33. | Keluarga kecil sempurna

42.6K 4.7K 1.3K
                                    

Bingung mau nulis apa
Jadi, langsung baca aja ya 😂

.

3.560 kata untuk bab ini
kumat lagi nulis panjang-panjangnya, maklumin aja, karena gabut -_-"

oke, selamat membaca~

🌟

33. | Keluarga kecil sempurna

"Hah!" sebut Kagendra yang terbangun karena kaget. Ia menyipitkan mata, mempertajam pendengaran. Jam digital di nakas menunjukkan pukul setengah lima pagi. Lyre di sampingnya masih pulas, tidak terganggu suara-suara samar di luar. Seperti suara barang berjatuhan secara berurutan.

Suara itu terdengar lagi, membuat Kagendra bergegas keluar kamar, menyadari ada kesibukan di lantai satu dan mencoba mencari tahu.

"Oh, kamu udah bangun?" tanya Soraya dari ruang depan.

"Kebangun, Ma. Ada apa kok kayak ribut di luar?"

"Oh, itu Papa sama Pak Samadi persiapan peralatan latihan buat Dojo sebelah ... pagi ini jam enam ada kelas."

"Dojo?" Kagendra berharap tidak salah dengar.

"Iya, Dojo tempat latihan karate ... weekend begini anak-anak kelas pagi, nanti sore baru untuk dewasa. Ravel pasti senang, ada banyak yang seumurnya nanti."

"Papa bisa karate?"

"Enggak juga, itu dojo di sebelah semacam fasilitas komplek yang diurus Papa. Karena rumah ini paling dekat."

Kagendra menghela napas lega.

"Papa basicnya judo, dulu waktu SMA juara nasional ..."

Kagendra menahan napas leganya. Juara nasional Judo? Ia sama sekali tidak menyangka, satu sisi masuk akal melihat postur tubuh ayah mertua yang masih bugar meski usianya sudah lewat enam puluh tahun.

Kagendra tidak punya basic olahraga bela diri, dia tahu cara memukul dan menghajar karena pengalaman bertikai semasa sekolah atau setiap kali diberi 'pelajaran' khusus oleh sang ayah.

"Oh, itu sudah subuh ... sebentar lagi Esa turun terus tunggu Papa, ya? Subuh sama-sama, langgarnya enggak jauh."

"Ya?" sebut Kagendra dengan bingung.

"Ravel kalau udah bangun sekalian diajak," sahut suara Lukito dari belakang.

Kagendra menoleh dengan kikuk. "Oh, tapi—"

"Tapi?" sela Lukito, matanya menyipit penuh penilaian.

"Ravel punya jam bangun tidur yang teratur selama ini, tiba-tiba mengubahnya akan mengacaukan ritme hariannya."

"Itulah sebab aku berkata 'kalau', dia belum wajib tetapi perlu dikenalkan rutinitas beribadah." Lukito bersedekap memandang menantunya yang terpaku. "Tunggu apa lagi?"

"O ... oh, ya! Saya akan mengeceknya." Kagendra langsung buru-buru naik ke lantai dua.

"Papa udah bangun juga?" suara itu hampir membuat Kagendra kaget. Anaknya tampak siap dengan celana panjang dan kemeja koko yang rapi. Bukan lagi piama tidur.

REPEATEDWhere stories live. Discover now