Chapter 17

1 1 0
                                    

Manato tertawa. “Achan, aku tahu kalau kau tinggal di sini sudah sejak lama. Sejak kita masih di sekolah dasar,” cetusnya kemudian yang langsung membuatku mendongak kaget.

“Apa katamu barusan?!” pekikku tak percaya sambil membelalakkan mata lebar-lebar menatapnya. Ia malah tertawa lagi.

“Dulu ketika pulang sekolah, aku yang pulang melewati sekolahmu melihatmu dijemput oleh ibumu,” lanjutnya dengan mata menerawang. Dilihat dari cara bicaranya, pemuda itu nampak antusias.

“Aku mengenal ibumu yang bersahabat baik dengan ayahku. Karena itu tanpa pikir panjang, aku langsung mengikuti mobil yang membawa kalian menuju rumah dengan mengayuh sepeda sekuat tenaga. Otou-san yang sibuk bekerja tak pernah menjemput ke sekolah jadi aku pulang sendirian..”

Mendengar ceritanya itu, aku jadi membayangkan kejadian itu sendiri dengan imajinasiku. Sungguh tidak bisa dipercaya. Rupanya malah Manato yang pertama kali melihatku, bukan aku. Dan itu sudah sangat lama?

“Lalu, hampir setiap hari aku memperhatikan Achan kecil yang sedang menunggu jemputan ibunya di sekolah. Namun kemudian, saat masuk SMP, ternyata sekolah kita sangat berjauhan dan tanpa disadari aku benci tidak bisa melihatmu lagi. Karena itu setiap ibumu berkunjung ke rumah, aku selalu menanyai kabarmu. Hingga akhirnya kita masuk ke SMU yang sama.”

Tidak bisa dipercaya. Kami-sama, ini sungguh-sungguh mengagetkan. Saking bahagianya aku malah tersenyum-senyum sendiri dan tak lepas menatap matanya. Tatapan yang begitu hangat dan sorotan mata yang teduh itu. Apa pemiliknya juga merasakan hal yang sama yang sudah aku pendam sejak lama?

“Achan, kau tidak sadar kenapa saat kau datang tiba-tiba ke atap, waktu itu aku menanyai namamu. Dan setelah kau ucapkan namamu, aku malah langsung memanggilmu dengan sebutan ‘Achan’. Padahal ada panggilan lain yang lebih umum digunakan untuk ‘Ayaka’ bukan?”

“A…Aya-chan..?” desisku pelan.
Manato mengangguk mantap. “Karena itu, aku gemas sekali dengan kebodohanmu. Kau tidak sadar sama sekali kalau aku sudah tahu siapa kau sebelum kau ucapkan sendiri namamu,” lanjutnya yang kemudian memegang cangkir tehnya. Meniup pelan lalu mencacapnya.

Ah, dia benar. Sepertinya tidak ada yang harus aku ragukan dari pengakuannya barusan. Bahwa ia sudah lama memperhatikanku. Tapi, tanya besar yang ada di kepalaku adalah, apakah benar ibuku tipe orang yang suka mengunjungi rumah orang lain seperti katanya?

“Okaa-san tidak pernah menceritakan aku dan Otou-san padamu?”
“Okaa-san?” tekanku heran sambil membelalakkan mata lebar-lebar dan menatapnya penuh tanya.

“Maksudku, ibumu tidak pernah menceritakan tentang aku dan ayahku kepadamu?” ulang Manato untuk memperjelas pertanyaan yang sempat membuatku bingung.
Aku hanya menjawab dengan gelengan pelan.

“Oh, sudah kuduga akan seperti itu..” ucap pemuda itu datar. Sambil meletakkan kembali cangkirnya ke atas tatakan.

Ekspresinya yang sekarang sulit ditebak. Ada sedikit guratan kekecewaan di sana. Tapi juga nampak sedikit kaget. Namun malah tampak sudah memprediksi apa yang akan kujawab. Sepertinya, ada sesuatu yang aneh yang ia tutupi dariku. Tapi apa itu?

***

“Ah, kau bohong!”
“Tidak, aku serius!”

Tiada hari tanpa pertengkaran konyol. Bukan aku dan Shoji namanya kalau satu hari saja tidak mengalami yang namanya perbedaan pendapat dan perang mulut.

Kali ini, aku ngotot mati-matian agar pemuda itu mempercayai ceritaku. Aku tidak biasa memendam begitu saja apa yang sedang aku alami. Karena itu aku putuskan untuk membagi kisah semalam dengan Shoji Suzuki.

Yang membuatku malas adalah harus benar-benar meyakinkannya karena ia mengira aku hanya membual. Dia menganggap kejadian itu hanya mimpi seperti yang kemarin aku ceritakan padanya.

“Dia benar-benar datang ke rumah. Dia menjengukku yang sedang sakit. Itu pertanda ia juga memperhatikanku!” teriakku sambil mengayuh sepeda dengan kuat. Mengejar Shoji. Rasanya sebal sekali melihatnya tak mau menoleh. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala di atas sepedanya.

“Apa seharusnya tadi malam aku meneleponmu saja agar kau datang dan melihat sendiri kalau dia benar-benar ada?!” tanyaku ketus. “Ataukah aku harus mendokumentasikannya dengan membuat video?!” Kali ini aku tepat berada di samping Shoji. Kuperhatikan wajahnya dengan penuh emosi.

Perlahan, Shoji dengan matanya yang menyipit menoleh ke arahku. “Baiklah, aku sedang berusaha untuk percaya. Lalu apa saja yang pecundang itu lakukan di rumahmu?” cetusnya sambil menaikkan alis.

“Kau ini. Dia itu bukan pecundang!” pekikku malas.

“Baiklah, baiklah. Sekarang kau ceritakan saja dengan tenang. Oke?!”
Mendengar kata-katanya itu, aku langsung tersenyum penuh kemenangan. Setelah menghirup udara pagi yang sejuk lalu menghembuskannya lagi dengan penuh rasa lega, aku pun melanjutkan cerita.

“Dia bilang padaku kalau sudah mengenalku sejak kecil. Padahal aku tidak menyadarinya sama sekali kalau dia sering menguntitku setiap pulang sekolah!” celotehku antusias. Ada rasa bahagia yang bergelora di dalam dada ketika mengucapkan kalimat itu.
Shoji masih menatapku dengan tidak percaya.

“Okaa-san sering datang ke rumahnya karena orang tua kami saling kenal. Makanya ia tahu namaku dan mengenalku sebagai anak Okaa-san..”
“Oh, ya? Setahuku ibumu itu bukan tipe orang yang suka bersosialisasi..” Shoji buru-buru menimpali.

“Itu kan menurutmu. Lalu bagaimana dengan kenyataan kalau Okaa-san setiap hari menghabiskan waktunya di luar? Menurutmu beliau pergi ke mana kalau bukan menemui atau pergi bersama temannya?”

“Ah, baiklah, baiklah. Aku berkomentar apa pun juga kau tak akan mengiyakan. Karena yang kau percaya hanya cerita dari orang yang kau sukai!” cetus Shoji sambil mempercepat laju sepedanya lagi dan meninggalkanku di belakang.

Aku langsung mengejar dan mengambil posisi tepat di sampingnya. “Sudahlah. Dengarkan saja dulu ceritaku dan jangan marah tak jelas seperti itu!” teriakku.

“Baiklah, baiklah. Kau bicara saja sesukamu. Toh suaramu juga sangat nyaring dan telinga, masih bisa kudengar dengan jelas!” sahutnya yang langsung membuatku mencoba menoyor kepalanya. Namun langsung ditepisnya dengan cepat.

“Aku mau mendengar pendapatmu. Menurutmu apakah mungkin Manato juga menyimpan perasaan yang sama denganku?” tanyaku dengan mata berbinar-binar dan seringaian lebar.

***

Bersambung ke Chapter 18

Sayonara, SkyWhere stories live. Discover now