Sesi 6

3 0 0
                                    

Pagi hari pukul 9 a.m. sebelum pertemuan Layfon dengan Ark.

Secarik kertas kecil yang telah dilipat dengan asal dipegang oleh Frejr. Kertas itu berwarna putih seperti kertas pada umumnya dan ada catatan singkat di atas kertas itu. Catatan itu juga ditulis dengan rapi menggunakan tinta terbaik, membuat tulisan tersebut mudah dibaca. Meski begitu, Frejr saling pandang dengan Layfon, keduanya sama-sama tidak yakin dengan informasi yang baru mereka baca.

"Kau yakin info yang didapatkan agen itu bisa dipercaya?" tanya Frejr penuh keraguan. "Aku yakin, Frejr. Dia salah satu agen terbaik dalam hal mengumpulkan informasi. Bahkan saat dia memberikan info ini kepada kita, aku melihat tangan kirinya patah sehingga perlu dibidai. Sepertinya keberadaan wanita ini cukup penting kalau sampai ada orang-orang seperti itu di sekitarnya," jawab Layfon dengan mantap. Di matanya masih ada keraguan atas informasi itu, namun dia tidak meragukan kredibilitas sang informan.

"Kalau soal catatan pribadinya, aku memang tak meragukannya. Yang jadi masalah adalah informasi ini sendiri. Bos akan memarahi kita kalau tahu informasi ini hanya gosip belaka," tukas Frejr. Kini dia mengacak-acak rambutnya dengan tangan kirinya.

Layfon menghela napas. Pemimpinnya memang bukan orang yang toleran dengan kesalahan informasi. Hal itu bisa dimengerti karena jika info itu diberikan pada mereka yang mudah salah persepsi, hal itu bisa membahayakan mereka. Tetap saja, pada akhirnya kewaspadaan tetap menjadi pilihan terbaik untuk saat ini. "Masalah itu benar atau tidak bisa kita kesampingkan untuk saat ini. Yang jelas kita sedang berada jauh dari Italia. Kita harus tetap waspada walau bagaimanapun keadaannya," ujar Layfon kemudian.

Frejr mengangguk, setuju akan hal itu. Dia pun memutuskan untuk mencatat informasi meragukan itu pada kertas berisi informasi tentang Skadi. Diberinya garis bawah yang terang agar Agen Ark, pemimpinnya, tahu bahwa hal ini cukup penting. Frejr pasrah saja dengan kenyataan ini. Asal mereka tidak sampai dihukum mati, mereka masih bisa menelan kritik pedas atau hukuman lain yang akan diberikan pemimpinnya pada mereka. Dia tidak akan jadi salah satu agen CEDEF kalau untuk urusan konsekuensi seperti itu saja dia tidak bisa menerimanya.

Tetap saja, satu pertanyaan masih mengganggu di benaknya. Untuk apa orang sekelas menteri itu menyewa preman dan tukang pukul di dekat kediamannya?

~*~*~*~

"Ah, pagi hari yang indah!"

Satu pekan kemudian di hari Selasa, Charlie tiba di kampus pagi-pagi, tepat satu jam sebelum orang lain datang ke laboratorium. Suasana yang syahdu dan udara segar membuatnya termotivasi untuk bangun lebih pagi dari biasanya, karena itu pula dia juga langsung ke kampusnya lebih awal. Memang kalau dipikir, kasur di rumahnya masih lebih enak untuk ditidurinya beberapa lama lagi. Lagipula praktikum juga masih satu jam lagi. Namun toh Charlie memang seperti itu orangnya, dia selalu tak bisa menolak kedatangan pagi hari yang indah dan nyaman.

Sampai di laboratorium, dia melihat barang-barang yang ada di sekitarnya. Ada meja-meja panjang yang dilapisi kaca, kursi-kursi yang kurus namun panjang untuk diduduki para mahasiswa, alat-alat yang belum disiapkan di lemari khusus alat lab, dan dua ruangan kecil di dalam yang dapat digunakan asisten untuk istirahat atau mengurus tugas-tugasnya. Wastafel khusus laboratorium itu juga masih bersih dan kinclong, menandakan bahwa ruangan itu sudah dirapikan sebagaimana mestinya setelah ada yang memakai tempat itu.

Charlemagne mengingat bahwa dia perlu mengecek alat-alat yang nanti akan mereka butuhkan untuk praktikum. Dibukanya catatan yang dia tulis di bukunya, lalu dia baca satu per satu isinya. "Pipet tetes, erlenmeyer, lampu bunsen, tabung reaksi, pinset, ... Hmm lumayan banyak juga ya alat yang harus kita gunakan di praktikum ini," celetuknya. Saat dia hendak mengambil alat-alat tersebut, seseorang masuk ke dalam ruangannya, membuat Charlie terkejut dan waspada. Namun setelah melihat seorang pria dengan penampilan yang tidak asing, dia menghela napas lega. "Oh, kau sudah di sini ya?" Alaude, atau Profesor Zen, menyadari keberadaannya.

Penyatuan - AmalgamationWhere stories live. Discover now