Kagendra & Lyre

62.2K 5.4K 753
                                    

Kagendra Point of view


"Sebelumnya bisa disampaikan dulu, Bapak, penyebab perceraian ini? Hal yang membuat Bapak mengajukan gugatan."

Aku mencoba memperjelas maksud pertanyaan petugas ini. "Maksudnya secara spesifik?"

"Ya! Ketidakcocokan yang disampaikan ini dalam hal apa? Sudah berapa lama merasakannya? Apakah ada tindakan KDRT juga dari istri Bapak?"

Aku menggeleng, sekalinya Lyre berani berteriak ketika aku masih berlama-lama saat dia hampir terpuaskan. Itu juga teriaknya masih lembut; Mas Ndraaa, cepetan.

"Ndra! Lo ditanya! Bengong!"

Sial. "Enggak ada KDRT baik secara verbal ataupun non-verbal," jawabku cepat.

Petugas membetulkan kacamata yang melorot di ujung hidung, membuat catatan di berkasnya. "Atau ada tanda-tanda perselingkuhan mungkin?"

Aku menggeleng kembali, yakin tentang hal ini. Kompas moralnya Lyre jauh lebih baik dariku, dan meski sibuk, aku selalu memenuhi tugasku dalam memberinya kelengkapan nafkah lahir sekaligus batin.

"Atau justru Bapak yang mungkin memiliki—"

"Kami sama-sama setia ya, Pak! Bisa ditanya ke istri saya nanti! Ini bukan masalah orang ketiga!" Selaku cepat, agak membentak.

Petugas tampak agak gelagapan saat kembali mencatat. "O... oh, baik, namun ini hal yang memang harus diperjelas juga, sudah berapa lama pisah ranjangnya?"

Ha? Aku menoleh Waffa yang mendampingiku. Ini 'kan privasi sekali, ngapain ditanya-tanya sebegininya? Enggak sopan.

Waffa tampaknya menyadari maksud tatapan mataku. "Udah, jawab jujur aja, Ndra."

Aku berdecak dan memikirkannya. "Pisah ranjang karena urusan kerja dihitung juga? Repot nih, sering soalnya gue ke luar kota enggak sehari dua hari."

Petugas menatapku lekat, memeriksa ke berkasnya. "Ooh, iya dari keterangan ini memang kesibukan kerja disebut sebagai salah satu dasar gugatan. Kalau begitu maaf, terakhir kali melakukan hubungan atau memberi nafkah batin."

"Tadi pagi."

"Tadi pagi?" sebut petugas dan Waffa bersamaan. Keduanya nyaris memelototi aku.

"Iya, kenapa memangnya?" tanyaku, katanya harus jujur. Apa perlu dijelaskan positioningnya juga?

"Oh, ya, memang beberapa pasangan tetap tinggal bersama sampai proses perceraian selesai. Kalau begitu kapan terakhir kali berkomunikasi intensif dengan istri? Mengobrol secara serius, berdua, semacam itu."

"Sepuluh menit lalu, sebelum masuk ke sini."

"Ya?" sebut petugas lalu menggaruk kening. "Kalau begitu topik pertengkaran yang biasanya terjadi di rumah? Yang membuat Bapak dan Ibu berselisih terus menerus."

Aku mengerutkan kening. "Enggak ada kayaknya."

"Enggak ada? Sama sekali?"

"Iya, kami rukun-rukun saja."

Petugas tampak memperhatikanku lekat, kemudian beralih menatap Waffa, kembali lagi menatapku dengan raut yang sepertinya kebingungan. "Maaf, Pak, ini ... Bapak serius mau bercerai?"

***

Tentang istriku, Sagitta Lyre Kanantya.
Over all oke. Secara fisik aku menyukai semuanya, 9.9/10 dari ujung rambut ke ujung kaki. Tetapi dia itu terlalu tenang, penurut, sulit dibaca. Sebenarnya tidak buruk, tetapi bagi penyuka tantangan sepertiku ... semakin lama bersamanya terasa membosankan. Ya, kecuali urusan tempat tidur. I'm fully satisfied with her care. Tapi dengan kesibukan luar biasa sejak Papi sakit, urusan tempat tidur juga sekadarnya saja.

REPEATEDWhere stories live. Discover now