28. Teman Masa Kecil

560 80 11
                                    

Biananta tak tahu berapa lama ia tertidur

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Biananta tak tahu berapa lama ia tertidur. Kini, kepalanya terasa sangat berat, sehingga bantal yang menjadi alas seharusnya membuat nyaman, justru ingin sekali Bian singkirkan. Kepala belakangnya kebas, sampai tengkuk seolah mati rasa.

Remaja itu menggulingkan badan yang semula terlentang, menjadi miring ke sisi kanan. Dada kirinya terasa tak nyaman, sehingga dengan spontan tangan kanannya bergerak pelan memberi usapan seiring tarikan napas berat. Sementara itu, tangan kiri menggapai kepala belakang dan memberi pijatan cukup kencang agar rasa kebas di sana segera berkurang. Sesekali Biananta bahkan menjambak rambutnya.

Kernyitan di dahi dan ringisan samar tak dapat ia tahan karena rasa nyeri yang masih singgah di sekujur badan, kini semakin menyiksa. Ditambah sakit kepala dan sesak di dada. Lengkap sudah siksaan yang Bian rasa.

"Udah bangun? Gue pikir lo mati."

Sebuah suara mengundang Bian untuk membuka mata, dan menghentikan gerakan tangan yang mencoba memberi kenyamanan badan. Wajah Arlan adalah yang pertama kali ia kenal, meski pandangannya masih buram. Namun, jelas bukan suara sahabatnya itu yang menerobos indra pendengar. Arlan hanya diam, duduk di tepi pembaringan dan menatap khawatir ke arahnya.

Lantas, siapa yang baru saja berbicara?

"Lo masih kenal kita, 'kan? Kepala lo enggak kebentur keras sampai bikin lo amnesia, 'kan?"

Bian menggulirkan bola mata, dan barulah ia tahu siapa yang sejak tadi berbicara. Rayyan Wiratama. Remaja seusianya itu berdiri menatap ke arah Bian dengan ekspresi datar. Teman barunya tersebut pula yang tadi mencegatnya di koridor rumah sakit dan membawanya pergi dari sana.

Saat itu Rayyan bilang, "Nurut aja."

Maka, Bian yang memang tubuhnya sangat lemah, tak punya pilihan selain pasrah. Selama perjalanan, Bian hanya diam menatap Rayyan--seseorang yang ia duga merupakan sosok anak kecil dalam ingatannya, yang ia panggil dengan nama Yayan. Dia dan Rayyan tak saling bicara, saat kendaraan melaju ke arah tujuan yang bahkan Biananta tak tahu. Meski begitu, hati Bian berkata, Rayyan bisa dipercaya.

"Ini di mana?" Bian bertanya sangat pelan, memilih tak menjawab pertanyaan konyol dari Rayyan yang terlontar saat dia baru terbangun dari tidurnya. Sungguh, dirinya kepayahan walau hanya sekadar berbicara. Bian bahkan tak yakin mereka mendengar apa yang ia katakan, saking kecilnya suara yang berhasil keluar.

"Enggak usah banyak tanya dulu. Diem aja, istirahat. Insyaa Allah di sini aman." Kali ini Arlan yang berbicara. Remaja itu menghentikan gerakan tangan kiri Bian yang hampir saja menjambak kembali rambutnya sendiri.

"Jangan ditarik begini, nanti tambah pusing," ucap Arlan yang mengerti keadaan Bian. Remaja itu lantas menggantikan tangan Bian dengan mengurut perlahan tengkuk sang sahabat.

"Kalian baik-baik saja?" Bian yang keras kepala bukannya menurut untuk diam, justru kian gencar melontar tanya.

"Menurut lo?" Rayyan berucap sarkas. Masih berdiri di tempat semula.

DANCING WITH THE DEATHWhere stories live. Discover now