16

333 70 4
                                    

***

Kwon Jiyong membantu Yina untuk bertemu dengan Song Mino, seorang rapper dalam grup idola, sekaligus seorang pelukis yang sudah beberapa kali memamerkan karya-karyanya. Pria itu menjemput Yina di depan sekolahnya sore ini, menunggu di mobil sebab enggan menunjukkan wajahnya pada murid-murid sekolah menengah itu. Banyak anak sekolah mengenalinya sekarang, sebagai seorang pria tua yang mengencani Wonyoung.

Namun lama menunggu, gadis itu tidak juga keluar dari gedung sekolahnya. Jiyong meneleponnya, namun tidak seorang pun menjawab panggilannya. "Bukankah kau seharusnya sudah keluar sekarang?" tanya Jiyong, melalui pesan yang dikirimnya. Yina tidak menjawab pesan itu, sampai dilihatnya beberapa anak mulai berlari. Anak-anak itu berlari masuk ke dalam gedung sekolah setelah saling berbisik, berbagi informasi.

"Jang Wonyoung berkelahi dengan Yina Kim kelas sebelas!" teriak seorang anak, sembari berlari kembali ke arah sekolah. Kembali untuk melihat drama yang terjadi di sekolah. Beberapa kali teriakan itu terdengar di luar mobilnya, Jiyong tidak bisa mendengarnya. Sampai handphonenya kemudian berdering, Yina meneleponnya.

"Paman, kau masih di depan sekolah? Bisakah kau masuk ke ruang guru?" tanya Yina, tepat setelah panggilannya di jawab.

"Kenapa? Ada apa?" Jiyong balas bertanya.

"Aku berkelahi dengan temanku, paman harus masuk agar aku bisa keluar," jawab Yina, berkata seolah ia tidak melakukan apapun. Tanpa rasa takut, tanpa rasa khawatir.

"Dengan siapa?" Jiyong masih bertanya, namun kakinya kini menginjak pedal gas mobilnya, mengemudikan mobilnya masuk ke dalam pekarangan sekolah. "Perlu aku telepon ibumu? Pakaianku sekarang tidak pantas untuk masuk ke sekolahmu," kata Jiyong namun Yina justru terkekeh.

"Apa kita harus menunggu eomma datang dulu? Pasti lama, paman saja yang masuk dan menjemputku. Tidak pakai baju pun tidak apa-apa," canda Yina.

"Kau benar-benar sedang dalam masalah sekarang?" heran Jiyong karena Yina terus terkekeh. Mungkin tengah membayangkan pakaiannya sekarang, yang katanya tidak cocok untuk dikenakan masuk ke dalam gedung sekolah.

"Hm... Masalah besar yang akan membuat eomma marah," aku Yina, disusul decak sebal dari lawan bicaranya.

"Tsk... Aku turun dari mobil," jawab Jiyong, yang kemudian mematikan panggilan itu. Ia mengenakan celana jeans serta kausnya sekarang. Sebuah kaus tanpa lengan dengan potongan lebar, menunjukan sedikit dari tatonya yang ada di sisi-sisi tubuhnya.

Begitu turun, Jiyong pergi ke bagasi mobilnya. Berharap setidaknya ia punya jaket di sana. Beruntung karena kopernya masih ada di sana, entah sejak kapan koper itu berada, Jiyong pun tidak mengingatnya. Beruntung lagi, sebab di dalam koper itu ada sebuah blazer lama yang hampir tidak pernah ia kenakan. Ada juga beberapa kaus dengan potongan standar yang masih terbungkus plastik. Kaus dari beberapa konser yang pernah ia kunjungi namun tidak pernah dipakainya.

Jiyong kembali masuk ke dalam mobilnya. Mengganti pakaiannya di sana, sebelum kemudian dilangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung sekolah itu. Sudah lama sekali sejak terakhir kali ia masuk ke sebuah gedung sekolah. Dirinya sedikit gugup sekarang, berjalan menyusuri lorong sebab tidak ia tahu dimana ruang gurunya. Sial, ia tidak bertanya dimana ruangan itu ketika masih menelepon tadi.

"Permisi, dimana ruang gurunya?" pria itu bertanya, sembari menunjukan senyumnya yang canggung. Tidak pernah ia bayangkan dirinya akan berada di posisinya sekarang.

Seorang siswa yang ia tanyai menujuk ke sebuah tangga, mengatakan kalau ruang gurunya ada di lantai dua. Ia melangkah ke lantai dua lepas berterima kasih, lantas mengetuk pintu dengan label 'Ruang Guru' di depannya. Begitu masuk, dilihatnya beberapa orang dewasa tengah memperhatikannya. Seorang guru laki-laki menghampirinya, bertanya tentang alasannya datang ke sana.

"Aku datang untuk menemui Yina Kim dan gurunya, aku dengar ia dapat masalah di sekolah," jawab Jiyong, sedikit canggung.

"Bisa aku tahu siapa anda?"

"Aku pamannya," ucapnya, berusaha untuk tetap tenang. Ia gugup. Sangat gugup sebab khawatir dirinya akan membuat masalahnya jadi semakin besar. Sama sekali tidak ada kepercayaan diri dalam dirinya sekarang. Kedatangannya di sana, bisa saja menghancurkan masa depan seorang calon seniman.

"Yina tidak pernah bicara tentang pamannya, kemana ibunya? Apa ibunya sibuk hari ini?" tanya sang guru, yang ternyata wali kelas Yina. Guru yang mencari ibu Yina untuk mengadukan kelakuan salah satu muridnya di sekolah.

"Ibunya sedang kurang sehat, jadi aku yang menggantikannya," jawab Jiyong, setelah ia berusaha alasan terbaik diwaktu yang amat singkat. "Tapi apa yang Yina lakukan? Sampai ibunya perlu datang?" Jiyong bertanya, seolah ia peduli, namun yang kini ada di dalam kepalanya hanya tentang mencari cara terbaik untuk melarikan diri dari sana.

"Yina berkelahi dengan seorang seniornya," sang guru menjawabnya. "Dia juga menyebar rumor yang kurang pantas di sekolah," susulnya, membuat Jiyong menaikan alisnya, sedikit ragu. Tidak percaya dirinya harus menyelesaikan masalah seperti ini.

Sang guru membawa Jiyong ke ruangan lain, ruang konseling yang berjarak beberapa meter dari ruang guru itu. Tempatnya masih di lantai dua, di ujung lorong. Begitu pintu terbuka, Jiyong langsung menghentikan langkahnya. Di dalam sana ada tiga orang, seorang guru konseling, Yina dan seorang gadis lainnya—orang yang berkelahi dengannya, Jang Wonyoung.

"Paman-"

"Oppa-"

Kedua gadis itu memanggilnya, bersamaan dan sama-sama berhenti karena mendengar suara satu sama lain. Yina menoleh pada Wonyoung, dan begitu pun sebaliknya.

"Dia pamanku, dia datang untukku," tegas Yina, bicara pada Jang Wonyoung yang kebingungan.

Di ruang konseling itu, Jiyong dibiarkan duduk. Guru konselingnya wanita, Lee Hani, namanya. Sedang wali kelas Yina meninggalkan ruang konseling itu, menyerahkan semua keputusan pada guru konseling mereka, sebab Wonyoung bukan anak di kelasnya.

"Guru Lee, orang itu bukan paman kandungnya, Yina berbohong-" Wonyoung memprotes, namun Yina sudah lebih dulu menyelanya.

"Aku tidak pernah bilang dia paman kandungku," Yina menyela. "Paman Jiyong akan menikah dengan ibuku. Sebentar lagi dia akan jadi ayahku," katanya kemudian, dengan bahu tegap, seolah tengah menantang Wonyoung.

"Ibunya sedang pergi ke rumah sakit, jadi aku yang datang," Jiyong berkata. "Aku akan memberitahu ibunya nanti, jadi... Apa yang terjadi? Kenapa wajah putriku tergores?" tanyanya, melanjutkan kebohongan Yina.

"Pembohong," Wonyoung mencibir, meski Guru Lee sudah meliriknya, memperingatkannya untuk menjaga sopan santunnya. "Kalau orang ini akan menikah dengan ibumu, kenapa kau memanggilnya paman?" gerutunya.

"Mereka akan menikah," balas Yina, terdengar sinis. "Apa kau tidak bisa membedakan akan dan sudah?" heran Yina kemudian.

Sama seperti Jiyong, bahkan Guru Lee tidak terlihat senang dengan obrolan dua anak itu. Di sofa ruang konseling, kedua anak itu terlihat akan kembali berkelahi. Padahal pipi Yina sudah tergores, dan rambut Wonyoung tergerai berantakan, kusut baru saja dijambak. Untuk mencegah perkelahian kedua, Lee Hani sudah lebih dulu menjelaskan kejadiannya. "Yina menyebar rumor yang kurang pantas tentang Wonyoung, Wonyoung menegurnya dan mereka berkelahi," jelas guru Lee.

"Kau melakukannya?" Jiyong bertanya, pada gadis di sebelahnya dan Yina menggelengkan kepalanya. Tidak berselang lama, pintu kembali diketuk dan kali ini manager Wonyoung yang datang—Sandara Park.

"Oh?" wanita itu sedikit terkejut melihat Jiyong duduk di sebelah Yina. Mereka sempat bertukar tatap dan Jiyong mengangkat sedikit tangannya untuk menyapa wanita itu.

Guru Lee menghela nafasnya, lagi-lagi yang datang bukanlah wali murid. Beralasan kalau orangtua Jang Wonyoung sedang melakukan perjalanan bisnis ke Australia, Sandara Park selaku managernya, datang untuk jadi wali Wonyoung. Sekali lagi, guru konseling itu harus menjelaskan situasinya. Membuat Sandara menatap Jiyong, mencari petunjuk namun pria itu hanya menaikan bahunya. Jiyong pun tidak tahu, rumor apa yang Yina sebarkan. Meski ia sendiri merasa bisa menebak rumor apa itu.

***

Introducing Me (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang