02. Melarikan Diri

2.5K 219 8
                                    

Bian mencengkeram kemudi, sembari melirik pada smartwatch yang berisik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bian mencengkeram kemudi, sembari melirik pada smartwatch yang berisik. Bukan pertanda baik, karena itu berarti detak jantungnya lebih dari seratus kali per menit.

Beep ... beep ... beep ....

Tak hanya napas yang sesak. Kini, nyeri dada pun melanda hingga serasa menembus punggungnya. Kebas dan nyaris mati rasa mulai menjalar di bahu hingga seluruh bagian kiri badan. Tangannya bergetar. Keringat dingin juga membasahi permukaan kulit dan pakaian.

Bian menoleh. Mobil tak asing itu masih saja mengejarnya. Tak ada cara lain kecuali terus menambah kecepatan. Namun, kondisi badan Biananta tak lagi memungkinkan. Ia tidak akan selamat jika terus melewati jalan utama. Oleh karena itu, Biananta memutar setir, berbelok ke jalan lain, demi memutus jejak.

Menggigit bibir, tangan kanan Bian mencengkeram permukaan dada kiri. Sakit sekali. Napasnya serasa akan berhenti.

"Astaghfirullah ...." Bian beristighfar lirih. Tak ada yang bisa ia mintai bantuan kecuali Allah SWT.

Mengemudi dengan satu tangan, kini lengan kirinya terulur dan secara serampangan membuka laci dashboard kendaraan. Berharap segera menemukan obatnya.

Napasnya semakin tak beraturan. Nyeri pun kian kejam menghujam. Sekuat tenaga, Bian meraih tas di jok sebelah, setelah tak mendapati tabung obat di laci mobilnya. Sesekali ia mengangkat pandang. Walau bagaimanapun, ia sedang mengemudi sekarang. Biananta perlu membagi konsentrasinya. Belum lagi ia pun harus menoleh ke belakang, sekadar memastikan bahwa orang yang berniat tak baik pada dirinya itu sudah jauh tertinggal atau bahkan tak lagi mengikutinya.

Semua terjadi begitu cepat. Sesaat setelah ia mengembalikan pandangan ke depan dan berbelok ke kanan tanpa mengurangi kecepatan, sebuah motor melintas bak kilat. Tak ada guna sekalipun Biananta menginjak rem mendadak. Tabrakan tak terelakkan. Tubuh pengendara motor tersebut terlempar, diiringi suara mengerikan dari ringseknya kendaraan juga debum kuat dari tubuh yang menghantam trotoar. Badan Bian pun terhuyung kencang, tetapi beruntung ia mengenakan sabuk pengaman.

Mobil Biananta berhenti. Obat sudah tergenggam di tangan kiri yang kini gemetar semakin hebat di atas roda kemudi. Suasana mendadak hening, tak satu suara pun dapat Bian tangkap selain detak jantungnya sendiri yang menggila, napas kasar, juga beep tak beraturan dari smartwatch yang dipakainya.

Ap—apa yang terjadi? Aku nabrak orang?

Mencoba menguasai diri, Biananta melepas kaitan sabuk pengamannya. Membuka pintu kendaraan, Bian memperhatikan sekitar yang lengang. Tak satu pun kendaraan lain melintas. Hanya ada seonggok kuda besi yang pecahan body-nya berserakan di mana-mana.

Ada satu orang terkapar. Tak pelak, membuat Bian semakin ketakutan.

Apa yang aku lakuin? Ya Allah ....

Remaja itu memaksa raga lemasnya berjalan terhuyung-huyung mendekati sang korban. Dengan tangan kiri masih menggenggam tabung kecil berisi obat dan tangan kanan mencengkeram dada, Bian menghentikan langkahnya sebentar. Kelopak matanya menutup rapat seiring geraman dalam bibir dengan gigi beradu kuat, bersama kesakitan yang tak tertahankan. Dadanya bak terhimpit benda besar dan berat. Kini, menarik napas adalah hal yang sangat sulit untuk ia lakukan. Udara belum sepenuhnya terhirup pun, Biananta  sudah terbatuk hebat. Jantung dan paru-paru sedang bersekutu menyerangnya bersamaan.

Namun, ia harus kuat. Seseorang di sana membutuhkan pertolongan. Sepertinya, dalam keadaan seperti ini, otak Biananta lamban berfungsi. Obat sudah ia genggam sejak tadi, tetapi tak ada niatan menelan satu pun pil.

"To—tolooong ...."

Bian tersentak dan seketika membuka mata. Orang yang terkapar di depan sana meminta pertolongan. Sebisa mungkin Bian berjalan cepat menuju raga yang tergolek tak berdaya. Namun, saking lemasnya, remaja itu justru tersungkur, tepat di samping seseorang yang tadi ditabraknya. Tabung obat menggelinding ke atas genangan darah.

Tak ia pedulikan lagi butir-butir pil penyambung hidupnya. Atensi Biananta terenggut oleh wajah familier milik seseorang yang kini mengulurkan tangan, dan berusaha mengeluarkan kata-kata dari mulutnya yang terbuka. Tubuh itu tertekuk tak wajar. Sepertinya tulang-tulang dalam badan tak sekadar patah. Bisa saja justru remuk parah.

Zayyan. Kapten tim basket di sekolahnya. Mereka tak saling kenal. Namun, pamor Zay sebagai murid cerdas di bidang akademik maupun non akademik, membuat namanya banyak dielu-elukan di sekolah. Wajahnya yang rupawan pun selalu menjadi obyek teriakan histeris dan jatuh cinta massal, oleh para siswa perempuan.

Remaja seusianya dengan jaket putih biru yang sudah berubah warna menjadi merah itu tak sanggup lagi berbicara. Hanya suara mengerikan dari kerongkongan yang mampu Biananta dengar.

Apakah ini yang disebut sakaratul maut? Sesaat kemudian, Zay terbatuk hingga cairan merah yang keluar dari mulut, terciprat mengenai pakaian dan wajah Biananta. Setelah itu, mata yang semula menatap Bian sayu, dengan sempurna menutup bersamaan dengan uluran tangan yang terkulai jatuh.

Biananta tergugu. Mendekatkan jari ke bawah hidung korbannya tersebut, tak ada napas terhela sedikit pun. Bian mengerut takut. Suara dalam kepalanya bersahut-sahutan ribut.

Pergi! Orang ini sudah mati.

Apa yang kamu lakukan, Bi? Kamu membunuh orang?

Kamu harus bertanggung jawab!

Rasa bersalah akan menghantuimu seumur hidup, Biananta. Kecuali, nyawamu sebagai gantinya.

"Enggak." Bian menggeleng ribut. "Aku bukan pembunuh. Aku—" Suaranya tersendat, kala cengkeraman menyakitkan kembali membelit dada. Bian merintih, mengatur napas yang berantakan dan kian runyam ketika smartwatch tak berhenti mengeluarkan beep nyaringnya.

Bunyi getar ponsel tertangkap pendengaran. Bian menoleh dan mendapati sebuah telepon genggam yang layarnya retak, tergeletak tak jauh dari tubuh Zayyan.

Rayyan is calling ....

Entah apa yang Bian pikirkan. Tangan bergetar miliknya terulur, meraih ponsel Zay. Menggeser ikon hijau yang melompat-lompat, hingga tersambunglah panggilan.

"Lo di mana, Zay? Gue udah di rumah dan lo malah ngelayap enggak jelas? Buruan pulang, atau gue balik lagi ke rumah Mama." Suara di seberang, langsung saja melontar kalimat panjang.

Bian menggigit bibir. Tak ada kata yang mampu ia ucap. Lidahnya kelu tiba-tiba. Ia tak tahu siapa yang menelepon Zay sekarang. Mungkin saja saudaranya. Bian ingin mengatakan situasi yang sekarang terjadi, tetapi jangankan bersuara, bernapas saja Biananta kesulitan.

"Bunyi apa itu, Zay?" Seseorang dalam sambungan telepon tersebut bertanya, yang kontan membuat Bian mengalihkan tatap pada jam tangan yang sejak tadi tak juga diam melengkingkan peringatan.

"Lo di mana, Bangsat? Kenapa diem aja? Bunyi apa itu?"

Bian panik. Buru-buru ia mematikan sambungan. Bersamaan dengan itu, sorot lampu kendaraan lain datang, juga gaduh suara pergerakan orang-orang mendekat. Bian bisa mati di tempat, jika warga main hakim sendiri atas peristiwa yang sedang terjadi. Mungkin akan lebih baik jika nanti ia menyerahkan diri sendiri ke polisi.

Dengan tenaga yang tersisa, Bian berdiri. Meski tak bisa sepenuhnya tegak, ia memaksa menyeret langkah hingga memasuki mobil. Ponsel korban ia lempar sembarangan ke jok di sampingnya. Melepas dan menonaktifkan smartwatch di tangan, Biananta melajukan kendaraan, meninggalkan tempat kejadian.

Enggak. Aku enggak melarikan diri. Aku bakal tanggung jawab nanti.

***

ellssthetic

DANCING WITH THE DEATHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang