Chapter 28

2 1 0
                                    

Ini giliranku piket kelas. Aku baru saja selesai membuang sampah ke halaman belakang. Berjalan gontai kembali ke kelas sambil menenteng tong sampah begitu sosok gadis berambut panjang bergelombang itu muncul di hadapanku.

Semakin dekat aku menatapnya, senyum gadis cantik itu makin jelas. Aku tidak tahu apa yang akan dikatakannya. Sungguh sulit bagiku untuk mengerti jalan pikirannya lagi, dan apa pun itu aku akan siap menerimanya.

“Achan..” desis gadis itu sambil membulatkan mata menatapku. “Kau pasti sangat membenciku atas semua kejadian yang pernah terjadi?”

Apa lagi ini, Sakura Tachikawa? Kau mau mengancamku seperti apa lagi? Dengan tatapan mata yang membuatku mendeskripsikannya sebagai tatapan sendu dan butuh untuk dikasihani itu, apa sebenarnya yang sedang kau rencanakan?

Perlahan, kedua lengan gadis itu bergerak ke arahku. Lalu, diraihnya kedua tanganku dan diremasnya pelan.
“Achan, aku sudah tahu semuanya dari Manato. Karena itu aku mohon kau mau memaafkan aku..”

Apa yang sedang dia bicarakan? Sampai dia memelukku dengan tiba-tiba, keherananku semakin bergejolak. Bukankah gadis ini sangat menakutkan? Mungkin ada sesuatu yang ia simpan di balik wajah sendu itu.

“Achan, kau harus kuat dengan apapun yang akan terjadi. Dan yakinlah, Manato sangat menyayangimu. Dia tidak akan sanggup melihatmu bersedih..”

“Kau sebenarnya sedang mengatakan apa?"

“Seandainya dari awal aku sudah diberitahu akan hal ini, aku pasti tidak akan memusuhimu seperti kemarin. Dan Manato, dia semakin bingung. Dia hanya tak tahu bagaimana harus mengatakan hal itu padamu..”

“Sakura, apa maksudmu?!”

Mungkin karena nada bicaraku yang semakin meninggi, Sakura akhirnya terdiam dan mulai melepaskan pelukannya dariku. Kutatap gadis itu penuh rasa benci. Kutatap lekat-lekat berharap segera tahu apa maksud dari kata-kata yang diucapkannya barusan. Tapi tetap saja, aku tidak mengerti.

“Katakan saja apa yang mau kau sampaikan. Tidak perlu bertele-tele seperti ini!” cetusku emosi.
Gadis itu nampak kaget. Namun, perlahan bibir yang nampak kaku itu mulai menyunggingkan senyum tipis.

“Achan, aku tahu kepercayaanmu padaku sudah menghilang. Karena itulah, aku akan berusaha kembali menjadi Sakura yang dulu. Sakura yang pantas untuk kau puji sesering dulu..”

Sakura Tachikawa. Gadis cantik itu mulai menitikkan air mata sambil menunduk di hadapanku. Ia seperti malu menunjukkan apa yang sesungguhnya ingin dikatakan. Tapi bisakah aku mempercayai tangisannya ini?

“Achan, aku ingin kita kembali seperti dulu. Maafkan aku..”

Perasaan aneh yang kini sedang kurasakan. Di satu sisi, aku sangat ingin mempercayai dan memaafkannya. Tapi di sisi lain, kecurigaanku memuncak. Hal pertama yang ia maksudkan dari kata-katanya adalah Manato, dan hal itulah yang akan membuatku semakin sensitif.

Aku tidak punya pilihan lain selain diam dan membiarkan tangisnya.

***

Aku lupa kapan memulai kebiasaan memasak sendiri dan membawa satu bento untuk berdua dengan Manato. Yang jelas inilah efek hebat dari rasa sukaku padanya. Aku berhasil mengalahkan rasa malas untuk bangun lebih awal dan memegang peralatan dapur.

Sampai-sampai suatu hari, Okaa-san menemukan masakanku di dapur. Ia memakannya. Ada perasaan puas ketika beliau memuji masakanku itu meskipun dengan kalimat yang sedikit sinis.

Hal luar biasa lain adalah aku berubah jadi gadis yang memperhatikan penampilan. Biasanya aku menghabiskan waktu di depan kaca agak lama hanya di pagi hari sebelum berangkat sekolah. Itu pun hanya untuk membuat satu kunciran tinggi di atas kepala. Tapi sekarang, aku selalu membawa cermin lipat di saku.

Aku lupa kapan tepatnya mulai meninggalkan kebiasaan cuek dengan penampilanku itu. Yang jelas sekarang aku selalu mengenakan setidaknya satu aksesoris di rambut dan memvariasikan kunciran. Aku sudah melupakan satu kunciran tinggi yang sudah menjadi ciri khasku sejak kecil.

“Achan, kau harus menambahkan lebih banyak kecap lagi lain kali,” komentar Manato di sela kunyahannya.

“Eh, kau tidak suka telurnya?” tanyaku yang langsung urung menyuapkan lagi potongan telur yang kujepit dengan sumpit padanya.

“Bukannya tidak suka. Aku cuma bilang kalau kau harusnya menambah kecap lagi,” jawab Manato sambil menggeleng pelan.

Ah, syukurlah! Wajahku yang baru saja cemberut langsung berubah senyum lagi. Kuanggukkan kepala berkali-kali dengan puas.

“Haik. Setidaknya kau tidak mengejeknya seperti kemarin kau mengejek takoyaki -ku!”

Manato langsung mendelik sebal sambil mencabut sumpit dari tanganku. “Kalau itu memang pantas diejek. Rasanya asin sekali sampai menusuk hidung!” pekiknya.

Aku pun tertawa sambil mencubit potongan telur dari kotak bento dan mengunyahnya pelan. Menyaksikan itu, Manato langsung mencubit lenganku.

“Dasar jorok. Jepit dengan sumpit, jangan pakai jarimu langsung!” celotehnya sambil menaikkan alis. Lama sekali ia baru melepaskan cubitannya padahal aku sudah mengaduh sekuat-kuatnya.

“Manato, kau benar-benar lelaki yang kejam. Lihat apa yang kau perbuat. Kau tega membuat lengan seorang gadis memerah seperti ini!” desisku sambil mengelus-elus lenganku dan menyodorkannya pada Manato. Cowok itu malah tertawa renyah.

“Makanya. Adik perempuan yang manis, jangan membuatku kesal dengan tingkahmu yang kekanakan itu!” seru Manato sambil bangkit dari duduknya. Dia berlari menuju pintu turun dan meninggalkanku.

“Hei, mau ke mana kau Manato Matsuzaka?!” teriakku nyaring sambil meletakkan kotak bento ke lantai semen itu.

“Dasar cerewet. Aku mau ke toilet sebentar!” sahut Manato yang sudah menghilang dari pandangan. Terdengar suara langkah kakinya menuruni anak tangga.

Baiklah, aku sendirian di atap ini sekarang. Mataku bergerak kesana-kemari sambil menghirup udara musim gugur. Suasana yang bagiku dipenuhi dengan bau dedaunan kering. Pandangan ini  terhenti pada sebuah buku yang tergeletak satu meter dari sisi kananku.

Cover buku milik Manato itu menggelitikku untuk mengambil dan melihat isinya. Aku pun menggeser posisi duduk dengan malas lalu meraih buku itu. Kuperhatikan sebentar covernya. Hanya buku tulis biasa. Baru saja mau kulihat isinya, tiupan angin langsung membuka lembaran-lembaran buku itu. Ada sesuatu yang terselip di dalamnya!

***

Bersambung ke Chapter 29

Sayonara, SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang