Sesi 11

1 0 0
                                    

"Eh?" tanggap Skadi.

Keduanya saling bertatapan dengan isi kepala yang masing-masing berbeda. Alaude menahan dirinya untuk tidak meneguk ludah, sementara Skadi masih terdiam, kaget dengan kedatangan atasannya yang begitu mendadak. Satu-satunya yang muncul di benaknya adalah Kenapa beliau ada di sini?

Profesor Zen menyadari tatapan dari pengunjung perpustakaan yang lain. Dia pun segera meletakkan kedua cangkir kopi itu di tengah meja yang masih kosong dan memegangi punggung salah satu kursi. Alaude berdehem. "Apakah aku boleh duduk di sini?" tanyanya. Skadi kembali sadar. "Oh iya, tentu saja pak," dia mempersilakan beliau. Dengan izin itu, si 'profesor' pun menarik kursinya dan duduk berhadapan dengan wanita muda itu.

Tanpa ada yang saling berbicara, keduanya terdiam. Skadi mencoba untuk kembali fokus membaca bukunya. Dia hanya mampu melakukannya selama dua menit. Keberadaan Alaude membuatnya merasakan berbagai hal, mulai dari curiga, malu, hingga takut. Sedangkan Alaude sendiri, masih dengan seulas senyum grogi, berusaha untuk tetap tenang. Dia sudah memulai misi ini, maka dia juga akan menyelesaikannya.

Satu-satunya hal yang membuat mereka bisa sedikit tenang adalah aroma kopi yang menguar dari kedua cangkir kecil yang Alaude bawa. Skadi mendongak, tertarik dengan aroma kopi yang enak itu. Dia menoleh ke Alaude, kedua matanya berbinar dan bibirnya seolah ingin mengatakan sesuatu. Pria itu mendahuluinya sebelum Skadi sempat bertanya. "Minumlah, itu untukmu," ujarnya tenang.

Skadi mengangguk antusias. "Terima kasih, Pak," balasnya.

Wanita dari Jotunheimen itu mengambil kopinya pelan-pelan. Empat jari tangan kanannya memegang erat-erat pegangan cangkir itu, selagi dia mendekatkan cangkir kopi tersebut ke bibirnya. Hmm, aroma kopi ini nikmat! Dia pun menyeruput kopinya pelan-pelan, dan binar matanya kembali, kali ini lebih cerah dibandingkan sebelumnya. Dalam pikirannya, Alaude tersenyum. Ya sudahlah, biar dia tenang dulu. Aku tidak boleh buru-buru kalau soal pendekatan seperti ini, pikirnya.

Mata Alaude kini kembali ke tumpukan kertas yang tadi dia lihat. Dia mencoba untuk memancing pembicaraan dari hal yang paling kentara dahulu. "Boleh tau apa yang sedang kamu kerjakan?" tanya pria pirang itu.

"Oh, ini ada sedikit laporan yang aku kerjakan. Belum separuhnya sih, tapi aku tidak bisa berhenti membaca buku ini," Skadi menjawab malu-malu.

"Apakah ini laporan praktikum mahasiswaku?"

Skadi tersenyum. "Tentu saja, siapa lagi?"

Profesor Zen mengangguk. Sekarang dia melihat buku-buku tebal di meja itu yang sampulnya masih bagus. Dia bertanya, "Dan buku yang kamu baca, apakah itu buku baru?"

"Bukan, Tuan. Ini buku tentang ilmu kimia. Aku senang membacanya karena cara buku ini menyampaikan ilmu-ilmunya berbeda dengan buku lainnya," tanggap Skadi.

"Apa yang berbeda di dalam buku itu?"

Skadi berpikir sejenak sebelum berbicara. Dia mengelus halaman yang sedang dibacanya dengan pelan. "Aku malu juga sih mengatakannya, tapi buku ini lebih membahas konsep filosofis dari ilmu kimia. Mengenai kenapa semua makhluk hidup tidak ada yang terlepas dari ilmu kimia, dan bahwa kita pun bagian dari ilmu tersebut. Mungkin ini agak aneh, tapi isi buku ini memberikanku lebih banyak pemahaman atas pelajaran kimia ketimbang buku-buku lain yang lebih mengutamakan cara penghitungan perubahan zat kimia dan rumus-rumusnya," jelasnya panjang lebar.

"Jadi meski ini bukan bidang yang kamu ketahui dari dulu, asal kamu memahami filosofi di baliknya kamu bisa belajar lebih dalam tentang kimia?" tanya Alaude. Dia makin tertarik sekarang.

"Bukan hanya kimia, Pak," sanggah Skadi. "Dulu saat saya belajar fisika pun saya juga belajar dengan metode seperti ini. Jadi mau seperti apapun bentuk rumusnya, asalkan aku paham dengan makna hukum-hukumnya aku bisa menyelesaikan masalah di pelajaran itu dengan mudah."

Penyatuan - AmalgamationWhere stories live. Discover now