29. Jeda

581 79 19
                                    

Sudut kamar dengan jendela kaca yang tirainya terbuka--mempersilakan cahaya sang surya bertamu ke dalam ruangan, menjadi saksi penuturan panjang Rayyan tentang masa lalu yang sempat dirahasiakan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Sudut kamar dengan jendela kaca yang tirainya terbuka--mempersilakan cahaya sang surya bertamu ke dalam ruangan, menjadi saksi penuturan panjang Rayyan tentang masa lalu yang sempat dirahasiakan. Kebenaran tentang seperti apa Praja Wiratama, bagaimana perangainya, semua dibongkar oleh putra bungsunya.

Tentu saja Rayyan tak mengada-ada. Selain dia sendiri sering diperlakukan kasar oleh ayahnya tersebut, sang ibu adalah saksi hidup.

"Psikopat."

Bukan Biananta, melainkan Arlan yang berkomentar. Remaja itu mengepalkan tangan kuat, mendengar apa yang Rayyan paparkan. Tentang kenyataan bahwa Praja dan Darian berteman, tentang Praja yang menyimpang, tentang kesadisan yang Praja lakukan pada Darian, tentang sikap kejam Praja pada istrinya, juga tentang dendam yang Praja simpan untuk orang-orang yang menghalangi dirinya mendapatkan Darian.

Semua Rayyan paparkan tanpa ada satu hal pun tertinggal. Membuat Bian kehilangan kata-kata. Meski diam, Bian bukannya tak memikirkan. Justru, isi kepalanya terjejali banyak perkara, dadanya pun bergemuruh hebat, tak kuasa menerima kabar yang begitu mengejutkan, bahwa memang benar ayahnya dibunuh oleh Praja Wiratama, sesuai dengan ingatan yang ia dapatkan.

Mencoba mengatur napas, Bian tetap kesulitan. Meski begitu, ia tak ingin menunjukkan. Tangan kanannya meraih lengan Arlan kala dia berkata, "Lan, anter gue ke mama, tolong. Mama dalam bahaya."

"Lo jangan gila. Lihat kondisi lo sekarang," cegah Arlan, menahan tubuh sahabatnya yang berusaha berdiri, agar duduk lagi.

"Tapi Mama sendirian, Lan. Kalau memang sudah lama Om Praja mengincar mama, gue salah besar sudah egois dan ninggalin mama seperti ini. Gue engga bakal maafin diri sendiri kalau sampai mama kenapa-napa nanti." Bian berujar panik.

"Lo tenang dulu. Tahu gini, gue gak kasih tahu lo kebenarannya. Lo panikan, sih, orangnya." Rayyan berdecak.

"Coba bilang ke gue, gimana caranya biar enggak panik, saat lo tahu ibu lo ada dalam bahaya." Tak sedikit pun menaikkan nada bicara, tetapi kentara sekali Bian memberi tekanan pada setiap kata.

Arlan mengusap punggung ringkih sang teman yang naik turun dengan cepat karena napas yang tak beraturan, menahan gejolak emosi dalam dada.

"Lo mikirlah. Kalau emang Praja mau ngelakuin itu tanpa pikir panjang, udah kemarin-kemarin lo sama Tante Raline tinggal nama. Atau bahkan gue sama mama juga udah jadi tanah. Praja yang sekarang mungkin aja memang masih brutal, tapi dia lebih banyak memperhitungkan banyak hal. Lo tenang aja dulu. Gue yakin Tante Raline masih aman. Gue malah enggak yakin sama keadaan lo sekarang. Napas aja kayak gitu, masih aja mau nekat. Yang ada, lo malah bakal nambah masalah. Kita ambil jeda dululah," ujar Rayyan, tanpa memberi embel-embel kata 'papa' untuk menyebut Praja. Seolah pemuda ini sudah kehilangan rasa hormat.

Bian memejamkan mata. Menyandarkan badan pada punggung sofa, dan kembali mengatur napas. Bukan hal mudah untuknya menenangkan diri di saat genting seperti ini. Namun, apa yang Rayyan katakan tidaklah salah. Biananta merasa sangat payah. Jika dia memaksakan diri, sudah tentu akan menambah masalah.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 26 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

DANCING WITH THE DEATHWhere stories live. Discover now