Chapter 18

1 1 0
                                    

Shoji langsung menghela napas berat. “Hah? Sepertinya kau sedang bahagia sekali?” cetusnya malas. “Kau lupa kalau dia sudah dimiliki gadis lain?”

Mataku langsung membelalak lebar-lebar. “Hotaru Yamada maksudmu? Dia kan sudah meninggal dalam kecelakaan?!” pekikku.

“Nah, itu lebih mengerikan lagi!” Shoji ikut memekik lalu lanjut tertawa seperti setan. “Dia mungkin akan menghantuimu setiap malam. Masuk ke dalam mimpimu dan membuat hidupmu tidak tenang!!!”

“Baka. Orang yang mati baik-baik tidak akan jadi hantu!”
“Apa mati karena kecelakaan bisa dikategorikan mati baik-baik? Bisa saja dia berubah jadi arwah penasaran. Dan karena kau sedang berusaha merebut pacarnya, dia akan menghantuimu juga!”
“Tidak mungkin…!!!”

Ah, baiklah. Gara-gara Shoji berpendapat macam-macam seperti itu, lebih baik kusimpan saja kelanjutan cerita yang belum selesai. Tak bisa kupungkiri kalau rasa takut muncul juga. Teringat Hotaru muncul di mimpiku waktu itu. Yang mengatakan bahwa aku tidak boleh mencintai Manato. Mungkin benar dia melarangku?

Akhirnya setelah membuat ribut di jalanan sampai-sampai banyak orang yang mendelik heran, kami pun tiba di sekolah dan langsung menuju tempat parkir sepeda. Seperti biasa, budaya sahut-sahutan salam meramaikan suasana pagi yang cerah di musim panas kali ini.

“Ohayou gozaimasu…!”

***

Bel tanda istirahat makan siang yang telah kutunggu-tunggu akhirnya berbunyi. Setelah Matsuya Sensei keluar dari kelas, aku langsung bangkit dari duduk dengan semangat. Ya, semangatku yang sejak tadi terus menipis, sekarang sudah terkumpul lagi!

“Achan semangat sekali?!” pekik Kaoru Kitagawa yang duduk di sebelah kananku yang membuatku langsung menoleh.

Ya ampun, aku baru menyadari kalau tanpa sadar tangan kanan ini mengacung ke atas seperti orang yang mau berdemo saja! Baiklah, harus langsung kusembunyikan ekspresi bodoh yang berlebihan  ini.

Kulihat sekeliling, semua teman mulai mendempetkan meja di sana-sini membentuk kelompok dan mengeluarkan bento masing-masing dengan ceria. Ah, aku langsung teringat Nachan yang biasanya menggeret meja sambil senyum lebar. Sekarang, Nachan memilih untuk menghabiskan makan siang sendirian dengan begitu tenang di mejanya.

“Achan, ayo bantu menghabiskan bento yang kubawa ini!” terdengar suara Shoji dan suara langkah kaki mendekat.
Aku langsung menyambar kotak bento di tangannya dengan cepat dan membawanya ke atas mejaku lalu duduk. Sementara Shoji lanjut mengubah arah kursi di depanku menjadi menghadap ke arahku.

“Aku bawakan banyak makanan untuk kita berdua!” Shoji berseru sambil mendaratkan pantatnya ke kursi.
“Itadakimasu!!!” teriakku.

Tanpa menatap Shoji sedikit pun, aku langsung membuka kain pembungkus kotak bento hitamnya. Lima kepalan onigiri langsung menyambut kedua mata ini seolah tersenyum. Eh? Kenapa onigiri?

“Kau tidak membawa nasi, sayur, dan lauk seperti biasanya?” tanyaku pelan sambil lanjut mengambil satu kepalan onigiri dan menggigit pinggirnya.

Shoji ikut mengambil satu kepalan dari kotak. Sambil menyeringai lebar dia pun berseru, “Aku baru menyadari kalau rasa onigiri lebih mengasyikkan dibanding nasi dan sayur!”

Aku langsung melempari pemuda itu dengan tatapan heran. “Komentar bodoh macam apa itu?” cetusku sambil kemudian berdiri dari kursi. “Bukankah kau selalu bilang kalau hanya ada rasa asin di dalam satu kepalan onigiri?”

“Kau mau ke mana?!”

“Kau bertanya seperti tidak tahu saja. Aku mau ke atap seperti biasa!” jawabku malas sambil berbalik. Mulai melangkahkan kaki menjauhinya.
“Dasar gadis yang tidak tahu sopan-santun. Aku membawakanmu makanan. Bahkan makanan kesukaanmu. Kau malah kabur begitu saja dan menemui pria lain?!” decis Shoji lumayan nyaring sambil menaikkan kedua alis.

Aku langsung tertawa geli mendengar ujung kalimatnya itu.
“Kau cocok sekali main dorama. Bahasamu benar-benar menggelikan!” seruku sambil berjalan menuju pintu. Kulambaikan kedua tangan begitu melihatnya sedang menatapku dengan begitu sebal.

Gomen, Shojiro. Aku sudah menunggu-nunggu waktunya bertemu Manato sejak tadi!

***

“Ogenki desuka?!”

Aku langsung berlari mendekati Manato yang tengah berbaring di pinggir sana. Kuposisikan dudukku tepat di sampingnya. Semakin hari, rasa grogi untuk berada di dekatnya perlahan hilang. Malah berganti rasa nyaman. Bahkan sangat nyaman.

Manato membuka mata perlahan. Mata itu menyipit sambil bergerak ke arahku. Kedua tangan yang menjadi bantalan untuk kepalanya bergeser pelan.
“Genki desu,”  jawabnya singkat.

“Apa tanganmu tidak perih menyentuh lantai semen yang panas ini? Seharusnya kau bawa buku untuk dijadikan bantal..” celotehku sambil tersenyum lebar padanya.

Pemuda itu hanya menjawab dengan tersenyum miring. Namun, perlahan dia mengangkat tubuh dan bergeser mendekatiku yang sedang duduk bersimpuh di sisi kanannya.

“Hei, mau apa kau? Hei.. hei?!”

Apa-apaan ini? Dia bergerak dengan santainya. Menidurkan kepalanya tepat di atas pangkuanku! Tentu saja mata ini lantas membelalak kaget. Rasanya barusan ada petir yang menyambarku hingga hangus!

“Apa yang kau lakukan?!” teriakku.
Spontan tangan ini bergerak dan mencoba menyingkirkan kepalanya dari pangkuanku. Tapi mataku masih terpana dengan cara mata yang sendu itu menatapku lekat-lekat. Benar-benar. Cowok ini bisa membuat siapa saja tergoda dengan mata itu.

“Achan, kau memiliki mata yang sama denganku..”
“Nani?!”

Ah, dia bilang apa barusan? Apa dia sedang memuji mataku?
Untuk sekian detik, rasanya waktu berhenti. Tidak ada suara lain yang terdengar selain suara degupan jantungku. Degupan yang begitu keras. Kami-sama, aku benar-benar sedang jatuh cinta pada orang ini.

“Mata dan tatapan itu, bahkan Hotaru tak memilikinya,” lanjut Manato pelan. Matanya tak lepas menatap ke dalam mataku.

Mataku mengerjap. Ada melodi yang indah mengalun di benakku. Terus kuperhatikan wajahnya sampai degupan jantung ini akhirnya memelan. Aku lupa segalanya kali ini. Menatap wajahnya saja, aku pasti bisa melupakan segalanya.

Kemudian, Manato kembali memejamkan mata. Ia menarik napas lalu menghembuskannya lagi dengan pelan. Tangannya bergerak. Langsung mencari dan meraih tanganku. Ketika berhasil menemukannya lantas digenggamnya dengan erat.

“Manato-kun..”

“Diamlah,” katanya yang langsung menghentikan bibir ini untuk kembali berucap, “diamlah saja dan temani aku di sini..”

Dia ingin aku membiarkannya tidur di pangkuanku? Apa yang ada dipikirkannya? Apa mungkin dia juga merasa nyaman berada di dekatku? Apa dia juga merasakan hal yang sama seperti yang sedang kurasakan?

***

Bersambung ke Chapter 19

Sayonara, SkyWhere stories live. Discover now