27 | PARTY

2.7K 328 41
                                    

Arjuna menatap kedua orang tuanya bingung, karena sudah hampir dari satu jam yang lalu ia hanya di diamkan.

"Ayah ada yang mau dibicarakan sama Juna?"

"Apa benar kamu udah punya pacar?"

Juna mengangguk tanpa ragu. "Iya, baru beberapa hari. Kenapa ayah nanya gitu, bukannya ayah yang nyuruh Juna nyari pacar biar nggak gerah liat keromantisan ayah dan bunda," jelasnya seraya terkekeh, tapi kedua orang di depannya justru tak menampilkan senyum sama sekali.

"Ayah masih nggak percaya kamu bisa punya pacar."

"Beneran anak bunda punya pacar? Siapa pacarnya? Kapan-kapan ajak main ke rumah, ketemu bunda ya, Jun," ujar Arinda yang sekarang tampak senang setelah lagi-lagi pertanyaannya dijawab boleh Juna.

"Namanya Arika Angelina. Yang waktu dulu ke--"

"Anak kecil cadel di warung pecel ayam itu?! Yang ngejulitin ayah waktu itu?" tutur Gino kembali mengingat bagaimana pertemuannya dengan anak perempuan di warung pecal ayam beberapa bulan yang lalu.

Arjuna lagi-lagi mengangguk. "Cuma mau ngomongin ini kok dari tadi malah diam doang."

"Kita diundang ke acara keluarga Darma. Pesta ulang tahun sesepuhnya katanya," jelas Gino. Ia juga baru sadar, kenapa satu jam yang lalu hanya mereka habiskan dengan saling diam.

Spontan jawaban Gino mendapat cubitan dari Arinda. "Bilang yang bener Mas. Kasian Arjuna bingung."

"Ih kamu ya main cubit-cubit aku. Udah bener kok yang Mas bilang."

"Ulang tahun kakek nya Arika? Kapan Bun, Yah?!"

"Malam ini," jawab Arinda.

Arjuna langsung bangkit dari duduknya dan bergegas ke kamar, tapi sebelum itu ia mencium pipi Arinda tiba-tiba yang membuat Gino melotot marah.

"Juna ke kamar dulu, Bun. Mau nyari baju yang cocok dipakai nanti!"

"Sembarangan aja nyium istri orang," gerutu Gino lagi-lagi mendapat cubitan Arinda.

"Anak sendiri juga. Mas kenapa cemburuan banget sih."

"Ya karena aku sayang sama kamu lah!" jawab Gino percaya diri.

Arinda hanya terdiam. Arjuna yang sudah tak berada di sana membuat suasana kembali terasa sepi.

"Kalau sayang, kenapa dulu kamu nggak mau besarin anak kita. Adiknya Juna."

Raut wajah Gino langsung berubah seketika. Ini adalah pembahasan sensitif dan Arinda sadar akan hal itu.

"Aku beneran nggak tau dia sekarang gimana. Apa tumbuh di keluarga baik atau enggak. A-aku selalu merasa bersalah Mas, sama diriku sendiri karena biarin anak yang kukandung dilepas gitu aja. Aku ibu yang buruk."

"Aku nggak mau bahas ini. Aku nggak suka sama anak perempuan. Lemah dan nggak bisa apa-apa, terlebih yang harus jadi penerusku itu hanya Arjuna. Kamu tahu sendiri alasan aku menolak seorang putri kenapa. Aku nggak sanggup besarin dia yang punya penyakit sama seperti almarhum ibu. Ujung-ujungnya dia bakalan pergi, jadi lebih baik dari awal nggak usah diasuh dan nanti setelah dia pergi, kita nggak akan ngerasain sakitnya ditinggalkan."

"Kamu salah Mas, justru dengan kita memberikannya pada orang lain lebih membuat kita akan merasa menyesal nantinya. Bahkan--"

"Stop. Dulu kamu oke-oke aja dengan keputusan Mas. Sekarang kenapa malah dibahas lagi?!"

Arinda tak mampu lagi berkata-kata. Ia hanya menundukkan kepalanya, membiarkan air matanya mengalir tanpa suara.

Ya, kenapa dulu ia harus menyetujui keputusan bodoh itu jika akhirnya merasa bersalah seperti sekarang.

What should we do? Where stories live. Discover now