Hancur belum Runtuh

47 8 1
                                    

****

"DITO!"

Ternyata bukan Papa yang datang untuk menyelamatkan nya hari ini. Tapi laki-laki yang saat ini wajah nya sudah mulai kemerahan, Dito pikir seluruh emosi nya di tahan sejak di perjalanan menuju kesini.

Ke gudang terbengkalai melihat nya yang terpuruk, untuk yang kedua kali.

Itu Raga. Itu Raga dengan sejuta keberanian yang tidak tau datang dari mana. Itu Raga yang melakukan perjalanan dari Bandung ke Jakarta, demi menyelamatkan hidup seseorang. Demi menyelamatkan Dito yang nyaris runtuh.

Memberikan sahabat nya kesempatan untuk mencoba hidup sekali lagi.

"Lo ngapain disini brengsek?!"

Amarah itu tertahan meski sejujurnya sudah tumpah ruah hingga menyakiti hati Dito, melihat bagaimana jemari putih Raga terkepal kuat, napas nya yang memburu, peluh yang membasahi ujung rambut nya.

Menciptakan perasaan bersalah sekali lagi di dalam hati Dito. Membuat nya luruh kembali di tanah bumi, menangisi segala hal yang sudah menyakiti nya. Menangisi kenapa Raga serela ini untuk menyelamatkan nya yang sudah tidak berbentuk.

Menangisi kenapa harus Raga yang melihat nya hari ini. Kenapa harus Raga?

"Bangun."

"BANGUN BAJINGAN!"

Hampir seumur hidup nya Raga tidak pernah sekalipun berkata sekasar ini, baik pada Ayah, Bunda dan juga laki-laki yang sudah bersimpuh tak berdaya di bawah nya sekarang. Raga anak baik yang selalu menjaga ucapan nya, setidaknya itulah citra yang harus ia pertahankan di hadapan semua orang, di hadapan Ayah dan Bunda.

Pengecualian untuk pengecut seperti sahabat nya. Dito itu memang seperti bom waktu, tapi anak itu hanyalah bom waktu pengecut. Yang tidak mampu mengontrol diri kapan sebaiknya ia harus meledak.

Dito mengakui nya. Sejak kaki nya luruh menyatu dengan semen rooftop yang dingin, sejak air mata nya jatuh di punggung tangan nya yang masih kemerahan dengan darah mengering, sejak ia kehilangan dirinya untuk sekali lagi. Dito mengaku kalah, Dito mengaku kalau dirinya tidaklah sekuat apa yang orang-orang ucapkan.

Pertahanan yang selama ini ia lakukan untuk Raga ternyata luruh oleh Raga.

"Sakit.."

Kata pertama nya setelah melihat kaki Raga yang gemetar, bahkan untuk melihat apakah raut wajah Raga sudah berubah, Dito tidak mau.

Meski untuk melihat betapa terluka nya Raga yang melihat dirinya nyaris runtuh ini, Dito tidak sanggup. Dito sudah banyak melukai orang, dia sakit.

"Kenapa jadi gini sih, To..?" Lirih nya yang masih tetap berdiri tegak meski lututnya lemas bukan main.

Perjalanan dari Bandung ke Jakarta yang seharusnya memakan waktu kurang lebih 2 jam, malam itu entah di sengaja atau tidak Ayah menyetir seperti kesetanan. Membuat nya sampai 1 jam lebih awal, memberi nya ruang untuk berpikir dimana Dito berakhir untuk membuang rasa sakit nya.

Gedung terbengkalai di seberang kantor Om Sekala, tidak pernah ada di dalam pikiran Raga. Tetapi, hati nya secara spontan menyebutkan bahwa salah satu anak semesta, sekali lagi menjatuhkan dirinya sendiri malam ini disana.

Hi, Bye Papa! Where stories live. Discover now