51

336 72 7
                                    

***

"Pergi saja, aku menyuruhmu untuk pergi dari sini, apa susahnya pergi dari sini?" kata Irene, setelah Lisa meminta pegawai barunya—Park Jihoon—untuk pergi membeli kopi. "Pergilah membeli dua gelas kopi, hanya dua gelas," kata Lisa, mengusirnya pergi. Agar ia bisa bicara berdua dengan Irene.

"Kau tidak mendengarku?" kata Irene, setelah Jihoon melangkah pergi dengan kartu e-money yang Lisa berikan padanya. "Pergilah bertiga, sampai kapan kau akan hidup di binatu ini? Kau tidak ingin hidup yang lebih baik? Kau tidak ingin bahagia? Pergilah, mulai hidup baru di London, aku akan memberimu uang," katanya, lantas mengulurkan sebuah amplop pada Lisa. Memaksa Lisa untuk menerima amplop itu.

Lisa menerimanya, lantas membuka isinya. Sebuah cek ada di dalam sana, dan masih kosong. "Tulis berapapun yang kau inginkan, akan aku beri semua yang kau mau," usir Irene, namun cek itu di kembalikan. Lisa memaksa Irene untuk menerima kembali cek itu.

"Oh ayolah. Kau malu menerima uangnya? Daripada tinggal di sini, pergi ke London jelas akan lebih baik. Aku akan membelikanmu sebuah apartemen di sana, Yina bisa sekolah di sana dan eomma-" Irene terus membujuknya, namun Lisa lebih dulu menyelanya.

"Suamiku tidak bisa pergi, dia bekerja di sini," santai Lisa. Memilih untuk mundur, mendudukan setengah bokongnya di atas meja kasirnya. Menonton rekasi Irene yang kini melotot marah.

"Suamimu? Kau punya seorang suami?" tanya Irene, dengan wajah yang otomatis merah padam. Suaranya hampir meninggi, namun wanita itu berusaha meredamnya.

Lisa mengangguk, lalu berucap, "tentu saja aku punya seorang suami," katanya. Menunggu bagaimana reaksi Irene. Gadis itu tetap marah, wajahnya tetap merah padam. Jelas terlihat kalau ia tidak menyukai fakta itu.

"Siapa pria itu?" tanya Irene dan Lisa menaikan bahunya, enggan memberitahu Irene.

Harusnya Irene bisa menebak siapa pria itu—pikir Lisa. Lisa beranggapan mungkin Irene kesal karena tidak di undang ke acara pernikahannya. Bohong, kalau Lisa tidak berharap kakaknya akan sedikit saja peduli padanya. Meski hubungan mereka tidak baik, harusnya itu terjadi karena Lisa membenci Irene, bukan sebaliknya. Harusnya, sebagai seorang kakak—yang telah berbohong kalau adiknya meninggal—Irene merasa sedikit bersalah. Sedikit saja, Lisa tidak berharap banyak. Sedikit saja Irene merindukannya, sebagai seorang kakak yang merindukan adiknya.

Namun lagi-lagi Irene menusuk belati ke dada adiknya. "Kau menikah dengan pria bertato itu? Kalian tinggal di sini?" tanya Irene, mengingat Jiyong yang tempo hari ada di binatu, mengusap-usap lengan adiknya. Lisa mengiyakan pertanyaan itu, namun emosi Irene justru semakin jelas terlihat. Irene tidak menyukai pria itu—Kwon Jiyong, yang teramat dekat dengan Jennie Kim. "Apa kau gila? Menikah dan tinggal bersama seorang pria seperti itu? Eomma menyetujuinya?" tanya Irene, dengan nada menuntut, juga tatapan mengintimidasinya.

Dulu Lisa takut ditatap begitu. Dulu Lisa takut setiap kali Irene marah, sebab ia yang akan dimarahi ketika mereka bertengkar. Irene sering membawa makanan ke rumah, membawa buah, kadang-kadang uang. Semua yang bisa ia dapatkan dari pria-pria di sekitarnya. Dari orang-orang yang menyukainya. Karena itu, ibu mereka menyayanginya, merasa beruntung karena punya seorang putri seperti Irene—cerdas dan mempesona. Membuat hidup mereka yang miskin jadi sedikit lebih mudah. Mungkin, karena semua tekanan itu, semua harapan itu, Irene memutuskan untuk pergi dari rumah. Karena ia sudah tidak tahan lagi tinggal di sana sebagai harapan.

"Kau membawa seorang pria untuk tinggal di rumah?! Kau sudah gila?! Dimana akalmu?! Aku tahu kau bodoh tapi tidak aku sangka kalau kau akan sedungu ini, Lalisa!" marah Irene kemudian, kesal sebab Lisa tidak menunjukkan keseriusannya. Sebab Lisa menatap remeh padanya. Sebab Lisa yang dulu tunduk padanya, kini berani mengangkat kepalanya. "Yina sudah sangat besar sekarang dan kau membawa pulang seorang pria?! Bagaimana kalau pria itu melecehkannya?! Bagaimana kalau pria itu-" Irene berhenti sebab Lisa memukul wajahnya, tepat di pipi dengan botol pump berisi detergen cair.

Jihoon baru saja kembali dengan kopinya. Terkejut hampir menjatuhkan gelas-gelas kopinya. "Kau sudah kembali? Maaf kau harus melihatnya, terima kasih kopinya, yang satu itu untukmu," sapa Lisa kemudian, mengambil segelas kopinya lalu memberikan gelas lainnya pada Jihoon. Jihoon hanya membeli dua kopi, seperti yang bagaimana Lisa perintahkan. Meski awalnya ia pikir kedua kopi itu untuk Lisa juga tamunya.

Irene hampir jatuh ke lantai, namun mesin cuci di sebelahnya membuat ia bisa berpegangan. Tidak jadi tersungkur ke lantai namun cukup terkejut karena serangan tiba-tiba itu. Ia bergerak bangkit sementara Lisa menyuruh Jihoon mengeluarkan cucian dari mesin cuci di sudut, Irene akan membalas Lisa kalau Jihoon tidak ada di sana. Sebagai seorang istri calon walikota, ia tentu tidak bisa bersikap sembarang di depan orang lain.

"Kau sudah sadar?" tanya Lisa, setelah dilihatnya tatapan marah Irene yang jadi semakin tajam. Tangan gadis itu terkepal, berharap bisa meninju adiknya namun berusaha keras tidak melakukannya, demi nama baiknya sendiri. "Jangan bersikap begitu lagi kalau tidak ingin dipukul, tidak tahu malu. Kau khawatir karena dia tinggal bersama seorang pria? Bagimu dilecehkan lebih menakutkan daripada dibuang selama empat belas tahun? Lucu sekali. Pergilah, daripada mempermalukan dirimu sendiri di sini. Kau terdengar sangat bodoh sekarang," kata Lisa, disusul dengan jatuhnya keranjang cucian yang Jihoon pegang di sudut binatu.

Irene pergi, dengan sangat marah. Sedang Lisa menatap Jihoon yang sekarang mengambil pakaian-pakaian jatuh tadi. "Terima kasih," Jihoon menoleh mendengar Lisa bicara. "Aku tahu kau sengaja menjatuhkannya. Lain kali tidak perlu melakukannya, kita harus mencuci ulang kalau pakaiannya kotor lagi," susulnya.

"Maaf-"

"Tidak apa-apa," potong Lisa. "Tapi, jangan beritahu siapapun kalau wanita tadi datang ke sini, aku minta tolong," pinta Lisa.

Jihoon setuju untuk menyimpan rahasia itu—kedatangan Irene, si istri calon walikota. Bahkan pada Yina sekalipun, Jihoon tidak mengatakan apapun. Dengan kapasitas otaknya, Jihoon harusnya paham, siapa Bae Irene dan apa alasannya selalu datang. Ya. Bae Irene datang lagi keesokan harinya, lalu beberapa hari setelahnya, beberapa kali wanita itu datang, hanya untuk mengatakan hal yang sama. Lisa dan keluarganya harus pergi ke London, secepatnya.

Anehnya, wanita itu selalu datang di siang hari, ketika anak-anak kelas dua belas belum pulang dari sekolah. Yina tidak pernah ada di sana, setiap kali Irene berkunjung. Bagi Jihoon itu aneh, namun bagi Lisa pemilihan waktu itu sangatlah wajar. Irene tidak ingin bertemu dengan Yina.

Beberapa kali kedatangannya sia-sia. Dan keputusan asaan terlihat semakin jelas di tiap kedatangannya. Sampai akhirnya Irene menyerah bicara pada Lisa. Ia menyerah membujuk adiknya sendiri. Maka, ia putuskan untuk pergi ke sekolah Yina. Menunggu putri yang ia lahirkan di sana, lantas menjemputnya, muncul di depannya, mengejutkannya.

"Yina-ya," panggil Irene, begitu lembut namun cukup untuk membekukan tubuh gadis yang dipanggilnya.

Yina baru saja keluar dari gedung sekolahnya. Baru saja menyelesaikan ujian tengah semesternya dan besok masih ada ujian matematika. Ia baru saja bicara dengan Junkyu, bertanya buku apa yang Junkyu pelajari di tempat bimbelnya. Dan suara Irene berhasil membuat Yina mematung, tidak lagi bisa bergerak. Bagi Yina, kedatangan Irene lebih mengejutkan dibanding dengan suara petir di tengah hari yang terik.

***

Introducing Me (New Version)Where stories live. Discover now