I Will Miss You

69 4 0
                                    

Hangat. Bunga-bunga telah bermekaran seiring melelehnya salju-salju di pergantian musim ini. Di bawah bunga sakura yang rindang, angin berhembus kecil menerbangkan kelopaknya yang berjatuhan.

Julian menghirup udara yang sejuk ini dengan sedikit lirih, memandang pocket watch di tangannya dengan tatapan sendu. Satu-satunya benda berharga yang ditinggalkannya.

Ia merindukannya, merindukan waktu yang berharga saat bersamanya. Dunia telah damai, tak ada lagi ledakan bubuk mesiu yang melahirkan trauma, namun hatinya tak pernah merasa damai dan tak pernah berwarna setelah hari itu.

"Jika saja..."

Julian menggenggam erat pocket watch itu sambil memejamkan mata, memendam kerinduannya, menahan sedih agar air matanya tidak keluar.

"Julian! Bangun! Dasar bodoh!"

DUAK!

"Ow! Sakit brengsek--" Iris merahnya langsung terbelalak melihat siapa yang 'membangunkannya' dengan cara yang tidak halus ini, gadis dengan rambut merah muda itu.

"Kenapa kau melihatku seperti itu? Ayo bangun, pengiriman amunisinya harus cepat."

Sementara Julian masih mematung, berpikir apa yang terjadi sebelumnya. Ia ingat, ia juga pernah ada berada dalam misi ini bersama gadis ini.

Apakah ini mimpi?

"Jika kau masih mengantuk biar aku yang menyetir."

"Pardon?" Julian berusaha mengikuti alur mimpi ini walau ia tak tahu apa yang terjadi sebenarnya. "Cara menyetirmu brutal, Beatrix, biar aku saja."

"Lebih bahaya jika supirnya mengantuk lalu bubuk mesiu di belakang meledak dan kita mati konyol gara-gara kau."

"Harusnya aku yang bilang begitu." Julian memasang wajah malasnya.

"Aku tidak peduli, kita harus cepat, ayo naik!" Gadis itu membuka pintu mobilnya dan menduduki kursi pengemudi.

Julian mengikutinya lalu duduk di kursi sebelahnya. Melirik gadis di sebelahnya yang masih serius mengemudi di jalan yang sama sekali tidak mulus ini. Sesekali ia terguncang hingga harus mencengkram kuat hand grip yang tersedia di atas pintu mobil itu.

Perjalanan pengantaran amunisi memang tinggal sedikit lagi, namun mengingat semalam jalan tidak aman karena adanya pasukan monster dari kerajaan Abyss (yang merupakan musuh) di daerah perbatasan ini.

Mereka memutuskan untuk istirahat di tempat yang aman sejenak dibandingkan harus nekat maju lalu gagal dalam misi pengantaran ini.

Julian masih hening memerhatikan seragamnya yang bercorak loreng, lalu sesekali melirik Beatrix yang masih fokus menyetir. Ia mulai mengerti, jika ia benar, kini ia sedang memimpikan masa lalunya atau bahkan tak sengaja kembali ke masa lalunya entah bagaimana caranya.

Perang yang belum berakhir. Misi pengantaran yang hampir tiada henti. Ia ingat setelah misi pengantaran ini Beatrix akan pindah divisi ke garda terdepan perang ini karena ia dikenal dapat mengoperasikan banyak tipe senjata, lalu melihat gadis ini gugur karena spear bomb musuh.

Tidak. Namun apakah ia bisa mengubahnya agar gadis ini tidak gugur dan membuatnya kesepian setelah perang berakhir? Ataukah ... ini hanyalah mimpinya?

"Biasanya kau bergumam aneh jika melewati jalan berlumpur ini, kenapa kau diam? Ada sesuatu di pikiranmu?" Tiba-tiba Beatrix angkat bicara, iris birunya melirik pria berambut merah yang masih melamun itu.

"Tidak ada, aku hanya mengantuk." Julian mengalihkan pandangannya ke jendela, memikirkan cara yang tepat agar mereka hanya tetap pada divisi pengantaran ini. "Oh ya apa kau akan menerima jika tiba-tiba kita pindah divisi?"

"Aku tidak masalah jika harus pindah ke divisi manapun asalkan kita menang dalam perang ini," jawab Beatrix.

"Sekalipun ke garda terdepan lalu gugur?" tanya Julian. Kali ini ia tak tahan untuk mengatakan apa yang ada di pikirannya. "Jika kita menang, gugur tidak masalah namun jika kita kalah, akan sia-sia."

"Hmm ... kau benar, tapi setidaknya kita sudah berjuang karena memang itu tugas kita." Beatrix hanya mengangkat bahunya. "Lagipula mengapa kau tiba-tiba denial begitu?"

"Entahlah, sejatinya aku tidak ingin kau mati, itu saja," jawab Julian.

"Ha? Sejak kapan kau jadi perhatian begitu, apakah di sampingku ini benar-benar Julian Smith? Atau Julian Smith punya kepribadian ganda karena trauma perang? Aku jadi takut," jawab Beatrix.

"Opinimu sangat aneh."

"Yang aneh itu kau, terserah kau saja." Beatrix reflek membelokkan mobilnya ke suatu tempat melihat pergerakan pasukan musuh. Pada saat yang sama juga dia menerima sinyal dari walkie talkie yang dia pegang dan langsung menerima pesan dari markas pusat.

"Kau peramal ya? Kita benar-benar akan pisah divisi nanti." Beatrix langsung mengerti pesan yang baru saja dia terima.

Julian tidak menjawab, namun dia memantau pergerakan musuh dengan teropong, mereka bergerak seperti binatang yang sedang bermigrasi, berbondong-bondong. "Seperti kita belum bisa melanjutkan perjalanan."

Mengingat tadi Julian mendengar Beatrix benar-benar akan pindah divisi, akhirnya ia hanya bisa pasrah. Walau rasa sedih itu tak bisa ia tahan, ia mengerti, setidaknya ia bisa menghabiskan waktu bersamanya sebentar lagi, mengatakan hal-hal yang belum sempat ia sampaikan. Walau hanya dalam mimpi seperti ini.

Bisakah ia mengatakannya? Apa reaksinya?

Ketika senja menyapa, api unggun yang hangat mulai membara di tengah kumpulan tenda itu.

Julian mencoba untuk menyesuaikan optik pada senjata miliknya untuk berjaga. Dengan zoom optik yang sesuai, ia bisa membidik dan membunuh musuh dalam sekali tembak saja jika ada beberapa yang kesini dan mengacau.

"Ugh! Aku hampir lupa semua fungsi tombolnya." Beatrix menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil membaca selembar kertas dengan panduan pengoperasian senjata (yang pernah dia terima saat masuk militer) namun suaranya cukup mengalihkan fokus Julian yang masih sibuk dengan senjata itu.

"Coba ingat-ingat saat kau masih latihan," ujar Julian.

Beatrix berpikir keras, selama ini ia hanya mengingat rute perjalanan untuk pengantaran amunisi. Cukup sulit baginya untuk mengingat kembali hal yang sudah lama tidak ia ingat.

"Atau cobalah ilustrasikan gambar pada tombolnya dengan logikamu," lanjut Julian.

Pada akhirnya Beatrix menutup kertas itu. "Mungkin aku akan mengingatnya jika sudah berada di dalam sana nanti." Ia menumpukan dagunya di atas telapak tangannya sambil melihat api unggun beberapa meter jauh di sana. "Sepertinya akan keren jika aku meluncurkan roket di sasaran yang sangat tepat sampai musuh tidak bisa berperang lagi."

Tangan Julian tiba-tiba meraih puncak kepala Beatrix dan membuat gadis itu terbelalak mematung.

"Aku sering bermimpi buruk tentangmu, jadi jangan buat mimpi itu jadi kenyataan." Ucap Julian. "Jangan mati, nanti aku kesepian."

Ekspresi Beatrix melembut dan tersenyum tipis. "Julian, kita tidak tahu takdir seperti apa ke depannya, aku tidak ingin berjanji tapi aku akan berusaha."

Julian menariknya ke dalam pelukan. Mendekapnya begitu erat, ia tidak ingin bangun dari mimpi ini dan menerima kenyataan jika gadis ini sudah tiada.

"Aku akan merindukanmu."

ONESHOTS OF MLBBWhere stories live. Discover now