Anak Papa

63 11 4
                                    

****

Berjalan menyusuri lorong demi lorong agak nya membuat salah satu di antara dua manusia disana mulai mengeluh. Mengeluhkan kenapa kelas mereka begitu jauh, kenapa di sekolah ini tidak diberikan lift per lantai, seluruh keluhan serta ocehan itu hanya di tanggapi oleh Dito dengan kekehan kecil.

Raga memang seberisik itu anak nya. Belum lagi kalau masalah makanan wah bisa habis jam istirahat dengan semua komentar nya. Entah tentang makanan yang terlalu pedas lah, sayuran yang tidak segar, atau kuah yang rasanya kurang pas. Mungkin karena Ayah nya adalah Chef di restoran ternama makanya membuat Raga sedikit selektif dengan makanan.

Tetapi tetap saja makanan di kantin yang ia pesan di jam istirahat selalu laki-laki itu habiskan. Katanya, "Sayang kalo gak di habisin, buang-buang makanan kan dosa."

Ya setelah nya Dito hanya bisa merotasikan bola mata malas, Raga itu memang hidup nya penuh dengan alasan dan ngeles.

"Eh buset sumpah ya ini gue lama-lama mau protes! Kenapa gedung IPA itu jauh banget anjirr!"

Agak nya kali ini Dito setuju dengan keluhan Raga perihal letak gedung kelas mereka yang cukup jauh dari depan sekolah. Sekolah mereka memiliki gedung kelas yang berbeda untuk setiap jurusan dan sial nya gedung IPA agak sedikit jauh di belakang, meskipun fasilitas nya jauh lebih baik daripada gedung kelas lain.

Tapi ya tetap saja, kalau jarak nya saja sejauh ini bagaimana bisa penghuni nya tidak telat ke lapangan. Kira-kira kalau di hitung jarak gedung IPA ke lapangan bisa sampai ratusan meter, jauh bukan?

"Bagus sih gedung nya, lebih banyak fasilitas. Tapi gempor juga dua tahun begini mulu."

"Lo mending diem dah. Ngomel mulu nyampe kaga berisik iya." Sembur nya yang langsung membuat Raga bungkam meskipun dengan menampilkan ekspresi yang agak menyebalkan untuk ia lihat.

Tidak banyak hal yang bisa di ceritakan dari sekolah nya selain ya gedung yang luas dengan banyak fasilitas serta siswa-siswi nya yang terkenal dengan banyak prestasi. Baik akademik maupun non akademik. Ya bisa di bilang sekolah nya adalah sekolah terpandang di kota ini.

Tetapi ya sebagus-bagus nya sekolah tetap saja ada sisi buruk nya. Dan sial nya Dito benci kenyataan ini. Kenyataan dimana siswa-siswi yang kerap kali menormalisasi kan perbedaan kasta di antara sesama, terkadang hal seperti ini sering kali menimbulkan perkelahian sampai ada yang masuk rumah sakit.

Dito sendiri pernah. Meskipun tidak sampai menyerang fisik nya tetapi sering kali menyentil hati mungil nya, seperti sekarang.

Langkah nya dan Raga mau tidak mau harus terhenti ketika berhadapan dengan dua laki-laki yang menghadang jalan nya.

Diam-diam Raga mendekat padanya seraya berbisik. "Kali ini lo mau apain dia?"

Dirinya hanya melirik Raga sekilas lalu menatap penuh dua laki-laki di depan nya. "Mau apa lagi lo berdua?"

Suara nya yang terkesan jutek tersebut berhasil membuat salah satu nya menatap Dito tajam, merasa di tantang. Dito sendiri tidak ambil pusing, dua laki-laki ini memang kerap kali mengganggu hari-hari nya dan Raga. Kadang di kantin, di perpus, ah dimana-mana ada. Dito sendiri tidak tau apa motif mereka selalu menjahili nya.

"Kalem dong. Mau ngasih ucapan selamat pagi doang ini, jangan tegang gitu muka nya."

Itu Yoga, yang paling tinggi di antara mereka. Salah satu anak ekskul basket dengan tempramen yang sangat buruk. Tidak sekali dua kali Dito menangkap desas-desus tentang Yoga yang sering memukul teman satu ekskul nya hanya karena tidak mau membelikan Yoga minum. Dan salah satu yang paling sering mengganggu nya.

Hi, Bye Papa! Where stories live. Discover now