Chapter 9

1 1 0
                                    

Aku berjalan sendirian melewati kelas C. Tak kusangka anak kelas C sangat akrab dengan anak kelas B. Bahkan di saat piket seperti ini mereka masih sempat bergosip.

“Kasihan sekali dia, Manato pasti sangat frustasi setelah ini..”
“Kalau kutebak, dia tidak akan masuk kelas dalam waktu yang lama!”

Ah, ternyata mereka sedang menceritakan Manato. Ya, pasti dia sangat sedih sekali karena pacarnya mendapat kecelakaan.

Aku berjalan lagi menyusuri koridor, sekarang sudah melewati kelas A. Berbeda dengan anak kelas B dan C, anak kelas A rupanya sudah selesai bersih-bersih. Mereka sudah siap dengan tas di pundak dan bergegas ke tempat penyimpanan sepatu.

Kulihat ke depan, di sebelah belokan menuju halaman belakang. Sakura berdiri sendirian tepat di depan papan pengumuman sekolah. Perlahan gadis itu menyunggingkan senyum, lalu tertawa pelan. Sedetik kemudian, ia menyadari kehadiranku dan menoleh.

“Achan, kau sudah tahu hal ini?” sapanya masih sambil tersenyum.

Aku mengerling bingung, apa yang sedang dibicarakannya? Aku pun berjalan mendekatinya. Kulihat apa yang barusan dilihatnya di papan itu.
“Apa yang kau rasakan? Kau senang dengan kabar ini?”

Sakura mendesis tepat di telingaku. Ia kembali tertawa, namun tawanya itu malah menciptakan satu rasa sakit bagiku. Ini karena apa yang tertempel di papan itu? Kenapa dia bisa tertawa seperti itu?

Tiba-tiba saja, seluruh tubuhku mengeras. Nyeri mulai bergelayut di sekujur tubuhku. Apa yang kulihat ini? Ini tidak boleh terjadi!
Lalu bagaimana dengan Manato?

***

“Achan, kau ini kenapa? Berhentilah menangis seperti itu..”

Sejak tadi, Shoji terus menyuruhku berhenti menangis. Aku juga mau melakukan itu. Tapi bagaimana? Dengan membayangkannya saja air mataku tak mau berhenti mengalir.

“Achan, ceritakan saja padaku. Apa yang terjadi?”

Nanae tetap mengayuh sepedanya tepat di sampingku. Ia terus melihat ke arahku sesekali. Aku tahu dia pasti bingung. Tapi bagaimana aku menceritakannya? Harus mulai dari mana? Sesungguhnya sangat tidak perlu aku menangis seperti ini, tapi..

“Achan, ada apa?” Kali ini, Nanae menepuk-nepuk bahuku pelan.
Aku masih menatap lurus ke depan. Malu rasanya menoleh dengan pipi yang sudah basah seperti ini. Sesekali kuseka air mata dengan lengan kanan. Perlahan kepalaku mulai terasa pusing.

Apa boleh buat, harus kutahan saja sampai tiba di rumah. Rasanya, aku ingin segera tiba di kamar dan membenamkan tubuhku dalam-dalam di bathup.

Sejenak, kuhentikan laju sepedaku dan menatap langit. Aku ingin senja yang keemasan ini segera berubah jadi gelap. Dan membuat Manato segera tertidur di sana. Bermimpilah yang indah segera, lupakan apa yang terjadi untuk sejenak.

Tetaplah tegar, kumohon tetaplah tegar. Setelah ini, apa yang bisa kulakukan untukmu? Sesungguhnya aku sangat ingin melakukan sesuatu untukmu, Manato Matsuzaka..

***

Istirahat sejenak, menunggu Okita Sensei datang ke kelas ini dan segera mengubah suasana gaduh jadi sunyi. Tidak seperti biasa, semangatku hilang total hari ini. Aku tidak memanfaatkan momen singkat ini untuk bercanda dengan Shoji dan Nanae lagi. Ada hal lain, merindukan senyuman Manato.

Kami-sama, apa dia masih bisa tersenyum lagi? Kenapa terlalu cepat kau mengambil Hotaru darinya? Kenapa tidak menunggu nanti setelah dia sudah beranak-cucu saja?

Ah, aku ini bodoh sekali. Begini tidak akan bisa mengubah apa yang sudah ditakdirkan.

Mataku bergerak menyapu seluruh kelas. Kudongakkan kepala. Kali ini pandanganku tertuju pada pintu yang terbuka. Ah, lama sekali Okita Sensei! Eh, sebentar, siapa itu yang barusan lewat? Tanpa sadar, kakiku langsung bergerak. Sedikit berlari menuju pintu.
Manato..?!

***

Ini waktunya makan siang, ya aku tahu itu. Kali ini aku bukan meniru anak kelas A atau kelas B yang lebih suka menghabiskan waktu makan siang ini di toshoshitsu. Ya, ada hal lain yang membuat kakiku bergerak mantap ini.
Aku harus ke sana. Aku yakin sekali Manato ada di sana!

Perlahan kudorong pintu tua yang nampaknya rusak itu. Menimbulkan bunyi berdecit memekakkan telinga. Akhirnya aku tiba di sini. Di atap gedung sekolah, setelah berlarian menaiki tangga. Kulangkahkan kaki perlahan menapaki lantai yang hanya berlapiskan semen itu.

“Siapa di sana?”

Suara Manato terdengar lirih. Pemuda itu berbaring di ujung sana. Apa yang sedang ia lakukan? Mencoba untuk tidur?

Perlahan, kepala Manato bergerak. Ia menoleh ke arahku. Membuat rasa takut seketika menyergapku. Bingung. Haruskah aku menyapanya? Kalau iya, apa yang harus kukatakan?

Aku terhenyak memandangi sosok itu. Ia tersenyum. Matanya nampak teduh. Menutupi kesepian yang ia rasakan. Ya, ia sendirian kali ini. Menatapi langit di atas sana yang membiru berkilauan. Menikmati belaian angin. Menerpa hangatnya mentari.

“Ma..Matzuka-sama..” Bibirku perlahan bergerak.

“Kau lagi? Tolong jangan berteriak. Aku sedang mencoba untuk tidur..” sahutnya pelan sambil kemudian kembali memejamkan mata.

“Eh..aku, aku tidak bermaksud untuk berteriak di sini..”

Ah, ternyata pertemuan pertama itu tidak terlupakan olehnya. Lantas, bagaimana aku harus menyembunyikan senyum yang tiba-tiba mengembang ini? Pipiku juga mulai terasa panas.

“Aku tahu. Kau ini juga seseorang yang sedang merasakan kesepian ya? Tapi maaf, tempat ini sudah lama jadi milikku..” ujar Manato sambil kembali membuka mata dan mengedarkan pandangan ke langit.

Pemuda ini nampak pintar menutupi perasaannya. Bahkan ia seperti tak merasakan sakit sama sekali. Padahal tangannya menyentuh langsung ke lantai yang panas, jadi bantal untuk kepalanya.

Entahlah, aku rasa, aku ingin berlama-lama lagi berada di sisinya. Biarlah kuberanikan saja derapan jantung ini terus bergejolak melawan rasa takut. Perlahan, kugerakkan lagi kaki. Berjalan lebih mendekat ke arahnya.

Kuposisikan dudukku di samping kanannya. Tak bisa kupungkiri rasa takut untuk menatap wajahnya dari dekat sangatlah kuat. Karena itu, aku lebih memilih untuk menatap langit. Dan menikmati perlahan kebersamaanku dengannya.

“Aku belum tahu namamu, ayo sebutkan saja!”

Untuk kesekian, ia membuatku senyumku kembali mengembang. Kami-sama, betapa bahagianya perasaan ini. Akhirnya ia ingin berkenalan denganku.

“Namaku Hirose Ayaka,” ucapku pelan.

“Ohh.. Achan, kenapa kau sudah tahu namaku?”
“Eh..?”

***

Bersambung ke Chapter 10

Sayonara, SkyWhere stories live. Discover now