Chapter 22

2 1 0
                                    

Rasa putus asa meracuni pikiranku. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan sekarang. Semua panggilan tidak ada yang tersambung ke nomor yang seharusnya bisa membuatku bicara dengan Otou-san.

Aku menyesal baru mau bertindak sekarang ketika kabar seperti ini datang. Aku mengaku menyayangi Otou-san dan merindukannya, padahal  jarang menghubunginya. Hanya berharap Otou-san yang sibuk yang member kabar duluan.

Surat yang diterima Okaa-san bukanlah Otou-san yang mengirim. Tapi sahabat beliau yang tahu betul bagaimana keadaanya di sana yang ternyata sudah lama sakit-sakitan. Mungkin karena itu juga Otou-san jarang sekali pulang ke rumah. Jika beliau pulang, suasana rumah bisa jadi hanya akan memperburuk kondisi kesehatannya.

Otou-san, kami ini keluargamu. Kenapa kau memilih untuk tidak menceritakan mengenai kanker yang ada di tubuhmu? Apa maksudnya kau ingin membiarkan saja kondisimu semakin memburuk?

***

“Eh, ayahmu menderita kanker?!”
Aku hanya menanggapi ekspresi kaget Nanae dan Shoji hanya dengan anggukan pelan. Lalu menarik keluar uwabaki dari loker dengan tanpa semangat.

“Sudah berapa lama? Apa sudah ditangani dengan baik?”
Lagi-lagi, pertanyaan Nanae terdengar sangat cemas dan kaget. Malah menambah kekalutan di pikiranku. Setelah beberapa kali menghela napas, kugerakkan kembali bibir untuk berucap.

“Sayangnya, baik aku dan Okaa-san sangat kurang perhatian dengan Otou-san sendiri. Kami juga baru tahu hal ini dari sahabat Otou-san di sana yang juga mengenal baik Okaa-san..”
Setelah mengenakan uwabaki dan menutup kembali pintu loker, aku pun berbalik. Kembali berjalan bersama Nanae dan Shoji di kedua sisiku menuju kelas.

“Dilihat dari caramu menyampaikan, bisa kutebak sepertinya keadaan Oji-san  sudah parah ya?” tanya Shoji sambil menepuk bahuku pelan.

“Ichigo Fukada, sahabat Otou-san yang juga seorang dokter di Singapura. Ia bilang kalau kanker itu sudah lama berada di tubuh Otou-san. Tapi Otou-san seperti membiarkan saja kondisinya memburuk,” lanjutku.

Begitu kudongakkan kepala yang sedari tadi menunduk, Nanae sudah menatapku dengan penuh tanya. “Maksudnya?” desis gadis itu.

“Otou-san sudah lama tahu tentang kanker itu. Namun beliau tidak pernah menganggapnya seperti hal yang serius. Hingga seminggu yang lalu, ia harus dilarikan ke rumah sakit. Bahkan, Otou-san tidak pernah berniat memberitahu kami akan hal ini..”

Akhirnya, air mata ini tidak bisa kutahan lagi. Dada terasa sesak dan mulutku tak mampu berkata-kata lagi. Pikiranku dipenuhi oleh Otou-san. Bagaimana kondisi beliau sekarang?

Aku terus terbayang akan senyuman beliau. Juga kata-kata indahnya yang selalu bisa menenangkanku di saat menangis. Aku ingin sekali terbang ke Singapura dan menjenguknya. Aku sangat menyayanginya lebih dari apapun.

***

Setelah menghabiskan satu kepal onigiri dari Nanae dan seperempat dari bento yang dibawa Shoji, aku langsung bergegas menuju atap. Rasa tak sabar untuk segera bertemu dengannya sudah sangat menggebu-gebu. Dengan riang kutapaki anak tangga lalu mendorong pintu atap yang setengah terbuka.

“Konichiwa,  Manato-kun!” pekikku girang begitu kakiku menginjak lantai semen itu.

Manato membalikkan badan dan menatapku. Sampai tatapanku dan dia bertemu, senyum di wajahku masih mengembang lebar. Namun segera berganti denyutan perih begitu gadis yang berdiri di sampingnya ikut membalikkan badan.

Gadis itu tersenyum miring. Rambutnya yang panjang bergelombang bergerak pelan ditiup angin. Aku tahu tentu ada rasa puas tersembunyi di balik senyumnya yang bagiku terlihat sinis itu.

“Achan, lama tak bertemu. Ogenki desuka?!” seru gadis itu padaku dengan ramah. Sambil kemudian melambaikan tangan pelan.

Aku hanya bisa diam dengan bibir yang mulai kaku. Sakura Tachikawa, bagaimana pun anggapanku terhadapmu sudah tak seperti dulu lagi. Aku sudah terlanjur membencimu. Aku pun tak akan bisa bersikap sok ramah terhadap orang yang kubenci seperti yang kau lakukan sekarang.

“Konichiwa, Achan!” seru Manato sambil tersenyum lebar padaku. “Ah, ternyata kalian ini sudah saling kenal ya?” tanyanya sambil menoleh ke arah Sakura yang langsung disambut gadis itu dengan senyum manis.

“Kami sudah cukup akrab. Karena sepupuku adalah teman sekelasnya, yang sangat dekat dengannya!” jawab Sakura dengan antusias. “Betul kan, Achan?” Ia menoleh menatapku lagi, lalu menaikkan sebelah alis.

Aku masih diam. Mematung di tempat. Kakiku pun terasa beku. Tak ada rasa ingin menghampiri kedua orang ini, bahkan orang yang tadinya ingin sekali kutemui dengan tak sabar. Rasanya ingin segera menghilang saja dari hadapan mereka.

Kini aku hanya bisa menunduk. Terlanjur membenci keadaan yang seperti ini. Apa mungkin kebersamaanku dan Manato yang hanya bisa kurasakan di waktu istirahat makan siang di tempat ini tidak akan terulang lagi selamanya?

“Achan, kau kenapa?” tanya Sakura sambil berjalan pelan ke arahku. “Kenapa kau yang tadinya tampak bersemangat berubah dingin seperti ini? Apa kau tak suka aku berada di sini?”

Sakura berdiri tepat di hadapanku kali ini. Apa sebenarnya yang ada di pikirannya? Perilakunya ini sudah sangat membuatku muak. Kudongakkan kepala menatapnya. Gadis itu pun menatapku dengan tajam. Wajah cantiknya terlihat begitu menyeramkan.

“Apa tidak ada hal lain yang bisa kau lakukan selain diam?” bisiknya hampir tak terdengar.

Lama aku memperhatikan setiap sudut senyuman sinis itu. Rasa sakit dan benci yang menggores hati ini sudah tak terbendung. Apa aku harus mendiamkan gadis yang sudah menatapku dengan cara meremehkan seperti ini? Sakura Tachikawa, kau benar-benar keterlaluan!

“PLAKKK!!!”

Gadis itu terdiam sebentar. Kemudian dengan pelan, lengannya bergerak memegangi pipinya yang langsung memerah. Mungkin tamparanku itu terlalu kuat hingga ada bercak darah di sudur bibirnya? Tidak. Itu belum apa-apa. Aku belum puas sampai di sini saja!

“Berhentilah bersikap manis di hadapanku!” pekikku penuh emosi.

***

Bersambung ke Chapter 23

Sayonara, SkyWhere stories live. Discover now