72

276 75 18
                                    

***

"Aku membuat oppa menunggu terlalu lama, ya? Maaf... Akhir-akhir ini ada banyak masalah yang menimpa keluargaku. Tapi sekarang semuanya sudah selesai," kata Yina, bicara pada seseorang di telepon sembari membaringkan dirinya di atas sofa. "Karena semua masalah itu, rankingku turun, ranking enam, tapi ibuku tidak marah, dia santai seperti biasanya," ceritanya kemudian, tidak peduli pada Jiyong yang menontonnya dari meja makan.

Gadis itu berbaring di sofa, meneluk bantal sofanya sembari mengulas senyumannya. Terus berbincang pada seseorang diteleponnya—Bang Yedam yang beberapa minggu lalu menyatakan perasaannya, namun baru hari ini ia terima perasaan itu. Yina menceritakan masalah keluarganya pada Yedam, seluruhnya, tanpa ada bagian yang disembunyikan.

Jiyong yang bekerja di meja makan—sebab ia tidak lagi punya meja kerja, dan Lisa melarangnya bekerja di ranjang—sampai keheranan mendengar cerita Yina itu. Padahal Yina bisa merahasiakan beberapa part tidak perlu dari ceritanya, seperti bagian-bagian menyedihkan, bagian tentang Irene yang tidak akur dengan Bibi Oh dan bagian lainnya.

Gadis itu tidak bisa menjaga rahasia—nilai Jiyong. Pria itu pun bersyukur, sebab Yina tidak mengetahui segalanya. Ia tidak tahu kalau beberapa minggu lalu sikat giginya hilang. Ia tidak tahu kalau DNA-nya di uji dan hasilnya 99,99% ia adalah putri wanita itu. Rasanya gadis itu ingin memberitahu semua orang—"ibu yang tinggal denganku adalah bibiku, ibu kandungku membuangku dan dia hidup nyaman di keluarga kaya sekarang," begitu yang ia katakan pada Yedam. Tanpa merasa malu, tanpa merasa buruk atas hidup menyedihkannya.

Di tengah pekerjaannya, handphone Jiyong berdering. Yina menoleh ke meja makan, melihat pria itu pun menjawab teleponnya di sana. "Oppa, kemarilah," begitu yang ia dengar di teleponnya. Dan panggilan itu langsung berkahir setelah Lisa selesai dengan kata-kata yang ingin diucapkannya.

Tanpa mengatakan apapun, Jiyong melangkah ke kamarnya. Menghampiri Lisa yang berbaring di sudut ranjang. Kakinya ia naikan ke dinding, sedang tangannya sibuk mengetik di handphonenya. Ketika Jiyong membuka pintu kamar itu dan melangkah masuk, Lisa memintanya untuk menutup lagi pintu kamarnya. Lantas menggerakan tangannya agar Jiyong menghampirinya.

"Aku bahkan bisa mendengar suara kekehanmu dari luar, untuk apa menelepon? Kau bisa memanggilku," komentar Jiyong, yang selanjutnya duduk di ranjang, di sebelah kepala istrinya. Mengusap dahinya sebentar kemudian ikut berbaring di posisi yang sama. Berbaring dengan kaki yang masih menginjak lantai.

"Malas berteriak," jawab Lisa, yang kemudian merubah posisinya, menyamping, melengkung di sisi pendek ranjang, agar ia bisa melihat wajah suaminya. "Aku diminta datang ke pengadilan," ucap Lisa kemudian.

"Pengadilan? Kenapa?"

"Kuasa hukum Hwang Inyeop menghubungiku. Mereka akan menuntut Irene dan kalau diperlukan, mereka ingin aku datang sebagai saksi," jelasnya kemudian.

"Kalau kau mau datang, kau bisa datang. Tapi jangan sampai Yina tahu," jawab Jiyong, tetap menatap ke langit-langit kamar mereka, sebab ia ingin meluruskan pinggangnya. "Jangan sampai Yina diminta datang ke sana, sebagai saksi. Yina tidak boleh terlibat," tegasnya.

"Hm... Baiklah," angguk Lisa kemudian. Setelah berbaring dengan posisi yang tidak nyaman itu, ia akhirnya bangkit. Duduk bersila di sebelah suaminya. Ia menundukan kepalanya, melihat wajah pria yang dinikahinya itu. "Tapi aku boleh datang ke sidang itu? Kalau diperlukan?" tanyanya kemudian dan Jiyong menganggukan kepalanya. "Ah senang! Kenapa aku boleh melakukan semuanya? Kenapa oppa tidak melarangku melakukan sesuatu?" katanya kemudian, ikut berbaring dengan posisi yang sama seperti suaminya, lalu memeluknya. Menciumi pipi pria itu lalu tersenyum.

"Kau sesenang itu? Hanya karena diizinkan pergi ke pengadilan?" tanya Jiyong, akhirnya berbalik, tidur menyamping untuk melihat wajah cantik itu.

Lisa menganggukan kepalanya. "Bukan hanya karena diizinkan pergi ke pengadilan, tapi karena oppa selalu bilang iya. Apa yang oppa inginkan sekarang? Aku juga ingin mengabulkannya," tanyanya kemudian.

Sebentar Jiyong terdiam. Lantas menggeleng, mengatakan kalau ia tidak menginginkan apapun. Mengatakan kalau ia sudah memiliki semua yang diinginkannya. Namun Lisa tidak menyerah. Ia terus bertanya, bersikeras kalau Jiyong pasti punya sesuatu yang ia inginkan. "Meskipun bukan sesuatu yang sangat oppa inginkan, tapi oppa pasti menginginkan sesuatu, coba pikirkan apa yang oppa inginkan," bujuk Lisa. Tidak berhenti memeluk juga menciumi pipi suaminya. Orang-orang yang mengasihani Jiyong karena istrinya sering terlihat dingin, juga sesekali terlihat sinis, harus melihat bagaimana sikap wanita itu ketika di rumah.

"Uhm... Kalau kau memaksa... Ini?" jawab Jiyong, sembari menunjuk perut istrinya.

"Perutku? Organku? Ah... Bayi?" tanya Lisa dan Jiyong mengangguk. "Tapi setelah Yina lulus, aku ingin mengambil paket C dan pergi kuliah... Tapi aku bisa mengambil kelas karyawan-" katanya kemudian.

"Kau tetap bisa melakukannya. Aku yang akan merawatnya, bayinya, kalau sudah lahir. Menjadi ayah rumah tangga atau apapun istilahnya, aku yang akan melakukannya," potong Jiyong, membuat janji agar Lisa mau mengabulkan permintaannya.

"Baiklah," cepat Lisa. Gadis itu mengangguk, langsung setuju seolah ia tidak perlu mempertimbangkannya lebih dulu. "Haruskah kita ke rumah sakit? Atau cukup dengan berhenti memakai kondom? Tapi... Aku tidak pernah hamil dan merawat bayi sebelumnya. Bagaimana kalau pergi ke rumah sakit saja?" tanya Lisa dan suaminya mengangguk. Senyumnya terukir begitu lebar, terlihat begitu senang. Lisa pun tersenyum, melihat wajah senang suaminya.

Namun sepertinya bukan hanya mereka yang senang. Di luar, Yina pun luar biasa senang. Bicara dengan Yedam yang sekarang jadi kekasihnya, terus terkekeh sembari bicara di telepon. Lalu beberapa jam setelahnya, ketika pagi datang, alarm gadis itu tidak berdering seperti biasanya. Sembari di charge, sampai pagi handphone gadis itu masih terhubung dengan panggilannya. Ia menelepon Yedam sepanjang malam bahkan saat dirinya terlelap.

Lalu di Minggu pagi itu ketika mereka seharusnya sarapan bersama, Yina memilih membawa makanannya ke kamar. Memilih untuk makan di sana sembari bicara di telepon dengan kekasih barunya. "Biarkan saja, ini pertama kalinya dia berkencan," kata Lisa, menahan suaminya yang akan menegur gadis itu.

Meski begitu, meski dilarang, Jiyong tetap menegur Yina. Selepas sarapan, dan Lisa turun ke binatu untuk mencuci pakaian mereka, Jiyong mengetuk kamar Yina. "Jangan terus menelepon di kamar, nanti ibumu marah," kata Jiyong, berdiri di ambang pintu yang yang Yina biarkan terbuka. "Dia sudah setuju untuk punya bayi, jangan membuatnya berubah pikiran," katanya selanjutnya.

"Sungguh?!" Yina menoleh, sebentar mengabaikan Yedam yang ada di panggilan videonya. "Eomma hamil?!" tanyanya, terkejut.

"Belum," tenang Jiyong. "Kami hanya akan mencobanya. Karena itu... Bekerja samalah, jangan membuatnya kesal," pinta Jiyong dan Yina cepat-cepat menganggukan kepalanya, lalu mengacungkan kedua ibu jarinya, menyetujuinya.

***

Introducing Me (New Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang