Chapter 24

1 1 0
                                    

“Ayaka, di mana ibumu? Ada hal penting yang harus kusampaikan kepada beliau,” ucap Dokter Fukada yang mulai membasuh buliran bening di wajahku. “Sudah. Jangan menangis lagi ya..”

Lama aku terdiam menatap wajah wanita ini. Ada gelora hangat yang mengalir di tubuhku. Sebuah energi yang seperti ditransferkan lewat lembut sentuhannya. Sudah lama aku tidak merasakan seperti ini. Tiba-tiba saja, aku merindukan sosok seorang ibu yang selalu memelukku ketika masih kecil.

“Okaa-san.., mungkin sebentar lagi beliau akan pulang,” decisku pelan.
Dokter Fukada menarik kedua tangannya dari wajahku. Kemudian menghela napas panjang. Ada semburat kekecewaan di ekspresi wajahnya.

“Sebenarnya aku tidak ingin ikut campur masalah keluarga orang lain,” katanya kemudian sambil menunduk. “Tapi, sudah lama sekali aku memendam rasa ingin tahu ini. Aku ingin tahu alasan yang membuat Toshi sangat enggan pulang ke rumah..”

Mendengar kata-kata yang meluncur dari mulutnya itu, bibirku langsung kelu. Aku begitu bingung, haruskah aku menceritakan hal memalukan yang menimpa keluargaku ini? Dengan adanya masalah ini saja, aku sudah sangat malu.

“Ah, sudahlah. Aku tidak akan memaksa kalau nanti yang akan kau nyatakan adalah sesuatu yang menyakitkan bagimu,” kata wanita itu seperti bisa membaca pikiranku saja, kali ini dia mendongakkan lagi wajahnya dan menatapku.

“Ayaka, meskipun Toshi selalu bersikap enggan, tapi aku tahu betul ia sangat merindukanmu. Ia selalu mendeskripsikanmu sebagai gadis yang manis dan lembut, sambil berkata begitu, matanya menerawang tampak sangat ingin bertemu denganmu..”

Ah, sekali lagi aku teringat senyuman Otou-san. Teringat caranya tertawa dan menenangkan tangisku. Perlahan, senyumku melengkung menggantikan air mata yang tadi mengalir.

“Ayaka, aku takut sekali Toshi tidak bisa diselamatkan. Sejak ia mengetahui kanker yang ada di tubuhnya beberapa tahun yang lalu, ia tidak pernah lagi muncul di hadapanku. Ia baru muncul lagi saat sekarat dan orang lain yang membawanya..”

Tanpa sadar, tanganku bergerak meraih tubuh Dokter Fukada dan menggoncangnya. “Kumohon, sembuhkanlah Otou-san! Kumohon!” pekikku kehilangan kendali.

Aku terus berteriak hingga wanita itu kebingungan. Sampai akhirnya pintu ruangan itu bergeser dengan kuat sampai menimbulkan bunyi yang memekakkan telinga.

Baik aku dan Dokter Fukada sama-sama kaget ketika melihat Okaa-san telah berdiri di ambang pintu dalam keadaan mabuk berat. Kami-sama, aku sudah tidak tahan lagi dengan tabiat Okaa-san ini. Bisa kutebak, saat ini Dokter Fukada pasti sedang menyimpulkan sendiri apa yang sebenarnya terjadi di keluarga kami.

***

“Achan, kau sedang melamunkan apa?”
Pikiranku melayang-layang sampai Nanae mengejutkanku dengan kehadirannya. Perlahan kakiku bergerak mundur menjauhi jendela kelas tempat di mana tadi aku bersandar.

“Aku teringat Otou-san..” desisku.
Nanae tersenyum simpul, lalu menjulurkan tangannya yang langsung saja kuraih. Digenggamnya kedua tanganku dengan erat.

“Sabar saja, besok kan kau akan bertemu dengan beliau,” ucap Nanae lembut. “Jangan lupa sampaikan salamku, ya!”

Aku mengangguk pelan. Di tengah kerisauan, kucoba untuk menyunggingkan senyum di hadapan gadis itu.

Nanae tertawa kecil, kemudian menghela napas panjang. “Nah, jangan lupa belikan oleh-oleh untukku, makanan khas orang Singapura dan baju-baju yang mahal!” serunya antusias.

Sontak tawaku langsung meledak. “Ah, kau ini. Aku berangkat ke sana bukan untuk shopping tapi untuk menjenguk orang yang sedang sekarat!” celotehku sambil mengernyitkan alis.

Nanae langsung mengerucutkan bibirnya dan menatapku dengan kesal. “Pokoknya aku mau oleh-oleh!” pekiknya.
“Ah, baiklah, baiklah. Akan kubawakan Universal Studios untukmu!”

Seharian ini jantungku berdebar dengan sangat keras. Seolah tak sabar menunggu keberangkatan ini. Hingga akhirnya berada di dalam pesawat, debaranku malah semakin kencang saja. Beberapa jam lagi kami tiba di Singapura, namun keesokan harinya baru bisa menengok Otou-san.

Apa boleh buat, kami berangkat di malam hari dari bandara Narita jam Sembilan. Otomatis tiba di Singapura jam tiga subuh nanti. Suasana di dalam pesawat saat ini sangat hening. Nampaknya semua penumpang sudah terlelap kecuali aku.

Mataku tak mampu terpejam dalam situasi gelisah seperti ini. Tak seperti Okaa-san yang nampak tak bergerak sama sekali di seberang sana, sepertinya wanita itu sangat lelap tanpa beban. Di sampingku, Dokter Fukada juga sedang terlelap.

Baiklah, aku akan mencoba menidurkan mata ini. Yang sejak awal terus terbuka lebar melihat ke luar jendela. Padahal tak menampilkan pemandangan apa-apa selain gelapnya malam. Mungkin kalau tertidur, waktu akan semakin cepat berjalan dan aku bisa segera bertemu Otou-san.

***

“Ayaka, berjalanlah dengan pelan!”
Mendengar suara Okaa-san itu, aku berusaha mengatur langkah. Sulit sekali di saat seperti ini untuk berjalan pelan dan tenang. Namun memang benar aku bisa saja menabrak orang kalau terus berjalan setengah berlari seperti tadi, karena koridor di Rumah Sakit ini cukup ramai.

“Tenangkanlah dirimu..”

Dokter Fukada kini berjalan di sisi kananku. Digenggamnya tanganku dengan erat. Jujur saja, tadinya kupikir yang akan melakukan ini adalah Okaa-san, bukan dia.

Kami menghentikan langkah begitu tiba di sebuah kamar. Di depannya sudah berdiri Obaa-san dan Ojii-san  yang langsung melempari kami dengan tatapan cemas. Mereka menyapaku, namun aku yang begitu gelisah malah melewatkannya saja.

Begitu aku bergerak maju, pintu kamar itu tiba-tiba terbuka. Seorang dokter keluar diikuti seorang perawat yang langsung berjalan meninggalkan sang dokter.

Aku mulai bingung dengan percakapan antara Dokter Fukada dan dokter itu karena bahasa yang mereka gunakan. Entah hal mengerikan apa yang sedang mereka diskusikan dengan begitu serius. Hingga akhirnya, Dokter Fukada membalikkan wajahnya yang sudah basah ke arah kami.

***

Bersambung ke Chapter 25

Sayonara, SkyWhere stories live. Discover now