Lisa tidak mengajak Yina ke sini, mereka yang akan pergi ke binatu untuk menemui Yina. Ia juga bilang kalau Sehun-suaminya-sangat ingin bertemu dengan Yina.

Lisa melangkah masuk. Melihat Bibi Oh yang sedang menata buah di meja makan, sedang Sehun merapikan bantal sofanya. Seketika gadis itu jadi merasa gugup, sebab ia tidak menyiapkan apapun. Kalau bukan karen Jiyong, mereka tidak akan membawa bingkisan apa-apa hari ini. "Sudah sejak pagi keduanya gugup," kata sang menantu, menjawab keheranan Lisa.

"Bibi Oh, kita sudah sering bertemu, untuk apa semua ini?" heran Lisa kemudian. "Oh! Dan kita perlu bicara sebentar," susulnya, menghampiri Bibi Oh kemudian mengajaknya pergi ke halaman belakang-yang kebetulan pintunya terbuka. Mencari jarak agar ia bisa bicara berdua dengan Bibi Oh tanpa didengar yang lainnya. "Aku bilang pada Yina kalau aku yang melarangmu memberitahunya," kata Lisa kemudian. "Jangan mengatakan padanya tentang alasanmu merahasiakannya, terlebih dari ayahnya. Katakan saja, aku memohon padamu, okay?"

"Aku sudah mengatakan yang sebenarnya pada Sehun," kata Bibi Oh. "Pada istrinya juga," tambahnya.

"Tidak apa-apa, tapi Yina tidak perlu tahu soal itu. Katakan saja aku yang memohon padamu, agar kau tidak membawanya pergi dariku," yakin Lisa.

Akhirnya, karena Yina tidak juga masuk. Lisa kembali ke mobil, menghampiri Jiyong juga putrinya yang masih di sana. Jiyong masih di kursinya, sedang Lisa membuka pintu belakang untuk bicara pada putrinya. Berdiri di depan pintu yang ia tahan tetap terbuka. Yina menolak untuk masuk. Ia terlalu gugup untuk bertemu dengan ayah kandungnya. "Apa kita tidak bisa pulang saja? Aku sakit perut," kata Yina, menolak untuk masuk.

"Aku sudah berusaha membujuknya," timpal Jiyong, yang hampir menyerah membujuk anak itu.

"Hhh... Ayolah, jangan begini," kata Lisa. "Kau ingin aku memberimu spoiler?" tanyanya.

Yina menoleh, menatap Lisa dengan wajah penuh harap. "Bibi Oh, dia nenekmu," kata Lisa kemudian, membuat Yina langsung membulatkan matanya, menatap tidak percaya pada ibunya sendiri.

"Eomma bilang dia bukan-"

"Aku sudah bilang kalau aku berbohong- akh!" serunya, karena Yina memukul bahunya.

"Yina-ya, ibumu-"

"Paman juga tahu?! Whoa! Jadi ini rasanya ditusuk dari belakang?! Tidak aku percaya kalian- whoa! Menyebalkan sekali!" seru Yina, yang kemudian turun dari mobil karena melihat Bibi Oh muncul dari balik pintu. Saking sebalnya, ia tabrakan bahunya pada bahu Lisa, membuat sang ibu hampir jatuh.

"Ya! Hati-hati! Ibumu-" Jiyong berseru, namun ia menyerah karena Yina sudah lebih dulu melangkah menghampiri Bibi Oh di depan pintu. Lantas, gilirannya keluar dari mobil, menghampiri Lisa kemudian menundukan kepalanya untuk menyapa Bibi Oh di sana. "Bukan kah ada cara yang lebih baik untuk memberitahunya? Kau tidak perlu langsung to the point begitu, dia jadi terkejut," tegur Jiyong, yang kini berdiri di sebelah istrinya, menutup pintu-pintu mobilnya lantas mengunci mobil itu.

"Aku tidak bisa menahan diri, maaf," bisik Lisa, sedang Yina tengah masuk dalam pelukan Bibi Oh yang begitu erat. "Hari ini, aku akan menerima semua kesalahannya," bisik Lisa kemudian. "Aku minta Bibi Oh untuk bilang kalau aku yang melarangnya memberitahu Yina tentang semuanya. Aku penjahatnya," susulnya masih berbisik.

Jiyong menoleh, menatap tidak percaya pada wanita di sebelahnya, akan melarang Lisa melakukan itu. Yina bisa membenci Lisa kalau ia tidak tahu yang sebenarnya. Lisa bisa benar-benar jadi penjahat kalau sampai Bibi Oh bilang-Lisa menolak untuk menuruti pendapat Jiyong. Tanpa sempat Jiyong menasehatinya, memberitahu Lisa resiko kebohongannya hari ini, gadis itu sudah lebih dulu menghampiri Yina dan Bibi Oh. Lalu berkata, "Yina-ya, aku minta maaf. Aku memaksa Bibi Oh untuk tidak memberitahumu yang sebenarnya. Kalau kau tetap ingin bertemu dengan cucumu, jangan sampai putramu tahu dia cucumu, aku bilang begitu padanya. Bibi Oh tidak punya pilihan lain," kata Lisa.

"Jahat," cibir Yina, setelah ia melepaskan pelukan Bibi Oh darinya

"Aku benar-benar menyesal, aku minta maaf," tenang Lisa, sebab ia tahu kalau dirinya tidak benar-benar sejahat itu. "Aku akan meninggalkanmu di sini, kirim pesan kalau kau mau pulang, aku akan menjemputmu," kata Lisa dan Yina menganggukan kepalanya. Masih cemberut, namun tetap ia peluk ibunya sebelum wanita itu membawa suaminya pergi dari sana.

Lisa melangkah pergi, namun di tengah-tengah langkahnya gadis itu berbalik. "Ah! Dan jangan bertengkar soal bimbel lagi, bicarakan itu di hari lain!" pesan Lisa, menatap Bibi Oh yang bahkan lupa soal itu.

Seperginya Lisa dan suaminya dari sana, Bibi Oh mengajak Yina untuk masuk ke rumah. "Aku pikir Bibi Oh- maksudnya Nenek? Canggung sekali memanggilmu nenek sekarang... Aku pikir kau tinggal di apartemen dekat kampus, tempat aku biasa mengantarkan cucianmu," tanya Yina, sembari melepaskan sepatunya untuk masuk ke rumah itu.

"Sejak tiga bulan lalu aku pindah ke sini," jawab Bibi Oh. "Maaf Yina, aku tidak memberitahumu lebih awal," susulnya, sembari mengusap rambut Yina yang panjang tergerai. "Kau cantik kalau rambutmu digerai," susulnya.

"Kau sakit, Bibi Oh?" tanya Yina dan langkahnya terhenti, sebab ada seorang pria dan wanita asing di depannya. Sepasang manusia yang tidak pernah ia lihat sebelumnya.

"Apa kau... Yina?" tanya si pria-Oh Sehun.

Yina membeku di tempatnya. Sial, ayahnya tampan, seharusnya ia tidak membiarkan ibunya pergi. Kalau begini, ia tidak bisa melarikan diri dari sana. "Bibi Oh, siapa orang itu?" tanya Yina, sudah kehabisan kata, sebab ia tidak berani menjawab pertanyaan Sehun.

"Ayahmu. Putraku."

"Heish... Tidak mungkin," gumam Yina. "Sungguhan? Bibi Oh?" canggung Yina, enggan melangkah maju meski Bibi Oh sudah menariknya.

"Sungguhan, ada apa denganmu? Ayo masuk," ajak Bibi Oh namun Yina justru menggelengkan kepalanya.

"Malu- oh! Bibi Oh! Tolong-" serunya panik, sebab Sehun memeluknya, sembari menangis, meminta maaf padanya, karena tidak menemuinya lebih awal. Karena membuatnya tumbuh sendirian.

***

Introducing Me (New Version)Where stories live. Discover now