32

296 74 7
                                    

***

Bahkan setelah dipukuli adiknya sendiri, Irene tidak pernah datang menemui Lisa. Tidak pernah ia tunjukan batang hidungnya di depan Lisa juga putrinya. Kebencian jelas terus menumpuk. Namun Lisa tidak mengatakan apapun pada Yina. Ia biarkan Yina tetap tidak mengetahuinya, tetap tersenyum, tertawa seperti biasanya.

Hari berganti jadi minggu dan minggu pun sudah berganti beberapa kali. Kini Yina menjadi murid kelas dua belas dan Bibi Oh kembali mengganggu mereka. Mendesak Lisa untuk mengirim Yina ke lembaga bimbel. "Yina bisa masuk fakultas kedokteran kalau kau sedikit saja mendukungnya!" marah Bibi Oh hari ini, di binatu. Meski sudah berkali-kali mengatakan kalau Yina tidak ingin pergi ke fakultas kedokteran, Bibi Oh terus memaksa. Mengatakan kalau pergi ke fakultas kedokteran akan membuat Yina jadi seorang yang sangat berkelas, akan membuat semua orang bahagia sekaligus bangga padanya.

Melihat Lisa begitu tersiksa, Jiyong tidak bisa menahannya. Ingin ia bebaskan gadis itu dari belenggunya. Dari kakak yang meninggalkannya, juga dari wanita asing yang merecoki hidupnya. Lisa jadi kelihatan semakin sakit sekarang, semakin lesu, hingga dada Jiyong terasa nyeri setiap kali melihatnya.

Malam setelah menutup binatu, seperti biasanya Lisa berterima kasih karena Jiyong membantunya menutup binatu hari ini. "Bisakah kau bicara denganku sebentar?" pria itu bertanya, setelah ia menutup rolling door binatu.

"Tentu," angguk Lisa. "Naiklah-"

"Tidak," tolak Jiyong. "Kita tidak bisa bicara di atas, Yina akan terganggu. Masuklah ke mobilku, kita bicara di sana," suruh Jiyong dan Lisa mengikuti perintahnya.

Tanpa menyalakan mesinnya, mereka duduk di mobil itu. Jiyong di kursi pengemudinya, sedang Lisa di sebelahnya. Sebentar mereka sama-sama diam. Menikmati kesunyian di pukul delapan malam itu. Yina tengah belajar, mengerjakan tugas sekolahnya di atas. Biasanya, ia hampir tidak keluar dari kamarnya sampai tugas-tugasnya itu selesai.

"Lisa-ya... Kau ingat aku pernah bilang kalau aku akan mengatasi sendiri perasaanku?" tanya Jiyong, setelah hampir lima menit mereka diam di dalam mobil yang jendelanya sengaja dibuka itu. "Aku menyukaimu, menyayangimu dan tidak ingin kau merasa terbebani dengan perasaanku. Aku pernah berjanji tidak akan melewati batas. Aku masih merasa begitu sekarang. Perasaanku belum berubah-"

"Oppa," Lisa menyela. "Bisakah kita tidak membicarakannya sekarang? Aku tidak punya tenaga untuk mengatasimu juga... Kau tahu semua yang terjadi padaku akhir-akhir ini, aku sangat berharap kau tidak akan menambah masalahku," pintanya, menoleh untuk menatap Jiyong yang terus melihat ke depan.

Pria itu menghela nafasnya dan keduanya kembali diam. Lantas, setelah beberapa menit berselang, Jiyong membuka lagi mulutnya. "Aku dapat tawaran pekerjaan di New York," katanya, membuat Lisa mengepalkan tangannya kuat-kuat. Merasa kalau dirinya akan hancur jika Jiyong menerima tawaran itu. Jika Jiyong pergi, kemana ia akan mengadu? Kemana ia akan menangis? Namun menahan pria itu di sini, juga rasanya salah.

"Itu tawaran bagus, kan?" tanya Lisa dan Jiyong menganggukan kepalanya. "Kalau begitu oppa harus mengambilnya," susulnya. Mencoba terdengar ceria meski ia tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.

Siang tadi Bibi Oh memarahinya habis-habisan, menyebutnya sebagai seorang ibu bodoh yang akan menjerumuskan cucunya ke lubang neraka. Beruntung karena Jiyong tidak ada di sana ketika Bibi Oh datang. Beruntung juga karena Lisa belum menceritakan detail omelan Bibi Oh pada pria itu. "Ibu macam apa dirimu?! Kau akan menjerumuskan Yina ke neraka kalau terus bersikap begini! Kalau Yina menolak, sebagai ibunya kau harusnya membujuknya! Bukan menuruti keinginannya!" Lisa tidak bisa melupakan omelan itu seharian ini, namun kini ia harus tersenyum, sebab Jiyong mendapatkan tawaran luar biasa yang akan membuat karirnya semakin melejit.

"Bisakah kau ikut bersamaku? Yina juga," kata Jiyong. "Aku tidak ingin pergi ke sana sendirian, meninggalkanmu dalam keadaan seperti sekarang," susulnya.

"Bagaimana mungkin aku bisa ikut bersamamu, oppa?" jawab Lisa, jelas menolak. "Aku dan Yina hanya akan jadi beban untukmu. Lagi pula Yina sudah kelas dua belas sekarang, dia tidak bisa pindah sekolah begitu saja. Oppa pergi saja, tidak perlu mengkhawatirkanku," susulnya.

"Bagaimana bisa aku tidak mengkhawatirkanmu? Kau terlihat sangat sakit, sangat lelah," kata Jiyong. "Dan aku tidak pernah menganggapmu juga Yina sebagai bebanku. Aku menyukaimu, sangat menyukaimu. Aku mencintaimu. Ikut lah bersamaku, hm? Hiduplah bersamaku," pinta pria itu namun Lisa tetap menggelengkan kepalanya. Mengatakan kalau ia tidak bisa melakukannya. "Orang yang kau tunggu, tidak akan datang. Hiduplah untuk dirimu sendiri, hm? Bersamaku, juga Yina," meski di tolak, Jiyong terus membujuk gadis itu. Namun sekeras apapun ia berusaha, sekeras itu juga Lisa berusaha menolaknya.

Lisa tidak ingin meninggalkan rumahnya. Meski tidak seberapa sukses, meski hidupnya menyedihkan di sana, tempat itu pun memberinya banyak kenangan manis. Ia bangga melihat binatunya, ia bangga melihat rumahnya, melihat apa-apa yang sebelumnya menyedihkan perlahan-lahan berhasil ia ubah jadi istananya sendiri. Aku bahkan tidak lulus sekolah menengah, aku juga punya seorang anak yang harus diberi makan, juga seorang ibu yang perlu dirawat, tapi lihat lah... Aku tidak hancur, aku bisa membuat tempat ini jadi seperti ini, aku hebat-pikirnya, setiap kali dilihatnya teman-teman suksesnya di luar sana. Mereka yang sudah bekerja di perusahaan hebat bahkan debut dan terkenal. Tempat itu satu-satunya kebanggaannya, dan Lisa tidak ingin meninggalkannya.

Meski begitu, meski sudah mendengar alasan itu, Jiyong tetap tidak bisa menyerah. "Meski tinggal bersamaku, kau tetap bisa membanggakannya. Kau bisa memperkerjakan seseorang di binatu. Bisa juga menyewakan lantai atas untuk keluarga lain. Lisa-ya... Kau terlihat seperti akan mati kalau terus berada di sini, kau membuatku sangat takut. Yina pun pasti merasakannya, kalau akhir-akhir ini ibunya sangat murung," bujuknya. "Bukan membuang semua kerja kerasmu, aku pun tidak ingin kau melakukannya. Hanya saja, tempat ini tidak lagi membuatmu bersinar. Aku ingin membawamu pergi ke tempat yang lebih nyaman, lebih baik, tanpa wanita jahat yang kau tunggu-tunggu. Tanpa nenek tua yang selalu merundungmu. Apapun yang ingin kau lakukan, aku akan mendukungmu, jadi... Tinggal lah bersamaku, ya?" pintanya dan sekali lagi, Lisa tetap menggeleng.

"Aku bisa memahaminya... tapi pindah di saat-saat begini, tidak baik untuk Yina," bisiknya pelan. Membayangkan putrinya yang sudah kelas dua belas harus pindah sekolah dan perlu beradaptasi ulang di tempat baru. Membayangkan kalau putrinya pasti akan kesulitan di sana. "Dan bukan hanya aku, Yina pun terikat di tempat ini," susulnya, merasa kalau Yina pun diam-diam menunggu ibu kandungnya datang, menjemputnya seperti janjinya belasan tahun lalu.

"Aku tahu, langkah pertamanya tentu akan terasa sangat berat tapi-"

"Aku akan memikirkannya," potong Lisa. "Aku tahu oppa melakukannya untukku, karena oppa memikirkanku, aku berterima kasih karenanya, tapi beri aku waktu untuk memikirkannya," katanya kemudian, membuat Jiyong tidak lagi bisa membujuknya. Lisa ingin mengakhiri debat mereka. Ia sudah kelelahan.

"Baiklah," pria itu akhirnya menyerah. Lantas mengeluarkan sebuah kotak beludru dari laci dashboard di depan Lisa. Memberikan kotak beludru itu pada gadis di sebelahnya.

"Apa ini?" tanya Lisa, meski ia sudah membuka kotaknya dan melihat sepasang cincin di sana.

"Bagaimana kau bisa tinggal bersamaku tanpanya?"

"Tinggal bersamamu? Maksudnya oppa melamarku? Menikah? Sedari tadi itu yang sedang kita bicarakan?"

"Kau pikir aku hanya mengajakmu tinggal bersama untuk berbagi uang sewa? Tentu bukan," kata Jiyong. "Menikah denganku, tinggal bersamaku, lalu daftarkan Yina sebagai putrimu, putriku juga," tegasnya, membuat Lisa menghapus semua pikiran-pikirannya tadi, dan memulai memikirkan hal-hal baru. "Kau tidak bisa mengadopsi seorang anak kalau masih lajang," susul Jiyong, mengatakan hal yang mungkin tidak Lisa tahu.

***

Introducing Me (New Version)Where stories live. Discover now