Chapter 10

1 1 0
                                    

Wah, gawat kalau sudah begini. Dengan menyebutkan namanya tadi, ketahuan sekali kalau aku ini sudah mencari tahu siapa dia sebenarnya. Ah, ini sangat memalukan. Pemuda itu kini tertawa terbahak-bahak.

“Sudah, tak apa. Mengakulah kalau kau ini sebenarnya adalah fansku!” serunya sambil memukul-mukulkan tangan ke lantai dengan heboh. Sekarang dia sudah duduk, bukan berbaring lagi.

“Katakan, sudah sejak kapan kau memperhatikanku? Sejak kita bertemu di sini waktu itu?” Kali ini matanya bergerak menatapku lekat-lekat. Membuat jantungku seolah mau meledak saja.

“Eh, tunggu sebentar. Kenapa kau jadi begitu pedenya begini?!” Nah, akhirnya keberanianku untuk menatap ke dalam matanya muncul juga.

“Kau tahu pacarku sudah meninggal, jadi kau sengaja datang ke sini untuk menghiburku. Begitu kan?” duganya yang tentu saja tepat sasaran.

“Enak saja. Tadinya kupikir kau sedang menangis sendirian di dalam kamarmu, makanya aku ke sini untuk kembali berteriak. Aku juga sedang frustasi!” pekikku sambil meletakkan kedua tangan di pinggang. Tentu saja aku sedang berdusta. Tapi, yang benar saja? Ia malah tak berhenti menertawakanku?

Aku tidak pernah meramalkan akan begitu jadinya. Hari itu, untuk pertama kalinya, kami menghabiskan waktu istirahat makan siang berdua. Dengannya, aku merasa seperti sedang bercanda dengan Shoji saja.

***

Angin melambai-lambaikan rokku perlahan. Kugerakkan kaki, mengayuh sepeda dengan riang. Sambil bersiul, kupandangi rumput-rumput yang menari pelan di pinggiran jalan. Mereka seperti tahu saja isi hatiku sekarang. Ya, aku bahagia sekali. Hari ini untuk pertama kalinya aku berada di sisi Manato. Bahkan sangat dekat!

Nanae perlahan mengejar sampai kini dia dan sepedanya berada di sisi kananku. “Oi, Achan, kau terlihat senang sekali sejak selesai jam makan siang tadi?” cecarnya sambil menatapku menyelidik.

Aku hanya menjawab dengan senyum lebar dan gelengan pelan.

“Ah, kau ini. Mulai main rahasia-rahasiaan denganku ya!” Nanae mendecis malas, lalu dijalankan sepedanya mendahuluiku.

Kini giliran Shoji menjajari sepedaku. “Kau tadi ke mana saja, tiba-tiba menghilang seperti itu?” Dia mencecarku dengan pertanyaan yang juga bermaksud menginterogasi.

Untuk kali ini, aku menguatkan suara siul. Tanpa sadar, burung-burung yang terbang di atasku langsung kabur menuju pohon di seberang sana. Hahaha.

“Apa yang membuatmu pelit seperti ini?!” lanjut Shoji. Malah sekarang nampak memarahiku. “Apa kau tadi ketemuan dengan cowok yang kau sukai itu? Makan satu kotak bento berdua dengannya, begitu?!”

“Hei, santai saja. Tidak perlu membentakku seperti itu!” cetusku kesal. Hahhh.. Benar-benar kalau sudah berdebat dengannya aku selalu terbawa emosi!

“Aku tidak membentakmu. Aku kesal karena kau jadi menyebalkan seperti ini!” jawab Shoji sambil kemudian mengalihkan pandangan dariku. Ia mendengus keras tanda kesal.

“Aku memang menyebalkan, hah. Memangnya kenapa?!” Lantas kutabrakkan sepedaku ke sepedanya. Kemudian ia langsung membalas tak mau kalah.

“Oi, oi, sudahlah. Kalian bukan anak kecil lagi!”

Kulihat Nanae kini menghentikan laju sepedanya. Melihat ke arah kami dengan posisi sepeda yang melintang di tengah jalan. Hmm, mungkin saja langit juga malas melihat kami yang selalu heboh begini setiap pulang sekolah.

***

“Ohayou..!”

Begitu selesai memarkirkan sepeda, budaya saling sahut-sahutan salam kembali membahana. Pagi ini menyenangkan sekali. Matahari tidak terlalu terik seperti biasanya. Kali ini, aku hanya berangkat berdua dengan Nanae.

“Nee, aku akan menceritakan padamu rahasiaku yang kemarin!”
Mendengar seruanku, Nanae yang berjalan mendahului langsung menoleh. “Hah? Padahal sejak tadi aku sengaja tidak memaksamu untuk membahas mengenai itu lagi?” tanyanya heran dengan mata membulat.

“Gomen, kemarin aku tidak mau cerita karena kita sedang bersama Shoji,” jawabku sambil berjalan mengejar Nanae. Kuraih bahunya dan mulai kutepuk pelan. “Mungkin aku bisa gila kalau memendam hal ini sendirian!”
“Ceritakanlah. Apa itu?”

Nada suara Nanae terdengar dipenuhi dengan rasa ingin tahu. Membuatku semakin semangat untuk bercerita dengannya. Sambil berjalan pelan berdua menuju loker penyimpanan sepatu, aku mengatur emosiku. Mulai berpikir untuk memulai cerita dari mana.

“Sebenarnya, tebakan Shoji kemarin hanya melenceng sedikiiiiit saja..” kataku dengan pelan.

“Hah? Jadi benar kemarin kau bersama anak kelas B itu?!” Nanae terperanjat. Langkah kakinya berhenti sebentar. Matanya membuka lebar-lebar menatapku. Nampaknya ia sedang menganggapku berbohong.

“Ya, aku sengaja menemuinya di atap!” jawabku dengan semangat.
“Bukankah dia sedang berduka? Ternyata dia masih mau masuk sekolah bukannya mengurung diri di kamar untuk beberapa waktu?”

Akhirnya, kami tiba di loker sekarang. Kami pun langsung membuka loker masing-masing dan mengambil uwabaki.

“Awalnya kupikir juga begitu. Tapi, nyatanya dia lelaki yang kuat,” ujarku sambil meraih uwabaki dari dalam loker. “Dia masih bisa tersenyum di atas kesedihan. Bukankah itu keren sekali?” Kali ini, bayangan wajah Manato yang sedang tersenyum menari-nari di kepalaku.

“Lalu, apa yang terjadi dengan kalian di atas sana? Bukankah kalian belum saling kenal?” Nanae menatapku sambil memasang uwabaki miliknya.

Aku diam sejenak. Menikmati irama denyutan jantung yang mulai bergejolak. Aku memikirkannya lagi. Bayangan bahwa nantinya hubunganku dengan Manato akan semakin baik. Aku kembali berdoa agar itu bisa menjadi kenyataan.

Kumasukkan sepatu rumahku ke dalam loker, lalu menutup pintunya dengan pelan. Kurapikan uwabaki yang telah membalut kedua telapak kaki ini.

“Untuk pertama kalinya. Aku mengobrol lumayan banyak dengannya. Aku merasa, seperti kami sudah lama saling kenal..” kenangku sambil tersenyum.

***

Bersambung ke Chapter 11

Sayonara, SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang