Sesi 17

2 0 0
                                    

Peringatan: ada unsur kekerasan dan darah di salah satu bagian cerita.
___

Kegelapan menyelimuti segala sisi dermaga sepi itu. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, kecuali di ujung undakan kayu di mana lima orang pria terdiam. Satu dari mereka jatuh terduduk, tubuhnya penuh luka dan bersimbah darah. Empat orang lainnya berdiri di hadapannya, dengan hanya satu lentera yang menerangi mereka.

Pria yang berdiri di tengah, dengan tubuhnya yang besar, memandang rendah laki-laki yang terluka itu. Tak ada yang berani mengganggunya, meski hanya sepatah kata pun. Satu-satunya suara yang terdengar hanya erangan sakit orang malang itu.

Pria mengerikan itu mengambil pistol yang dia simpan di saku jasnya. Dia berjongkok dan mengarahkannya pistol itu ke dahi orang yang terluka. Hanya ada tatapan dingin di matanya, sedangkan mangsanya sendiri semakin ketakutan saat dia mendekat. "Kau sekarang tahu apa kesalahanmu?" tanyanya hampir berbisik.

Yang ditanyai menggeleng. "Tidak t-tuan. Sa-saya... hanya melakukan... pe-pe-"

"Jangan mengelak!" bentak pria besar itu. "Apapun yang kau katakan hanya kebohongan. Bosmu sendiri tidak menyuruhmu untuk melakukan apa-apa! Dan kau bilang kau tidak mencelakakan siapapun? Apa matamu buta?!"

"Tidak... sungguh, tu-tuan....," balas orang itu. Nasibnya benar-benar sudah diujung tanduk. Apa yang salah dari misinya sampai dia harus disiksa seperti ini?

Si pria besar kembali terdiam. Dia mendekatkan wajahnya ke hadapan lelaki lemah itu, memastikan bahwa orang rendahan itu bisa melihat wajahnya baik-baik. "Coba kau lihat sekali lagi, ke arah wajahku. Apa kau pernah melihat seseorang dengan warna mata sepertiku?" paksanya selagi tangannya mencengkram kerah baju lelaki itu.

Lawan bicaranya mau tak mau menuruti perkataannya. Meski bingung, dia mencoba untuk mengamati dengan saksama wajah pria besar itu. Saat dia menatap mata merahnya, lelaki lemah itu langsung bergetar ngeri. Dia menggelengkan kepalanya tak percaya. "Tidak, saya ti-tidak sengaja. Tidak mungkin-"

Si pria besar mendorongnya sampai terjatuh tersungkur. Kesabarannya sudah habis hanya untuk mendengar ucapan itu. "Ya. Kau sudah membahayakan nyawa putriku. Aku tak peduli siapa yang memberimu perintah. Hari ini, kau harus mati," putusnya dengan amarah yang membara.

Lelaki lemah itu tidak bisa melawan. Semua tenaganya sudah habis sekadar untuk tetap bernapas. Kepalanya tidak menyentuh undakan kayu itu; yang ada di bawahnya hanya air laun dingin yang tak lama lagi akan menenggelamkannya. Namun sebelum itu, dia menatap salah satu pria yang masih bergeming, berharap orang itu akan menolongnya.

Naas, sama seperti yang lainnya, pria itu tidak menunjukkan reaksi apapun untuk menghentikan aksi pria besar itu. Lelaki lemah itu tidak percaya. Di sisi lain, si pria besar kembali berdiri. Pistolnya masih teracung ke arah lelaki lemah itu. Tanpa ada gangguan lebih lanjut, dia menarik pelatuknya dan suara tembakan terdengar hingga jauh. Sebuah peluru meluncur menembus kening sasarannya, dan lelaki lemah itu tak lagi bergerak.

Pria besar itu mundur, lalu menyuruh salah satu bawahannya untuk menenggelamkan mayat lelaki itu ke laut. Bawahannya mengangguk dan melakukan semuanya sesuai perintah bosnya. Sambil menunggu dua orang itu membereskan sisa-sisa bukti, si pria besar dengan satu orang lain berjalan ke arah kereta kuda yang menunggu agak jauh. Dia mengambil cerutunya dan menyalakannya dengan korek api.

Dia berujar, "Itu tadi hanya pertunjukan kecil. Aku tak ragu bisnismu itu menjanjikan, tapi jika ada yang melanggar aturanku, entah kau atau bawahanmu sendiri, kau akan melihat kejadian barusan terulang lagi suatu saat nanti."

Pria muda itu mengangguk. "Aku mengerti," tanggapnya.

Saat mereka sudah sampai di dekat kereta kuda itu, sang kusir membukakan pintu untuk mereka dan membiarkan pria besar itu untuk masuk lebih dahulu. Selagi keduanya duduk dan pergi dari lokasi sebelumnya, pria muda itu menelan ludah diam-diam.

Penyatuan - AmalgamationWhere stories live. Discover now