Daisuki

86 6 2
                                    

Pagi ini cukup dingin, butiran-butiran salju turun perlahan, disertai angin dingin yang menerpa pelan, membiarkan salju-salju tak turun lurus ke tanah melainkan dilelehkan dan diterbangkan ke tempat lain.

Tanah bersalju yang berbenturan dengan bola yang memantul itu mengeluarkan bunyi pelan, namun cukup mengundang perhatian orang-orang yang juga berlalu-lalang di jalan ini.

Apa memang cukup aneh jika melihat gadis bermantel tebal berjalan sambil memantul-mantulkan bola basket?

Tak salah bukan?

Ia tak peduli jika orang-orang memandangnya aneh.

Justru hanya terfokus dengan suara dan pantulan bola, gerakan bola yang selalu kembali ke telapak tangannya. Tak lupa irama musik tenang di headphone-nya yang senada dengan pantulan bola.

Entah ada apa dengan bola itu-- yang tiba-tiba tak sengaja memantul di kakinya yang tengah melangkah.

Tertendang sedikitlah bolanya. Menggelinding jauh dan sang pemilik harus mengejarnya, berlari kecil dan perlahan terhenti di sebuah pohon tak berdaun dengan ranting yang penuh salju.

"Bola sialan! Kauingin kukempesi?!" gumamnya kesal.

Sambil menghapus sisa-sisa salju kering yang menempel di bola basket kesayangannya ia menghela napas. Menyadari daerah sekitar sepertinya ia sudah cukup jauh berjalan sambil dribbling seperti itu.

Lelahnya justru dirasa setelah berhenti.

Ia menghela napasnya lagi, ternyata sepertinya kurang efektif dribbling di musim seperti ini, sebaiknya ia memang di rumah atau jika ia tahu klub basket yang masih aktif di musim seperti ini mungkin ia akan ikut untuk menghilangkan jenuh.

Di tengah waktu rehatnya, ia tiba-tiba menahan napas ketika mendengar suara retakan ranting.

Reflek ia menengadah ke atas dan langsung mengerjap-ngerjapkan matanya yang sedikit kelilipan salju kering yang jatuh dari atas.

Gawat, terlambat untuknya bergerak karena patahan ranting disertai salju tebal itu sudah nyaris menyentuh kepalanya, mungkin beberapa senti lagi.

Tidak. Ternyata ia masih selamat.

Matanya tiba-tiba menangkap sebuah payung yang menghalangi kepalanya agar tidak terkena patahan ranting itu.

Pandangannya pun teralih ke orang di depannya hingga manik mereka saling bertemu.

Sepersekian detik mereka hening seakan waktu berhenti. Angin dingin berhenti bertiup memperlambat salju yang turun dari langit.

Pria dengan rambut merah itu, ya ia sangat mengenalnya, ia tersenyum tipis sebelum akhirnya--

"Ups." Dengan entengnya ia justru menempelkan ujung payungnya ke kepala sang gadis di depannya hingga ranting dan saljunya justru hinggap sepenuhnya di pucuk kepalanya. "Payungku terlalu berat menahan beban saljunya, maaf."

Ia menarik payungnya kembali dan meninggalkan sang gadis begitu saja disertai senyuman anehnya yang sama sekali terlihat tanpa akhlak.

WHAT THE--?!

DUAK!

"Ow!"

Bola basket di tangan sang gadis melayang langsung dan memantul di kepala berambut merah itu.

"Brengsek! Tidak usah sok romantis jika tak berniat menolong! Dasar cabe!" gerutunya saat bola itu kembali mendarat di tangan mulusnya.

Kesal. Sang gadis pun memilih berbalik dan mulai melangkah pergi dari pria sialan di depannya itu.

Tidak.

Langkahnya tertahan saat merasa lehernya sedikit 'tercekik' karena tudung mantelnya-- yang berisi sedikit salju-- itu ditarik oleh tangan jahil sang pria.

"Apalag--"

Kalimatnya terhenti seketika saat mulutnya sedikit dibekap dan punggungnya berhasil mendarat di dada sang pria-- dengan tangan yang sepenuhnya melingkar dan menahan kedua bahu sang gadis.

"Sssh..." ucapnya. "Kau tidak usah marah, Beatrix. Setidaknya patahan ranting itu tidak melubangi kepalamu." Sebelah tangannya membuka bekapan itu dan membersihkan sisa-sisa salju di puncak kepalanya.

Walau rona merah memenuhi pipi sang gadis ia menutupi perasaannya dengan memutar bola matanya malas. "Aku tahu kau hanya berniat jahil, Julian. Tidak usah sok manis!"

Sebenarnya tak dapat dipungkiri jika ia tak dapat menahan detak jantungnya sendiri ketika pria ini melakukan hal-hal tak terduga seperti ini.

Gemas dengan reaksinya justru ia mengacak-acak surai merah muda gadis di dekatnya ini.

"Hey!" Ia menepis tangan Julian sambil berbalik dan menatapnya sebal.

Sementara pelakunya hanya tersenyum jahil kepadanya menahan tangan yang lebih kecil darinya itu. "Tidak usah sok jual mahal jika kau memang suka hal romantis."

Baiklah, tak ada satu kata pun yang mampu dijawab oleh sang gadis.

"Daripada kau marah-marah tidak jelas seperti ini sebaiknya kau ikut aku sekarang juga." Tangannya tiba-tiba beranjak menarik tudung sang gadis seakan ia menyeret tumpukan salju di dalam karung.

"HEY! KITA MAU KEMANA?! HEY JANGAN TARIK HOODIE-KU! SIALAN, APA TIDAK ADA CARA YANG LEBIH HALUS?!"

"Jika ingin lepas bilang daisuki," ucapnya.

"Hah?"

Langkahnya terhenti tiba-tiba, "daisuki."

Beatrix mengangkat sebelah alisnya, "maksudmu?"

"Ah sudahlah, kau bodoh, aku malas berdebat dengan gadis bodoh sepertimu," ucapnya berhenti menarik tudung Beatrix dan berjalan mendahuluinya begitu saja.

"HEH! SIALAN KAU! AKU TAHU KAU PANDAI BERBAHASA JEPANG TAPI TIDAK HARUS MENGHINAKU BEGINI!"

"Berisik. Ayo ikut."

"Hah? Kemana?"

"Aku menantangmu adu basket. Jika kau menang kau bebas meminta apapun. Tapi jika kau kalah...." Tiba-tiba ia kembali mendekat, melepas headphone itu lalu berbisik. "Kau harus mengucapkan kata 'Daisuki' 200 kali."

Gadis itu tersenyum sambil mencengkram kerah mantel Julian, "aku sama sekali tidak takut dengan tantanganmu, Tuan Cabe Hutan."

Julian membalasnya dengan senyuman jahil lalu segera menarik tangan Beatrix, "ayo cepat, aku tidak sabar untuk mengalahkanmu."

"Aku yang akan menang, lihat saja."

== Oo ==

Random banget ngidenya emang gue 🗿

ONESHOTS OF MLBBWhere stories live. Discover now