Sesi 19

1 0 0
                                    

Layaknya hari-hari biasa, orang-orang berlalu-lalang sesuka hati mereka. Mereka pergi ke berbagai tempat dan melakukan hal yang perlu atau ingin mereka lakukan. Kalau kantin ramai di jam makan siang ini, itu adalah hal yang tidak biasa. Namun wajah bengong empat orang laki-laki di sana tampak aneh dan menggelitik rasa penasaran orang. Satu-satunya alasan orang lain tidak mendekati mereka adalah karena mereka menghargai privasi empat laki-laki itu.

"Wow, tadi itu keren sekali."

"Apa yang keren?"

"Kak Skadi menampar dosen kita tanpa ragu. Dosen kita loh. Kau tahu kan seberapa terkenalnya beliau di antara para mahasiswi?"

Mandricardo memikirkan ucapan Roland tersebut. "Hmm, oke."

Kira-kira itulah sedikit percakapan yang terlempar di antara mereka. Setelah itu, mereka kembali bengong. Masih tercengang dengan peristiwa penamparan tersebut yang terjadi begitu saja. Tapi sebenarnya mana yang lebih membuat mereka tercengang: Skadi yang menampar Profesor Zen, atau ciuman tak sengaja di antara mereka? Yang manapun itu sama-sama bukan pemandangan biasa di hari cerah yang biasa.

Lelaki Inggris berambut pirang itu masih tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka lihat, tapi kata-kata Roland tadi mengusik perasaan Mordred. "Aku setuju denganmu, tapi omonganmu itu sungguh tak tahu malu. Kau yang menabrak Pak Zen dan kau tidak merasa bersalah dengan akibatnya?" todong Mordred.

"Eh, benar juga ya. Hehehe....," Roland baru menyadari kelancangannya. Dia menelan ludah saat Mordred memelototinya cukup lama. Mandricardo kasihan dengan temannya yang satu itu, tapi dia tidak berniat untuk mengganggu Mordred dan membuat asisten satu ini bertambah kesal.

Charlemagne, seperti yang sudah-sudah, melerai mereka dengan memberikan pendapatnya. "Yah mengesampingkan soal apa respon para mahasiswi nanti dan juga Pak Zen yang kena tampar, aku rasa Nona Skadi akan merasa sedikit tidak nyaman setelah ini," ujarnya.

"Ya, benar." Mordred berhenti sejenak. "Lalu?"

"Lalu?" Charlie mengangkat alisnya.

"Biasanya kamu akan memberi saran atau solusi setelah bicara begitu. Apakah kau belum ada ide?"

"Oh iya, benar juga. Mungkin aku belum punya." Charlie meringis dan menggaruk kepalanya.

Mordred hanya manyun dan menoleh ke arah lain. Matanya ia edarkan ke arah para pengunjung kantin lainnya, seolah-olah dia hanya peduli dengan mereka. Namun sudut mata Mordred menangkap perubahan pada raut wajah Charlemagne, yang meski tampak sama seperti sebelumnya, senyumnya tidak sampai ke matanya.

Hmm, aku tidak mau ikut campur soal ini, pikir Mordred. Dia sendiri sudah punya masalah dalam mengendalikan perilakunya, menambahkan isi pikirannya dengan urusan orang lain hanya akan membuatnya semakin pusing.

Di sisi lain, Skadi yang masih kesal berjalan semakin jauh tanpa melihat ke arah mana dia melangkah. Ke manapun, asal bukan kembali ke taman tadi ataupun ke arah sang profesor lagi. Kedua tangannya mengepal kuat menahan kekesalannya, sedangkan wajahnya memerah, entah masih kesal atau sangat malu.

"Bisa-bisanya?" Skadi bertanya-tanya. "Aku kira dia akan berbeda dari lelaki lain, ternyata dia lebih parah dari mereka!" gerutunya. Bibirnya mengatup rapat, tapi siapapun yang mengenal Skadi akan segera tahu kalau dia saat ini juga sedang menggertakkan gigi-giginya.

Langkah kaki Skadi begitu cepat sampai orang yang mengikutinya dari belakang kesulitan menyusulnya. Ah bukan, Alaude hanya mencoba untuk tidak tampak seperti penguntit yang obsesif. Dia bisa langsung mengejar Skadi dan berhadapan dengannya saat ini, tapi itu hanya akan membuat wanita itu semakin menghindar darinya dan itu bisa membuat rencana B-nya gagal. Itu bukanlah hal yang diharapkan Alaude, apalagi setelah semua anggotanya berjuang keras dalam misi yang sama.

Penyatuan - AmalgamationDonde viven las historias. Descúbrelo ahora